Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TAK ada kalungan bunga menyambut tim bulu tangkis Indonesia ketika mendarat di Bandar Udara Halim Perdanakusuma, 25 Maret 1982. Rombongan Liem Swie King dan kawan-kawan, yang baru tiba dari All England, itu hanya disongsong segelintir teman dan kerabat. Rudy Hartono menjadi satu-satunya pengurus Persatuan Bulu Tangkis Seluruh Indonesia yang ikut menjemput. Sejak 1968, inilah untuk pertama kalinya tim Indonesia gagal memboyong satu pun gelar kejuaraan All England.
Indonesia kembali gigit jari dalam Piala Thomas di Inggris, Mei 1982. Rudy, juara All England delapan kali, diminta PBSI kembali turun ke lapangan untuk membangkitkan semangat pemain. Namun, kehadirannya, yang ketika itu berusia 32 tahun—usia yang dianggap sudah melewati masa keemasan—tak bisa menahan gempuran para pemain Cina. Indonesia kalah di final. Inilah untuk pertama kalinya Cina menjuarai turnamen yang digelar sejak 1938 itu.
Cina merontokkan dominasi Indonesia—juara empat kali berturut-turut sejak 1970. Kegagalan berantai itu telah mengubah citra Indonesia sebagai pemegang tunggal supremasi bulu tangkis dunia. Rudy merasakan kegetiran Indonesia di arena badminton sebagai pengurus dan pemain. Ketika itu belum genap setahun ia menjadi Ketua Bidang Pembinaan PBSI di bawah kepemimpinan Ferry Sonneville.
SAYA dipercaya menjadi Ketua Bidang Pembinaan PBSI meskipun masih aktif sebagai pemain. Saya melihat kelemahan pemain yang sering mengabaikan masalah teknis. Pola pembinaan bulu tangkis di Indonesia, sejak 1967, diarahkan pada sistem permainan speed and power. Gaya ini mengandalkan kecepatan dan kekuatan, yang membutuhkan kondisi fisik prima atlet.
Pemain Indonesia memang mendominasi dunia, dan dikenal kekuatan fisiknya. Tim Merah Putih hampir tak menemui banyak kesulitan merengkuh gelar juara sampai 1980. Gaya speed and power itu ditiru negara lain, seperti Cina dan Malaysia. Saya mencoba resep skill, speed, and power. Keterampilan, kecepatan, dan kekuatan. Keterampilan merupakan pematangan pukulan, seperti drop shot dan smes. Kombinasi tiga keunggulan itu bisa diperoleh melalui pembinaan berkelanjutan.
Selama bertahun-tahun Indonesia mengalami kejayaan di arena bulu tangkis. Tapi sebetulnya bukan lantaran pembinaan yang benar, melainkan karena Indonesia memiliki segudang pemain istimewa yang bisa cepat mahir dari sisi teknis. Indonesia memiliki Tan Joe Hok, Ferry Sonneville, Liem Swie King, Tjuntjun, Christian Hadinata, Iie Sumirat, dan lain-lain.
Pemain jenius tak akan lahir terus-menerus, sehingga perlu pembinaan berkelanjutan. Lantaran kurang pembinaan, prestasi tim Merah Putih merosot begitu "generasi emas" mulai pudar kilaunya. Pengkaderan tersendat karena perhatian sering kali dipusatkan pada pemain top. Saya kira sistem pembinaan di Cina lebih baik.
Ketinggalan dalam pembinaan bisa terlihat dalam Piala Thomas 1982. Para pahlawan Thomas Cup 1976 dan 1979, seperti Liem Swie King dan Tjuntjun, sudah menurun, sementara pemain muda, seperti Icuk Sugiarto, belum stabil. Piala Thomas akhirnya melayang ke Cina.
Dari rangkaian kekalahan itu, saya memimpikan lahirnya badan penelitian dan pengembangan. Sampai sekarang belum ada "buku pintar" yang disusun secara ilmiah. Bagaimana mengembangkan pemain dari aspek teknik dan fisik. Bagaimana seharusnya bermain, dan tipe permainan yang dipilih, tak ditetapkan secara ilmiah. Pengembangan dan penelitian mental yang melibatkan psikolog juga sangat penting. Di Cina, setiap orang bisa mendapat informasi sebanyak-banyaknya mengenai bulu tangkis.
Saya sudah mengutarakan pentingnya pembinaan ketika menjadi pelatih pada 1977. Waktu itu, saya melatih tim yang akan menghadapi Kejuaraan Dunia pertama di Swedia. Tim gagal mencapai target karena hanya menyabet satu gelar juara dari nomor ganda Tjuntjun/Johan Wahyudi. Seperti ditulis Tempo, 1977, saya mundur sebagai pertanggungjawaban atas kegagalan itu.
Pada akhir 1986, saya melatih pemain bulu tangkis muda, seperti Alan Budikusuma dan Ardy Wiranata. Pemain putra senior, seperti Icuk Sugiarto, Eddy Kurniawan, Eddy Ismanto, dan Serian Wijatno, dipoles pelatih asal Cina, Tong Sin Fu. Adapun pemain ganda Rudy Heryanto/Liem Swie King, Eddy Hartono/Hadibowo, dan Lius Pongoh/Richard Mainaki dilatih Christian Hadinata. Sejak Sin Fu muncul, pelatih bulu tangkis Indonesia tak lagi menangani pemain secara borongan.
Saya memberikan latihan ekstra untuk melatih kecepatan dalam menutup lapangan, akurasi pukulan, dan menambah daya tahan fisik—yang saya rasakan betul kebutuhannya dalam berbagai turnamen. Saya menempa fisik sejak kecil melalui Ayah dengan prinsip: setiap latihan harus lebih berat dari sebelumnya.
Dari hasil penelitian dokter, saya melihat pemain harus digenjot fisiknya karena hemoglobin pas-pasan. Hemoglobin merupakan pigmen dalam sel darah merah yang fungsinya antara lain menyebarkan oksigen dari paru ke seluruh jaringan tubuh. Kecilnya kadar hemoglobin bisa jadi petunjuk jeleknya stamina pemain. Dalam persaingan yang sangat ketat, pemain dituntut memiliki fisik prima dan teknik unggul.
Ardy dan Alan baru bisa membuktikan keunggulan stamina dan kemampuan teknis pada 1990-an. Generasi Ardy, Alan, Heryanto Arbi, Susi Susanti, Rexy Mainaky, dan Ricky Subagja mampu mengembalikan prestasi bulu tangkis Indonesia. Sayangnya, generasi "emas" ini muncul bukan melalui pembinaan yang berkelanjutan, sama seperti para pendahulunya. Walhasil, bulu tangkis Indonesia kembali mengalami kemarau prestasi sampai sekarang.
Setelah sekian lama melatih, saya diminta Ketua Umum PBSI Sutiyoso menjadi Ketua Bidang Pembinaan pada 2005. Ketika ditawari, saya berkata kepada Sutiyoso hanya akan menjabat untuk sekali kompetisi, yakni Thomas Cup. Indonesia ternyata kembali gagal merebut gelar juara di Thomas Cup 2006. Tim Merah Putih tumbang di semifinal melawan Cina. Saya pun mundur pada November 2006.
Kendati sudah pensiun, saya selalu ingin membantu memajukan bulu tangkis Indonesia. Sampai saat ini, saya masih menjadi penasihat PBSI. Tapi, dalam berbagai kesempatan, saya hampir tak pernah diajak urun rembuk, termasuk menjelang Indonesia Open 2011 di Senayan, Jakarta, Juni lalu. Kejuaraan Indonesia Terbuka semakin memperlihatkan keterpurukan Indonesia. Tiga kali berturut-turut Indonesia gagal meraih gelar dalam pertandingan di negeri sendiri.
Dalam menghadapi Indonesia Terbuka, PBSI mendatangkan pelatih Cina, Li Mao. Saya didatangi pemain yang menyaksikan latihan. Pemain itu mengeluhkan gaya pelatihan Li Mao. Ia berkomentar cara berlatihnya kembali ke nol. "Kalau latihan begitu, kapan majunya. Pantas kalah."
Gagal beruntun tiga tahun, khususnya ketika bertanding di kandang sendiri, mengindikasikan sesuatu yang salah. Kalah berarti ada kekurangan, kesalahan, dan ketidakpasan dalam memoles pemain. PBSI harus berani melakukan perubahan total dan terbuka. Tak usah malu. Kalau dibiarkan terus, akan berbahaya, karena peminat bulu tangkis bisa menurun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo