BLOK perkantoran pemerintah Bulgaria di pusat Kota Sofia sedang disiram salju ketika Kolonel Zhelyo Vassilev tiba. Atas desakannyalah pertemuan dengan orang yang mengelola dan mengatur pembunuhan terhadap Paus Yohanes Paulus 11 dilangsungkan di sana. Mencopot mantel tentaranya yang kebesaran, dan topi berenda merahnya, Vassilev tampak sangat kontet Tubuhnya yang kecil itulah yang merupakan salah satu masalah bagi para penuntut di Roma. Ia menyulut rokoknya yang pertama - dari belasan batang yang diisapnya - saat ditemui Tana de Zulueta dan Peter Godwin dari Sunday Times. Tanpa menunggu lagi, ia langsung saja mengeluarkan alat perekam buatan Jepang. Itu perlu katanya. Artinya, memiliki rekamannya sendiri tentang cerita yang akan dikisahkan untuk pertama kali kepada pihak Barat. Selama wawancara 90 menit itu Vassilev memperagakan - apa lagi kalau bukan - bahwa ia seorang yang pintar-licik. Semua itu menjelaskan mengapa Vassilev harus memimpin sendiri apa yang kemudian - kalau dugaan ini benar - menjadi konspirasi yang tak kepalang tanggung. Kasusnya sendiri terpusat pada pokok keterangan bahwa dua teroris sayap kanan Turki itu, yang telah mencoba menghabisi Yohanes Paulus II, tak lebih cuma pembunuh bayaran. Dan bahwa mereka dan organisasinya, Serigala Abu-Abu, direkrut oleh sebuah kelompok bromocorah Turki yang sudah lama jadi kaki tangan dinas rahasia Bulgaria, Darzhavna Sigurnost. Kolonel Vassilev - saat itu "asisten" atase militer Bulgaria di Roma adalah simpul pusat jaringan komplotan itu. Siapa yang memberi perintah? Jaksa Antonio Albano di Roma melukiskannya dengan hidup, "Di suatu tempat rahasia, yang tiap kerahasiaan diselimuti kerahasiaan yang lain, seorang politikus berkuasa, mungkin seorang baik-baik dalam busana doublebreast dan dengan tatap mata buaya yang meyakinkan, melihat keadaan yang luar biasa gawat .... Yang disebut "keadaan yang luar biasa gawat", tampaknya, adalah hubungan bangkitnya Solidaritas di Polandia dengan pengaruh paus asal Polandia yang karismatis itu. "Tempat rahasia" adalah Kremlin. Dan orang dalam busana double-breast?. Di Sofia, Kolonel Vassilev tidak berusaha menyembunyikan kesombongannya. Tuduhan tentang keterlibatannya menyebabkan ia harus melepaskan mungkin untuk sementara, "profesi" diplomatnya. Ia kini menjadi komandan pasukan tank. Tetapi, sementara itu, pangkatnya sudah dikerek dari mayor ke kolonel. Dan sifat congkaknya tersirat dalam komentar yang ia berikan. "Saya tidak dipromosi kan karena gagal membunuh Paus," katanya. "Sebab, seperti Anda tahu, Paus masih hidup dan sehat walafiat." * * * Untunglah, Paus memiliki ketahanan fisik yang mengagumkan, yang dibantu oleh keterampilan para dokter bedah Roma. Ia diberondong pada pukul 5.15 petang, Rabu 13 Mei 1981, ketika sedang memberikan audiensi mingguan di lapangan terbuka Santo Petrus, Vatikan. Tiga atau empat peluru ditembakkan, dua diantaranya mengenai sasaran: satu menyerempet sebuah jari, yang lain menembus tubuh di perut bagian bawah, lalu keluar melalui pantatnya. Dari lintasan peluru - yang juga mengenai dua turis Amerika - bisa disimpulkan bahwa ada dua penembak di lapangan. Salah seorang di antaranya, yang memegang sepucuk senjata api, terpotret ketika sedang lari. Tapi ia lenyap tanpa jejak. Adapun Mehmet Ali Agca, teroris Turki berusia 23 tahun, tertangkap basah. Ia dijebak seorang biarawati yang berhasil menjambret dan mencekal jaket yang dipakainya dan tidak membiarkannya lepas. Jelas sudah, usaha pembunuhan Paus bisa terlaksana karena menerima bantuan dana dan latihan dari pihak tertentu, bahkan dengan rencana panjang yang dipersiapkan cukup lama. Pada 1979, Agca pernah dibantu melarikan diri dari penjara dan dari Turki. Ia, di penjara itu, sedang menunggu eksekusi putusan pengadilan dalam kasus pembunuhan seorang redaktur surat kabar. Selama dua tahun ia aman di pelarian, dan terhitung hilang. Belakangan, ia dimunculkan kembali untuk membunuh Paus. Untuk itu ia diperlengkapi dengan paspor palsu, senjata api, dan sebuah buku catatan berisi instruksi terinci - yang ditulis dalam bahasa Turki, dan bukan dengan tulisan tangan. Setelah penangkapannya, bahkan selama proses pemeriksaan, ia memilih bungkam. Baru menjelang genap satu tahun sejak ia menembak Paus, Mei 1982, ia memberikan seri pertama "pengakuan"-nya yang cukup mengejutkan. Di dalamnya ia menyerempet rekan-rekan Turkinya yang lain, para anggota Serigala Abu-Abu. Adalah Serigala Abu-Abu, katanya, yang membebaskannya dari penjara dan dari Turki . Serigala itu pula yang menyiapkan tempat pelarian yang aman di Eropa selama sembilan bulan, sebelum ia menembak Paus. Anggota Serigala juga yang menyelundupkan senjata bagi penembakan itu ke Italia. Dan, masih menurut Agca, adalah seorang anggota Serigala, seorang Turki bernama Oral Celik, yang menjadi penembak kedua. Penuturannya - yang kemudian jadi berkas tuntutan laksa - seperti ini: Pada musim panas 1980, setelah kabur dari Turki, Agca disembunyikan di Bulgaria, di Hotel Vitosha yang mewah, Sofia. Ia dibawa ke situ, katanya, oleh "mafia Turki". Pada bulan Juli, di meja kasino Vitosha, Agca pertama kali bertemu dengan salah seorang godfather mafia itu, Bekir Celenk namanya. Sebulan kemudian Celenk menyampaikan, jika Agca tertarik untuk menembak Paus, ia mempunyai seorang klien. Si klien, kata Agca tegas, adalah Darzhavna Sigurnost (DS), dinas. rahasia Bulgaria, yang menawarkan imbalan baginya dan Serigala Abu-Abu DM 3 juta - 725.000 atau Rp 1,04 milyar. Nilai hadiah nyatanya lebih besar lagi. Di samping duit, ditawarkan pula lindungan bagi para pelaku pembunuhan itu di Bulgaria. DS dalam tawaran menunjuk pula sejumlah negara lain untuk jadi pintu kabur. Maka, November 1980, Agca pergi ke Italia untuk bertemu dengan para agen DS - yang hanya dikenalnya dengan nama kode "Kolev" (yang sempat di temuinya di Sofia), "Bayramic", dan orang yang memegang komando keseluruhan, "Petrov". Mereka menyusun rencana pembunuhan dan mendiskusikan kemungkinan lainnya - misalnya "meledakkan" Lech Walesa, pemimpin Solidaritas, tepat ketika berkunjung ke Roma. Gagasan itu tidak sampai terlaksana. Dan Agca menghabiskan masa enam bulan berikutnya untuk berkelana di Eropa. Pada akhir Maret 1981, ia bertemu dengan rekan-rekannya dari Serigala Abu-Abu di Hotel Sheraton di Zurich, dan kemudian ia dan Oral Celik - si "penembak kedua" - pergi ke Austria untuk membeli pistol Browning di pasar gelap. Pistol itu di serahkan kepada orang Turki yang lain yang tinggal di Swiss, yang lalu menyelundupkan barang itu ke Italia sementara Agca berlibur seminggu di Pulau Majorca. Sekembalinya dari liburan itu, ia menjemput pistol Browning tadi di Milan, dan berangkat dengan kereta malam ke Roma. Di ibu kota Italia itulah si jago tembak Turki itu tiba pada 10 Mei pagi, untuk bergabung dengan Celik. Sejak saat itu, sampai terjadinya tembakan yang hampir fatal pada 13 Mei, tak sedetik pun "Kolev", "Bayramic", dan "Petrov" berhenti mengamati jago tembak nekat yang mereka rekrut itu. Para agen Bulgaria memperlengkapi para calon pembunuh itu dengan sejumlah peta dan foto lapangan Petrus. Dan, menurut Jaksa, "Antara 10 Mei petang dan 13 Mei, mereka (dua Turki dan tiga Bulgaria) memeriksa lapangan Petrus beberapa kali." Pada hari penembakan, kelima orang itu bersantap siang "pada bar biasa di dekat Piazza de la Republica", sebelum mengambil dua pucuk senjata api dan dua buah "bom panik" untuk Celik. Dua Bulgaria bahkan mengirim Agca dan Celik ke Vatikan dengan mobil biru, "mungkin sebuah Alfa Romeo 2000", dan menemani mereka dalam pengamatan terakhir di lapangan. Agen yang di kenal sebagai "Bayramic" tinggal bersama Agca dan Celik di kafe untuk minum kopi, sampai tiba waktunya bergabung dengan umat Katolik dan para turis di lapangan. Apakah orang-orang Bulgaria menepati janji mereka untuk menunggu dengan mobil pelarian? Agca tidak pernah tahu. Celik nyatanya gagal meledakkan "bom panik" untuk mengalihkan perhatian, tetapi sementara itu ia berhasil mulus melarikan diri. Rekan ini, diperkirakan Agca, kabur dengan menggunakan truk yang, berdasarkan kekebalan diplomatik, ditutup rapat. Pengakuan ini dinilai luar biasa. Titik-titik kebenaran di dalamnya bergantung pada rinci-rinci yang diberikan Agca dan pemeriksaan silang - bila bukti-bukti kuat bisa didapat para pejabat Italia, tentu. Misalnya, Agca menggambarkan hotel-hotel Bulgaria tempat ia menginap secara mendetail - dari kulkas di kamar tidur sampai pemandangan ke kebun mawar. Ia melukiskan pula ruang tinggal rumah susun "Kolev" di Roma, serta istri dan anak perempuan "Bayramic". Ia tahu pula info rahasia perihal rencana kunjungan Lech Walesa ke Roma - informasi yang agaknya disadap dari dinas rahasia Italia. Dan, "pembuktian" jaringan Bulgaria yang paling mengesankan adalah ini: satu jam setelah penembakan Paus, sebuah truk tertutup dan disegel, tercatat bermuatan mebel dan kebal dari pemeriksaan bea cukai, meninggalkan kedutaan Bulgaria. Yang membuat pengakuannya terasa dibuat-buat adalah cara penyampaiannya. Pertama kali, ia bercerita kepada pemeriksa tentang hanya dua rekan Bulgarianya, "Kolev" dan "Bayramic", tak lebih. Tapi ketika pada November 1982 kepadanya diperlihatkan sebuah buku yang disusun dinas rahasia Italia, yang berisikan foto 56 orang, dan ditanya apakah ia dapat mengenalinya, ternyata dapat. Foto pertama dalam buku itu adalah wajah "Kolev" - dialah Todor Ayvazov, kasir kedutaan Bulgaria. Foto kedua adalah "Bayramic" - itulah Sergei Antonov, manajer perwakilan perusahaan penerbangan nasional Bulgaria di Roma. Namun, Agca masih meneruskan meneliti isi buku dan berhenti pada foto nomor 20, yang tak lain gambar Mayor Zhelyo Vassilev dalam seragam militernya. Dia, kata Agca yakin, adalah "Petrov", agen senior dan arsitek rencana pembunuhan. Agca berkata, ia "mungkin atase militer kedutaan Bulgaria". * * * Yang paling menjengkelkan Vassilev adalah anggapan orang bahwa apa pun rencana yang ia pegang, hasilnya selalu berantakan dan tidak pas. Itu terkesan dalam pengakuan Agca, dan ini membuatnya geram. Misalnya, Agca mengaku, ketika ia mulai disewa orang Bulgaria di Sofia pada musim panas 1980, dan diberi tahu bahwa "Petrov" akan menjadi komandannya, ia mendapat nomor telepon di Roma. Maksudnya, tentu, dengan nomor itu ia, sewaktu-waktu memerlukan, bisa mengontak sang komandan. Ketika suatu ketika Agca merasa saatnya tiba untuk berhubungan, Vassilev ternyata masih di Sofia. Jika versi Agca benar, risiko yang akan diterima Bulgaria memang sudah menganga sejak awal. Sebab, sebagai "asisten" atase militer Bulgaria, Vassilev memang sudah dicurigai pejabat di Roma sebagai perwira intel Bulgaria di ibu kota Italia, dan diawasi secara ketat. Vassilev sendiri tahu bahwa pesawat teleponnya secara rutin disadap, dan tidak pernah bermimpi melakukan percakapan teleponnya dengan Agca. Gerak-gerik Vassilev di Roma juga terus-menerus dimonitor. Ia mengakui sering dikuntit jika mengendarai mobil. Rumahnya juga tidak luput dari pengawasan dan penggeledahan pihak keamanan Italia. Ini membuat Vassilev merasa lebih aman bertemu dan memberi instruksi pada Agca di tempat-tempat umum: bar dan restoran di seluruh Roma. Agca mengatakan, ia dan Vassilev berbicara dalam bahasa Inggris, bahasa yang kurang dipahami Vassilev. Agen Bulgaria itu bisa bicara sedikit-sedikit bahasa Italia dan bisa bercakap-cakap dalam bahasa Rusia lebih lancar. Ia bersungut-sungut mendengar pengakuan Agca bahwa senjata, uang, dan surat-surat palsu diselundupkan melalui berbagai tapal batas negara. Padahal, katanya, "Barang-barang itu dengan mudah dikirim ke Roma melalui kantung diplomatik." Dan ia menolak cara Agca, dalam rangka memakukan keterlibatan jaringan Bulgaria, mengidentifikasikan tiga orang Bulgaria dari buku berisi foto yang diperlihatkan itu. Ke-56 foto dalam buku itu, menurut dia, adalah melulu penduduk Kota Roma. "Walaupun ia memilih nomor 21 ketimbang nomor 20, masih saja ia akan menyebutnya orang Bulgaria," ujar Vassilev. Ia juga yakin, untuk menunjuk siapa "komandan"-nya, supaya gampang, Agca main pilih saja sembarang orang yang berseragam militer. "Kata Agca, saya selalu membawa agenda yang dipenuhi kertas atau surat-surat. Ini jenis informasi yang lahir karena terlalu banyak membaca buku detektif Barat tentang cara kerja agen rahasia Timur." Agca memang pembohong. Bahkan Jaksa llario Martella, yang selama empat tahun mengusut perkara itu hingga dapat disidangkan, mengaku bahwa "saksi bintang"-nya langka kredibilitas. Seperti yang dikatakan Jaksa, Agca merasa informasinya sudah pas. Dengan naif ia merasa sudah dapat membuktikan kebenaran apa yang diucapkannya. Ia tahu betul langkanya bukti obyektif. Dan "apa dan siapa"-nya, setelah dicek, menyingkapkan kebohongan - lalu dengan segera ia membantah pernyataan yang telah dikemukakannya. Jelas, beradanya Vassilev di Bulgaria - dan bukan di pengadilan dimanfaatkan benar-benar oleh Agca. Martella menunjuk pula kepribadian suram Agca, dan peragaan berulang akan sikapnya yang bengis dalam cara membangun cerita bohong yang fantastis. Satu masalah utama dalam penyidangan perkara adalah ini: udingan terhadap Agca menjadi tergamang-gamang dengan meningkatnya keraguan, atau kebingungan, yang lahir setelah cerita bohongnya berkembang. Mulanya ia mengaku bahwa kaum ekstrem Palestina dari kelompok teroris Abu Nidal terlibat ikut berkomplot, tetapi mereka segera menghilang. Juga, keterlibatan atase militer Soviet di Iran, yang diakui Agca pernah menemuinya, ternyata sukar dibuktikan. Dalam sebuah versi, Agca berkata pula bahwa penembak kedua di lapangan adalah "Kolev", kasir kedutaan Bulgaria, yakni Todor Ayvazov. Tetapi dalam konperensi pers yang berlangsung kemudian, Ayvazov menunjukkan bahwa secara fisik ia berbeda banyak dengan si penembak kedua, yang di foto ketika sedang melarikan diri. Ini membuat Agca mundur, lalu menunjuk rekannya dari Turki, Oral Celik, orang yang tampaknya ingin ia lindungi. Satu hal yang konsisten dari cerita Agca adalah ambisinya untuk menjadi pusat perhatian, dan cita-citanya untuk mendapat predikat petualang bayaran atau "jago tembak" yang dibayar dengan harga tinggi. Ia haus publisitas: di pengadilan ia menolak tampil sebelum Jaksa memperbolehkan para wartawan hadir, dan ia menokohkan dirinya sejajar dengan teroris internasional kaliber Carlos. Ia sesumbar: di antara tokoh yang direncanakannya menjadi sasaran ganyangan adalah ratu Inggris perdana menteri Malta, Dom Mintoff dan ketua parlemen Eropa, Simone Weil. Agca memang pembaca yang rakus akan kisah-kisah tegang, seru seram, dan misteri. Bahkan, sebagai mahasiswa sebuah universitas di Ankara, ia pernah mengarang cerita spionase yang menegangkan untuk dipanggungkan - agar bisa dimainkannya sendiri. Toh, setelah pengusutan yang termasuk terlama dalam sejarah peradilan Italia, Jaksa Martella dan Jaksa Penuntut Antonio Albano berkeyakinan bahwa tudingan utama Agca tentang keterlibatan jaringan Bulgaria adalah benar. Yang menjadi pertanyaan: Seberapa jauh pengusutan itu benar sampai ke rinci-rincinya? * * * Pada musim panas 1983, Martella dan Albano tiba di Sofia atas undangan pejabat Bulgaria. Maksud kedatangan mereka adalah menginterogasi Kolonel Vassilev, Ayvazov, kasir kedutaan Bulgaria di Roma, dan Bekir Celenk, yang diduga "bapa pembaptis" mafia Turki. Pihak Bulgaria merekam dengan video semua wawancara - yang berlangsung 30 jam. Dalam rekaman video interogasi Vassilev, dipertunjukkan Albano duduk bermalas-malasan di dekat jendela dengan memakai kemeja lengan pendek sedangkan Martella duduk di meja, mengetik daftar pertanyaan. Vassilev menggambarkan sikap Albano sebagai "kasar". Martella, kata Vassilev, terpaku kaku pada pertanyaan yang telah disiapkannya, dan tampaknya tidak tertarik pada informasi baru. Ini meyakinkan Vassilev bahwa Martella "bukan juri, tetapi pemain". Keluhan utama Vassilev adalah bahwa Jaksa menunjukkan sedikit minat saja untuk mencari deskripsi yang mendetail tentang di mana dan apa yang dikerjakan Vassilev pada hari-hari menentukan menjelang serangan terhadap Paus. Ia tetap tidak mau menyerah ketika dikatakan bahwa dinas intel Italia bisa saja mengecek, jika mau, atau meminta keterangan kepada seseorang mengenai berbagai pertemuan yang diakui Agca dilakukannya dengan Vassilev, antara 10 dan 13 Mei . Juga ketika disebutkan sebuah artikel dalam sebuah surat kabar di Roma bahwa suatu pasukan antiteror pernah menjejaki gerak-gerik Vassilev ketika tinggal di Roma. "Katanya, Martella sangat cermat. Mengapa dia tidak menggali sendiri informasinya?" tanyanya. Tetapi jika alibi Vassilev tidak menerbitkan banyak minat, masalah tinggi tubuhnya merupakan kebalikan dari itu. Vassilev menceritakan, ia tiba-tiba diminta berdiri menghadap dinding di kementerian kehakiman tempat ia diperiksa, sementara seorang detektif Italia mengeluarkan pita pengukur untuk menjangka tinggi tubuhnya. Ukuran tinggi itu menjadi hal penting yang sempat menerbitkan soal karena Agca menggambarkan Vassilev lebih tinggi daripada Ayvazov. Malangnya, ukuran Vassilev cuma 5 kaki 4 inci (termasuk tebal kaus kaki yang dipakainya saat itu). Ayvazov, sebaliknya, pria bersosok besar, sekepala lebih tinggi dari Vassilev. Ini dengan sendirinya menimbulkan perbantahan: Martella melihat dengan mata kepala sendiri kedua orang itu di Sofia maka tak ayal Agcalah yang keliru. Tapi dalam laporan akhirnya Martella tetap menuduh Vassilev berusaha "mengelabui pemeriksa dengan memberikan ukuran tubuhnya yang lebih rendah". Jaksa berkukuh bahwa tinggi Vassilev adalah 5 kaki 51/2 inci. Benar, kata Vassilev, tapi itu berikut sepatu yang dipakainya - dan itu pun masih lebih pendek ketimbang Ayvazov. Martella memutuskan mengajukan saksinya dalam kesempatan berikutnya. Kembali ke Roma, ia konfrontasikan Agca dengan kenyataan itu. Apa jawab pemuda Turki itu? "Vassilev lebih kurus .... Maka, mungkin saja saya terkecoh menilai tinggi tubuhnya." Menurut Vassilev, Martella dihantui oleh detail fisiknya yang kurang selama interogasi di Sofia. "la lebih tertarik pada arloji yang kupakai, yang ia sebut sebagai keajaiban elektronika, walaupun itu hanya bikinan Hong Kong," kata Vassilev. Saat itu penyidikan bukti fisik segera menjadi sandiwara jenaka. Ketika Martella memeriksa Ayvazov, ia memintanya membuka mulut agar susunan giginya bisa diteliti. "Seperti kuda," gumam Martella. Martella berusaha mengecek tata letak gigi Ayvazov, yang digambarkan Agca sebagai "berlapis". Sekali lagi Agca keliru. Ayvazov, pria dari tipe ideal bagi wanita, membaca laporan Martella yang menggambarkan giginya "tidak beraturan" dan bahkan "tonggos". "Tidak seorang cewek pun pernah berkata begitu," katanya menanggapi. Tetapi, paling tidak, dengan Ayvazov Martella berkesempatan menyidik alibinya pada masa antara 11 dan 13 Mei. Dalam jangka itu, Ayvazov mengakui, ia sedang mengawasi bongkar-muat sebuah truk diplomatik di luar kedutaan Bulgaria di Sofia - dan bukannya bertemu dengan Agca. Saksi-saksinya: semua perwira bea cukai Italia. Tapi, malang bagi Ayvazov, kesaksian yang mereka berikan cukup membingungkan, dan sering saling bertentangan. Alasan untuk itu cukup sederhana: seperti yang belakangan diakui oleh salah seorang perwira bea cukai, mereka membuat laporan lembur yang palsu selama berjam-jam, yang nyatanya mereka pakai buat berhura-hura di sebuah restoran - bersama Ayvazov. Vassilev sendiri menolak menyingkapkan alibinya. Ia bercerita kepada Martella cuma tentang alamat rumah dan jam kantornya. "Saya tidak akan memberi info lagi yang akan digunakan untuk mencelakakan diri saya," katanya. Vassilev mengaku sudah menduga sejak awal bahwa perkara tersebut dihadapkan kepadanya dan rekan-rekan Bulgarianya berdasarkan motif politik. "Jelas bagiku, Agca sedang dimanipulasikan," katanya. Ketika ditanya Martella di Bulgaria apakah ia mempunyai suatu ciri tubuh yang mencolok, Vassilev berkata bahwa ia memiliki tahi lalat di pipi kirinya. Dalam pengakuan tambahan, seperti yang diistilahkan Vassilev, "Agca menggambarkan tahi lalatku dalam kata-kata yang sangat persis seperti yang kupakai di sini. Maka, aku tidak ragu-ragu bahwa Agca mendapat suplai informasi." Vassilev berkata, ia mempunyai sebuah alibi - tapi itu hanya akan diungkapkan dalam sidang pengadilan oleh pembelanya. * * * Bahkan Martella mengakui, Agca boleh jadi menceritakan kepada para interogatornya hal yang memang mereka ingin dengarkan. Agca telah menunjukkan kecerdikannya dalam menemukan info yang dapat mendukung penuturannya. Ia telah mengakui, misalnya bahwa ia memperoleh nomor telepon Balkan Airlines di Roma - detail yang ia pakai dalam tuduhannya terhadap Antonov - dalam masa istirahat pemeriksaan, dengan jalan mencuri membalik-balik buku telepon. Dan setiap fakta yang digambarkan Agca tentang kegiatan mafia Turki dan rantai jaringannya dengan Bulgaria adalah isi seri artikel surat kabar yang dibacanya di dalam penjara. Tapi bagaimana Agca memperoleh informasi lainnya, yang ia jalin menjadi pengakuannya? Misalnya, ia melukiskan rumah susun Antonov dan kebiasaan pribadinya dalam rinci-rinci: kegilaannya mengumpulkan botol-botol kecil liquer, atau kegemarannya membeli bunga. Ia malahan menggambarkan jamuan teh yang berlangsung di sana, dilayani istri Antonov dan anak perempuannya. Ceritanya menjadi kobong setelah ternyata bahwa mereka saat itu tidak berada di Italia. Bagaimana pula Agca tahu bahwa hotel di Bulgaria memakai kulkas di dalam kamar tidur? Lalu, dari mana ia bisa menggambarkan bahwa Hotel Moskow Park di Sofia memiliki kebun mawar? Padahal, ketika Agca di Bulgaria, kulkas di kamar tidur hotel dan kebun mawar belum ada. Kedua hal itu memang bisa dibaca di brosur hotel terbitan terakhir. Tetapi bagaimana ia memperolehnya ketika ia sedang mendekam di dalam bui? Jawabannya adalah, setelah Agca dihukum seumur hidup, perintah pengadilan agar dia"disel sendirian" ternyata tidak sepenuhnya dipatuhi para pelaksana. Agca malahan bisa mengobrol dengan penghuni sel yang bersebelahan, seorang teroris Brigade Merah. Dan, benar-benar khawatir akan nasibnya di penjara, Agca berusaha mencari lindungan pada gali yang paling ditakuti, Raffaele Cutolo, bos mafia Neapolitan. Dalam masa itu, para anggota dinas rahasia Italia secara teratur berkunjung ke penjara, menjenguk sang bos mafia yang sudah beralih men jadi informan. Mereka juga sekalian menemui Agca, dan memperingatkan bahwa sekali keadaan "di sel sendirian" berakhir, "para pejabat tidak lagi bertanggung jawab atas keselamatannya". Beberapa hari sebelum ia dipindahkan ke sayap kiri penjara, Agca mulai mengungkapkan "jaringan Bulgaria". Memang ada fakta bahwa sejumlah agen Italia sedang merangkai-rangkai "jaringan Bulgaria" itu. Setelah Paus ditembak, mereka menyusun laporan yang menuding keterlibatan blok Soviet. Disebutkan bahwa komplotan pembunuh ditetaskan dalam pertemuan antarmenteri pertahanan negara Pakta Warsawa di Bucharest, atas permintaan menteri pertahanan Soviet, Mersekal Ustinov. Laporan juga menyebutkan bahwa Agca telah dilatih di Uni Soviet. Pada Februari tahun ini laporan disiapkan untuk disebarluaskan. Di dalam-nya termasuk juga laporan lain tentang terorisme di Italia, dan lima anggota dinas rahasia dituduh terlibat dalam penyalahgunaan kekuasaan, korupsi, pemerasan, dan menjadi anggota mafia. Pembela Vassilev, Ayvazov, dan Antonov mencanangkan bahwa mereka tidak akan mengalami kesulitan di dalam menangkis tuduhan. Tapi, seperti yang dikatakan seorang pengacara bebas di Roma, ini bukan peradilan biasa. Implikasi politik, tambahnya, begitu dalam kait-mengaitnya sehingga hanya ada sedikit harapan untuk bisa mengambil suatu keputusan hanya berdasarkan bukti apa adanya. Apalagi publikasi pers begitu gencarnya sehingga asas praduga tak bersalah sedikit banyak akan goyah. Dalam kasus "jaringan Bulgaria" ini, juri Italia mana pun tampaknya akan sedikit tergagap-gagap untuk memberikan putusan akhirnya. Lebih-lebih, kini ada keyakinan umum bahwa ucapan saksi Bulgaria mana pun akan bernilai di bawah rata-rata: dengan sendirinya mereka akan berbohong untuk melindungi rekan-rekannya. Jepretan foto seorang laki-laki yang melarikan diri dari lapangan Santo Petrus sambil menggenggam senjata api yang mengepul menjadi bukti cukup kuat bahwa Mehmet Ali Agca tidak sendiri. Namun, seperti mustahil penyidangan perkara akan bisa mengungkapkannya - bahkan setelah dicari-cari di antara 25.000 halaman dokumen pengadilan. Tak ada tanda-tanda bahwa pengusutan akan berhasil menemukan siapa sebenarnya yang berdiri di belakang komplotan pembunuh Paus.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini