BERMULA dari kedondong. Tiga anak mengendap-endap di bawah pohon kedondong yang rimbun dan lebat buahnya. Masing-masing membawa katapel. Seperti dikomando, ketiganya serentak mengarahkan sasaran ke pohon itu, mengharap satu dua buah kedondong jatuh. Eh, benar, setelah memuntahkan batu yang kesekian dari katapel itu terdengar bunyi dahan retak. Lalu, bruk. Ternyata, bukan buah kedondong yang jatuh. Tapi pemilik pohon kedondong itu, Wagino. Tentu saja ketiga anak itu kaget, lalu mengambil langkah seribu. Lari terbirit-birit. Akan halnya Wagino, ia mengerang-erang sembari mengumpat sejuta topan badai. Hari itu ia memang berniat memetik buah kedondongnya yang sedang ranum. Tapi sial. Sementara tangannya meraih buah kedondong, "buah kedondong"-nya terkena batu katapel. Sakit luar biasa sampai ia tersuruk jatuh dari ketinggian sekitar enam meter. Akibatnya, tulang kaki, tangan, dan pinggulnya patah. Tapi Wagino masih sempat melirik ketiga anak nakal itu. Di Desa Panimbangan, Kabupaten Cilacap, itu anak-anak yang biasa membawa katapel kebetulan tak begitu banyak. Nah, Wagino pun segera mencari siapa anak yang tega mengatapel "kedondong"-nya sehingga malapetaka itu datang. Dan peristiwa yang terjadi pada pertengahan Juli lalu itu akhirnya berbuntut panjang. Lagipula, berbelit, keluar dan angle. Dari tiga anak itu, seorang yang bertanggung jawab. Namanya Sona. Tak banyak yang dituntut Wagino dari Sona. Wagino cuma minta dicarikan dukun untuk mengurut kaki dan tangannya. Tapi, dukun yang dimaksud sudah tiga kali memijat Wagino, ia belum juga pulih. Malah, kakinya semakin membengkak. Akhirnya, laki-laki berusia 52 tahun itu minta dipanggilkan seorang dukun kondang. Dukun itu tinggalnya di Desa Pesahangan, sekitar 20 kilometer dari Panimbangan. Keinginan Wagino kali ini tak bisa dipenuhi Nyonya Sarmi, ibu Sona. Ia tak punya uang untuk membayar dukun kondang ini. Apalagi suaminya tak di rumah karena sedang berburuh di Cilacap. Tahu kelemahan itu, Wagino mengajukan syarat baru. Nyonya Sarmi diminta menemaninya selama tiga hari berturut-turut. Kebetulan, istri Wagino sudah beberapa hari menginap di rumah saudaranya di Desa Cimanggu. Jadi, klop. Nyonya Sarmi menyanggupi syarat baru itu. Selama menemani, Nyonya Sarmi juga memijat-mijat Wagino, walau ia bukan dukun. Dan seterusnya. Gosip pun timbul. Antara Wagino dan Nyonya Sarmi telah terjadi "hubungan pendek". Gosip itu segera menyebar sampai ke telinga Darman, suami Nyonya Sarmi. Apa yang dilakukan Darman? Setelah selidik sana selidik sini, Darman pergi ke Cimanggu. Ia menghubungi istri Wagino dan mengadakan pembicaraan empat mata. Gosip pun muncul lagi antara Darman dan istri Wagino ini. Pokoknya, runyam. Lalu, muncullah tokoh Sardi. Dia ini anak laki-laki Wagino. Dia tak ingin melihat keluarganya retak atau jadi penyebab retaknya keluarga lain. Ide pemuda berusia 19 tahun ini cemerlang. Ia segera memacari Noni, gadis usia 17 tahun, bahkan kemudian melamarnya. Noni, eh, tidak menolak. Siapa dia? Noni adalah anak Darman. "Orangtua kami bersatu lagi, dan rukun-rukun," kata Sardi. Gosip pun mereda. Masa sesama calon besan saling "ada main". Tapi sebenarnya, "main" itu juga tidak gawat, seperti pengakuan Nyonya Sarmi atau istri Darman, atau ibu Noni dan Sona, "Selama saya menemani Wagino hanya memijit saja, tak ada yang lain." Misalnya mengatapel kedondong".
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini