Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SAYA mengenal bulu tangkis pada usia delapan tahun melalui ayah saya, Zulkarnaen Kurniawan. Ketika itu dia pemilik Persatuan Bulu Tangkis (PB) Surya Naga, klub badminton di Surabaya. Pada awalnya tak pernah terlintas dalam pikiran saya menjadi atlet profesional—apalagi sampai juara dunia. Tapi Ayah selalu menekankan kepada saya, jika ingin menjadi juara dunia, saya harus berlatih keras.
Ayah selalu menekankan disiplin. Setiap hari saya harus bangun subuh untuk berlari pagi. Karena saya tidak berani lari sendirian, Ayah selalu menemani dengan sepedanya. Saya berlari, Ayah mengikuti dari belakang. Lari setiap pagi inilah yang membentuk kekuatan dan ketahanan fisik saya.
Latihan teknik pertama saya tidak dilakukan di lapangan tertutup. Ketika itu, saya dan Ayah memang kesulitan menemukan tempat berlatih yang tepat. Pada awalnya saya berlatih di pinggir jalan dan di lapangan parkir. Jalan itu berada di depan gedung PLN Surabaya, dulu orang menyebutnya Jalan Gemblongan. Tempat itu dipilih karena letaknya hanya dua-tiga kilometer dari rumah kami, Jalan Basuki Rachmat atau Kaliasin.
Dari jalanan, latihan kami pindah ke sebuah lapangan tertutup yang bernama PB OKE. Tempat ini sebetulnya "hangar" gerbong kereta api di PJKA Karangmenjangan. Buat saya, tempat ini sangat menyenangkan. Selesai berlatih, saya dan kakak saya, Freddy Hartono, bisa bermain di gerbong kereta api dan makan di warung dekat tempat itu.
Ketika masih di PB OKE, kami pernah melakukan pertandingan persahabatan ke Magelang, Jawa Tengah. Saat itu umur saya sepuluh tahun. Saya kalah telak menghadapi lawan yang usianya lebih tua dan berbadan lebih besar. Saya menangis sejadi-jadinya. Tapi kekalahan itu melahirkan tekad berlatih bulu tangkis secara sungguh-sungguh.
Ketika saya berusia 14 tahun, Ayah memindahkan latihan ke PB Rajawali. Saya mulai berlatih bersama beberapa pemain bulu tangkis bertaraf nasional dan internasional. Di PB Rajawali-lah saya merasa mental, fisik, dan teknik saya benar-benar digembleng. Pada musim hujan, kami diwajibkan membersihkan gedung yang dipakai berlatih dari sisa air hujan dan sampah yang berserakan.
Di PB inilah saya mulai berlatih secara profesional. Dulu, jika melatih saya, Ayah selalu menekankan bermain cepat dan agresif. Dengan metode permainan seperti itu, saya menuai prestasi di kejuaraan-kejuaraan junior. Pada masa itu, kebanyakan pemain bulu tangkis lebih mengutamakan permainan reli panjang dan keindahan. Gaya bermain seperti inilah yang akhirnya membawa saya ke pemusatan latihan nasional di Jakarta.
Pada kejuaraan bulu tangkis 17 Agustus 1965, seorang pengurus Persatuan Bulu Tangkis Seluruh Indonesia pusat, Ramli Rikin, datang ke Surabaya. Dalam kejuaraan itu, dia melihat permainan saya dan memutuskan membawa saya ke pelatnas. Padahal waktu itu saya belum pernah sekali pun memenangi kejuaraan tingkat senior se-Indonesia. Mulai 1 November 1965, saya mengikuti pelatihan di Jakarta dan mengikuti kejuaraan-kejuaraan di tingkat internasional.
Pada usia 17 tahun, untuk pertama kalinya saya masuk tim pelatnas menghadapi pertandingan bergengsi Thomas Cup. Saya dipasang sebagai pemain tunggal. Salah seorang legenda bulu tangkis, Ferry Sonneville, meramalkan saya akan menjadi pemain utama dalam tim Indonesia. Ramalannya benar: saya membawa kemenangan bagi tim Indonesia dengan mengalahkan pemain Malaysia, Tan Aik Huang dan Yew Cheng Hou.
Banyak orang menganggap saya pemain yang memiliki mental baik. Lebih-lebih dalam menghadapi pertandingan besar, seperti Thomas Cup dan All England. Memang saya memiliki sifat tidak mau kalah. Ada satu resep yang selalu saya terapkan untuk memperkuat mental. Terlihat lucu tapi saya selalu melakukan ini untuk mengatasi ketegangan dalam setiap pertandingan, yaitu berdoa, "Tuhan, terima kasih atas angka ini."
Saya memiliki keyakinan bahwa kekalahan adalah sesuatu yang wajar. Kekalahan pasti dialami setiap pemain, sedangkan kemenangan merupakan kehendak Tuhan. Hal paling berat yang dihadapi pemain adalah mempertahankan mahkota juara. Dia harus berusaha mati-matian, karena siapa pun lawan pasti ingin menjatuhkan kita di tengah jalan.
SAYA pertama kali memenangi kejuaraan All England pada 1968, dengan mengalahkan pemain unggulan Malaysia, Tan Aik Huang. Tahun berikutnya, 1969, saya kembali menjuarai All England dengan mengalahkan rekan senegara saya, Darmadi. Kemenangan saya sempat dipertanyakan beberapa pihak lantaran skor saya jauh meninggalkan Darmadi. Ada beberapa kecurigaan di sana. Mereka menuduh Darmadi memberikan skor kepada saya agar bisa menjuarai All England berturut-turut.
Menanggapi kecurigaan itu, pelatih saya, Irsan, dengan yakin mengatakan saya dan Darmadi sudah bermain maksimal. Saya dan Darmadi berada dalam pengawasan ketat para pelatih. Bekas pelatih teknik PBSI, Pudjianto atau Lie Po Djian, sempat mengatakan, dalam final All England 1969, pukulan saya mulai terarah dan taktik permainan saya mulai akurat.
Keberhasilan pertama dan kedua saya di All England diikuti kesuksesan pada tahun-tahun berikutnya: 1970, 1971, 1972, 1973, 1974, dan 1976. Delapan kali saya menjuarai All England. Rekor ini melampaui prestasi pemain bulu tangkis asal Denmark, Erland Kops, yang lebih dulu menjuarai All England tujuh kali.
Boleh dibilang, dasawarsa 1970 merupakan masa keemasan saya. Dalam setiap pertandingan, saya berada dalam kondisi prima. Hampir rata-rata saya memimpin permainan dalam setiap setnya. Pada 1970-an pula, saya dan tim Indonesia berhasil merebut kembali supremasi bulu tangkis putra dunia dari tangan Malaysia, yaitu Piala Thomas.
Tim Indonesia saat itu melalui jalan berliku dalam merebut Piala Thomas. Mulai babak penyisihan awal di Thailand, yang bermasalah, hingga sidang oleh Sekretaris Jenderal Federasi Bulu Tangkis Internasional di London. Akhirnya kami bisa mencapai final di Kuala Lumpur. Selain memperkuat tunggal putra, saya bermain di nomor ganda, berpasangan dengan Indra Gunawan.
Saya ingat, selepas merebut Piala Thomas, pada 15 Juni 1970, kepulangan rombongan kami disambut dengan upacara. Diiringi rintik gerimis, artis-artis cantik mengalungkan bunga pada leher kami, dan para pejabat mengulurkan tangannya menyalami kami. Hampir sepanjang Jalan Merdeka menuju Istana yang kami lewati dipadati pengunjung. Mereka ingin melihat kami. Di Istana Merdeka, kami langsung disambut Presiden Soeharto dan Ibu Tien. Presiden menganugerahkan Bintang Jasa Kelas I kepada saya.
Dari Istana, rombongan kami masih berkeliling menuju kantor Gubernur Jakarta. Masih terbayang, ribuan tangan melambai-lambai dan basah terkena hujan. Sepanjang jalan menuju kantor gubernur, teriakan mereka membahana dan membuat saya bergairah. Tidak satu-dua kali saya mengalami hal itu. Tapi peristiwa yang satu itu terus membayang dan menimbulkan rasa haru bila mengingatnya.
PADA kejuaraan All England 1972, pemain bulu tangkis asal Denmark yang terkenal urakan, Svend Pri, sempat memimpin permainan dengan angka 1-7 ketika melawan saya. Dia dikenal dengan tipe permainan yang hampir sama dengan saya, yaitu cepat, keras, dan agresif. Pri juga dikenal sebagai pemain berkemauan keras. Orang-orang mengira 1972 merupakan puncak performa saya, dan selanjutnya akan segera turun. Tapi saya berhasil membuktikan, kendati Svend Pri sempat memimpin pada awal set pertama, akhirnya saya bisa mengalahkannya juga, 15-9, pada set itu.
Tiga tahun kemudian, Pri membuktikan kemauan keras, kegigihan, kebesaran, dan kemampuannya memperhitungkan lawan. Dia berhasil mengalahkan saya dalam final All England 1975. Ini adalah harga yang pantas bagi perjuangannya. Dia memiliki forehand smash terbaik di dunia. Pri juga ditunjang kemampuan jantung dan sistem perspirasi yang istimewa. Svend Pri yang kocak dan urakan bagi saya adalah musuh dalam lapangan sekaligus sahabat di luar lapangan.
Pada 1978, akhirnya gelar juara All England beralih ke orang lain. Di final, saya bertemu dengan Lim Swie King, yang mengambil gelar itu dari saya. King adalah pemain yang gigih. Malam itu dia bermain lebih baik dari saya. Dia banyak mengembalikan bola saya dengan reli panjang. Dia juga rajin menyerang dengan akurasi yang mengagumkan.
Sejak awal, pada babak final, saya akui saya tidak punya keinginan berkobar-kobar untuk menjuarai All England sampai sembilan kali. Saya juga mengalami klimaks dalam babak-babak ronde sebelumnya. Akibatnya, saya menganggap pertandingan final itu merupakan pertandingan antiklimaks, sehingga saya bermain tidak semaksimal babak sebelumnya.
Dalam pertandingan itu, saya tidak mampu menciptakan suasana permainan "hidup-mati", seperti pada pertandingan All England sebelumnya. Hasilnya, saya bermain terlampau santai dan tidak mampu mengangkat permainan saya yang sesungguhnya. Namun tidak sedikit pun terlintas dalam pikiran saya untuk memberikan gelar juara kepada King begitu saja. Di hati kecil saya ada juga sedikit rasa sesal, mengapa saya tidak bisa memberikan yang terbaik pada akhir karier saya di All England?
Saya berpikir tidak perlu bersedih karena kalah saat melawan King. Ini mengundang pertanyaan beberapa wartawan, yang kemudian menghampiri saya. Bagi saya, tidak perlu ada yang disedihkan. Dalam setiap pertandingan, selalu ada yang kalah dan yang menang. Sudah begitu banyak yang saya peroleh dari bulu tangkis. Banyak kenangan indah yang tak tertandingi untuk diingat—dibandingkan dengan sebuah kekalahan. Apalagi saya memulainya dari umur yang cukup muda, 19 tahun.
PADA 1982, saya diminta kawan-kawan di PBSI ikut memperkuat lagi tim Indonesia di ajang perebutan Piala Thomas. Tujuannya membangkitkan kembali kegairahan di antara para pemain. Persiapan saya saat itu hanya dua bulan. Dengan persiapan sesingkat itu, saya tahu tidak mungkin menang. Tapi tampaknya tidak ada pilihan lain. Saat itu Hastomo Arbi diskors. Lius Pongoh, Hadiyanto, dan Icuk Sugiarto dibekap cedera.
Pada pertandingan final, saya bertemu dengan pemain Cina bernama Luan Jin. Ia memiliki tipe permainan yang keras. Saya tidak bisa membendung kekalahan. Akibatnya, posisi kami, yang sehari sebelumnya unggul 3-1, menipis menjadi 3-2. Akhirnya kami menggantungkan harapan pada Lim Swie King, agar ia dapat menebus kekalahan saya. Tapi, siapa sangka, kekalahan saya merupakan awal kekalahan beruntun. King kalah oleh Han Jian, Lius menyerah kepada Chen Changjie, dan pasangan Kartono/Heryanto takluk kepada Sun Zhinan/Yao Ximing.
Di Royal Albert Hall, London, pada 21 Mei 1982, saya merasakan kembali pahitnya kekalahan. Saya gagal menyumbang satu angka yang diharapkan dari saya. Agaknya saya terlalu berani menerima tawaran bermain kembali. Saat itu regenerasi pemain belum berjalan maksimal.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo