Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Gosip Bidadari di Puncak Karier

Digosipkan punya hubungan asmara dengan Poppy Dharsono gara-gara bermain film bersama. Sempat ingin menjadi pilot karena merasa masa depan pebulu tangkis tak jelas.

17 Oktober 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PADA awal Agustus 1971, saya ditawari Sumaco Film bermain dalam Matinya Seorang Bidadari. Saya mendapat peran Franky, pemuda baik-baik yang mencintai Santi, wanita penghibur. Perjalanan cinta mereka tidak berakhir bahagia karena latar belakang Santi yang terus melekat. Akibat bermain film ini, saya diterpa gosip tak enak. Ada surat kabar mingguan Ibu Kota yang memberitakan saya punya affair dengan Poppy Dharsono—yang ketika itu sudah bersuami.

Surat kabar itu mengatakan saya akan melamar Poppy pada April 1972. Lebih seru lagi, saya digosipkan akan pergi ke Bandung sekembali dari All England untuk memutuskan hubungan dengan Jane Anwar, yang waktu itu menjadi pacar saya. Di berita itu ditulis, pacar saya sampai pingsan ketika menjemput saya di bandar udara.

Ketika berita itu muncul, saya masih menjalani pemusatan latihan nasional di Senayan. Saya tidak tahu apa-apa mengenai berita itu. Saya baru sadar ketika datang surat orang tua saya dari Surabaya. Surat itu dilampiri potongan surat kabar mingguan serta sepucuk surat kaleng. Lucunya, surat kaleng itu menuduh dan mengecam saya telah merebut istri orang. Dalam suratnya, Ayah memberi tahu saya, dia sampai jatuh sakit setelah membaca berita itu.

Setelah membaca surat dari orang tua, saya langsung pulang ke Surabaya untuk memberi tahu seluruh keluarga: berita itu isapan jempol. Saya juga menitipkan surat ke atlet Retno Kustiah untuk disampaikan kepada pacar yang kini menjadi istri saya, Jane Anwar, di Bandung. Kebetulan rumah Jane tidak jauh dari pelatnas Piala Uber di Karangsetra, tempat Retno Kustiah berlatih.

Di Senayan, teman-teman atlet tak kalah heboh bertanya: apa sebenarnya yang terjadi. Pebulu tangkis Minarni dan suaminya, Sudaryanto, sampai harus berbicara kepada wartawan bahwa sumber berita itu tidak benar, baik dari pihak Poppy maupun pihak saya. Untung semua akhirnya beres.

Saya tobat, tidak mau lagi memainkan adegan romantis seperti dalam Matinya Seorang Bidadari. Ketika menerima tawaran itu, saya tidak berpikir panjang. Saya jalankan saja berbagai adegan dengan perasaan kikuk, karena belum berpengalaman. Setelah saya lihat rekamannya kemudian, saya kaget bukan main. Pasti buntutnya bisa macam-macam.

Terjun ke dunia akting juga dipermasalahkan masyarakat. Dengan saya sibuk bermain film, mereka takut konsentrasi saya di bulu tangkis terpecah, dan mempengaruhi cara bermain saya. Waktu itu saya punya pertimbangan, dengan bermain film, hidup saya setidaknya lebih bervariasi dan dapat mengatasi kejenuhan. Ternyata akhirnya malah berbuntut masalah.

l l l

KETIKA berusia 21 tahun, sebetulnya saya diterima di Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Surabaya. Tapi belajar di fakultas kedokteran memerlukan waktu yang ketat dalam mempersiapkan pelajaran. Padahal saat itu karier saya di bulu tangkis membutuhkan energi dan waktu yang penuh. Saya sebenarnya ingin mengakhiri, maaf, sebutlah "mitos" bahwa pemain bulu tangkis tidak pernah berhasil dalam pelajaran sekolah.

Pikiran seperti itu sebetulnya tidak hanya muncul dalam diri saya, tapi juga beberapa rekan atlet lainnya, seperti Darmadi dan Mintardja, yang lebih tua dari saya. Ketika kami berhasil merebut kembali Piala Thomas 1970, kami tidak mendapat apa-apa. Padahal, sebelumnya dijanjikan, bila berhasil, kami akan diberi segalanya. Inilah yang membuat saya dan beberapa rekan pebulu tangkis sedikit kecewa.

Pada saat kami disibukkan oleh pemikiran dan usaha lain di luar bulu tangkis, datanglah tawaran menarik dari Garuda. Mereka bersedia melatih kami untuk menjadi awak pesawat. Maka, ketika itu, saya, Darmadi, Mintardja, dan Indra Gunawan menerima tawaran Garuda. Bila lulus ujian fisik, kami akan diberi fasilitas dan akan dididik menjadi pilot.

Saya dan Darmadi lulus ujian fisik itu. Selama masa pendidikan di Cimahi, Jawa Barat, kami tetap diberi kesempatan berlatih bulu tangkis. Kami senang bukan main. Bukan hanya masa depan yang terjamin, kami juga dapat melakukan pekerjaan yang kami senangi di luar bulu tangkis.

Akhirnya niat menjadi pilot saya batalkan. Dirjen Bencana Alam Departemen Sosial, Pak Pasila namanya, datang kepada ayah saya di Surabaya. Dia meminta Ayah membujuk saya membatalkan niat menjadi penerbang, dan tetap bermain bulu tangkis. Usaha Pak Pasila cukup keras. Sejak Oktober 1970, saya resmi direkrut menjadi anggota staf Yayasan Rehabilitasi Sosial milik Departemen Sosial, yang dipimpin langsung Pak Pasila.

Dengan perkembangan itu, saya kembali ke Jakarta dan mulai berlatih seperti biasa. Keinginan tinggal dan bekerja di Surabaya, yang pernah muncul dalam benak, saya batalkan. Saya mulai kuliah di Fakultas Ekonomi Universitas Trisakti.

l l l

TANGGAL 28 Agustus 1976 menjadi hari paling bersejarah dalam hidup saya. Tidak ada yang menyamai kebahagiaan pada hari itu, bahkan dibanding seluruh kemenangan yang pernah saya peroleh di lapangan. Ketika itu Kepala Catatan Sipil Kota Madya Bandung Djoehana meresmikan pernikahan saya dengan seorang perempuan cantik bernama Jane Anwar.

Selain disaksikan kedua keluarga, pemain senior bulu tangkis Ferry Sonneville menjadi saksi pernikahan kami. Selang beberapa bulan kemudian, kami menjalani pemberkatan pernikahan di gereja Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, dan menggelar resepsi di ballroom Hotel Hilton.

Resepsi pernikahan digelar besar-besaran dan dihadiri berbagai kalangan, seperti mantan Menteri Pariwisata, Pos, dan Telekomunikasi Joop Ave serta Gubernur DKI Ali Sadikin. Ketika itu biaya pernikahan Rp 7,5 juta termasuk besar.

Perkenalan saya dengan Jane terjadi pada 1970 di Jakarta. Kami diperkenalkan seorang pemain lama, Darmawan Saputra. Jane adalah orang yang mendukung dan memberi dorongan pribadi kepada saya, baik dalam kehidupan sehari-hari maupun karier bulu tangkis.

Pengorbanan Jane tidak kecil. Dia tahu karier saya di bulu tangkis bukan hanya untuk kepentingan pribadi, tapi juga membawa nama bangsa. Ketika saya mengalami kekalahan dalam pertandingan, Jane adalah orang yang memberikan dukungan terbesar.

Setahun sebelum saya memperkuat tim Piala Thomas untuk kelima kalinya, putra pertama kami lahir. Christopher Hartono Kurniawan lahir dua hari sebelum saya berangkat ke London untuk bertanding di All England 1978. Adapun anak kedua kami, Christine Hartini Kurniawan, lahir enam bulan sesudah perebutan Piala Thomas 1979. Kini kedua anak kami sudah mapan. Saya dan Jane merasa lega.

Banyak orang mengatakan saat ini saya sudah mapan. Saya mensyukuri hal itu. Sejak muda saya dibiasakan bekerja keras, termasuk dalam menjaga kestabilan fisik dengan rajin berlari. Kini, setelah berusia lanjut, saya tetap melakukan latihan fisik, meskipun beban latihan tidak seberat dulu. Saya masih rajin treadmill dan tenis.

Prinsip saya, kesehatan ini diberikan Tuhan kepada saya. Artinya, saya harus bersyukur terhadap apa yang sudah Tuhan berikan kepada saya. Sejak muda saya percaya: di dalam tubuh yang sehat dan kuat pasti terdapat jiwa yang sehat dan kuat pula.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus