Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Andrzej wajda adalah polandia

Film "canal" disutradarai andrzej wajda diputar pada pekan film polandia di tim jakarta. film hitam putih ini dibuat th 1957 oleh produser kadr film unit. tentang kepahlawanan dari sudut kepedihan.

17 September 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KENANGAN pahit masa penjajahan lazim menjadi sumber ispirasi. Itulah saat-saat yang akan selalu relevan untuk ditengok kembali, terutama bagi negeri-negeri yang kemudian berhasil merdeka setelah Perang Dunia II usai apakah itu bernama Indonesia atau Polandia. Kita bisa menggapai suasana emosi masa penjajahan, misalnya lewat film Enam Jam di Yogya (Usmar Ismail). Untuk melihat gejolak yang sama di Polandia, di masa pendudukan Nazi Jerman telah banyak film yang dihasilkan sutradara setempat. Antara lain Canal, disutradarai oleh Andrzej Wajda. Dalam Pekan Film Polandia di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 5-11 September lalu, film ini diputar dan sedikit menambah gengsi acara itu. Gnal menonjol karena cerita dan juga bobot sutradaranya. Film hitam putih ini dibuat tahun 1957 oleh produser Kadr Film Unit. Ia menyandarkan diri pada seting ketika Warsawa bergolak, September 1944. Ketika kota yang bersejarah itu digenjot mortir dan disapu mesiu Nazi Jerman, para partisannya bangkit mengadakan perlawanan. Itulah tahap yang paling tragis dalam sejarah Polandia. Ini sebuah cerita kepahlawanan, tapi melalui sudut pandang yang tak biasa bagi kita di sini. Dengan fokus pada Sang Komandan, seorang perwira parusan yang mencoba melepaskan diri dari kepungan tentara pendudukan dan melakukan penyusupan ke tengah kota melalui saluran air bawah tanah (drainase). Perang di tanah terbuka, di balik bangunan yang sudah rombeng akibat mesiu, hanya berfungsi sebagai intro untuk adegan panjang dalam kegelapan kanal. Di situ, dengan senjata yang tak memadai lagi dan sebagian tubuh terendam comberan konflik dan perang batin barisan orangorang terusir semakin meningkat. Bukan untuk menuju kepada kemenangan, seperti lazimnya setelah perjuangan panjang. Tapi kepenatan fisik dan batin setelah menyusuri lorong yang menjadi labirin itu -- dengan akibat rombongan tercerai-berai -- akhirnya hanya bermuara pada kesia-siaan bagi semua. Si perwira merasa wajib kembali masuk lubang kanal setelah sadar hanya dirinya dan ajudannya yang sampai ke permukaan jalan, tanpa terjebak ranjau atau terali atau pasukan Nazi, seperti yang dialami oleh serpihan anggota rombongannya. Itu pun setelah ia menembak ajudannya. Inilah ending yang jauh dari patriotik, tak seperti kebanyakan film perang lainnya. Dalam Canal, Andrzej Wajda (dieja: an-jay vy-dah) melihat arti kepahlawanan secara lebih jujur: dari sudut kepedihannya. Mengingat kegemilangan dan legenda tentang pahlawan nyatanya sering tergelincir pada rekaan. Wajda, yang oleh kalangan kritikus internasional disejajarkan dengan tokoh seperti Igmar Bergman, Federico Fellini, dan Akira Kurosawa, tampaknya lebih membenamkan dirinya pada lubuk batin bangsa dan tanah airnya. "Ia menyapa langsung hati bangsa Polandia," kata tokoh drama negerinya, Jan Kott, kepada Washington Post suatu hari. "Bagi kami, masa lalu bak secabik luka yang belum tersembuhkan. Wajda, kini 62 tahun, menangkap kepedihan itu. Canal -- bagian kedua dari trilogi A Generation (1954, semacam studi mendalam tentang para pemuda yang kecewa akibat perang) dan Ashes and Diamonds (1958, tentang perang saudara selama komunis melakukan konsolidasi antara 1945 dan 1948) - membuahkan penghargaan internaslonal yang pertama bagi Wajda. Yakni, Special Jury Prize di Cannes, 1957. Hadiah internasional berikutnya, antara lain, Golden Palm, 1981, juga di Cannes, lewat Man of Iron. Penghargaan itu dikecam media massa Soviet sebagai tindakan politis saja, bukan alasan artistik. Film itu "anti-Sosialis," kata Moskow. Di dalam negeri Polandia sendiri, film tersebut juga menghadapi tentangan badan sensor sehingga baru bisa sampai ke tempat festivai beberapa jam menjelang jadwal pertunjukannya. Dibutuhkan tawar-menawar dengan para pejabat sensor. Pada dasarnya film-film garapan Wajda hampir selalu berbicara tentang problem dasar bangsa dan negaranya -- dan ini berarti juga kritikan tajam bagi pemerintah Polandia. Contoh lainnya, film Danton, cerita dengan latar Revolusi Prancis yang sempat diinterpretasikan sebagai potret zaman. Robespierre adalah Jenderal Jaruzelski, dan Danton dihubungkan dengan Lech Walesa, itu pemimpin organisasi pekerja Solidaritas. Kemudian, Man of Iron itu, yang bercerita tentang seorang mahasiswa di Gdansk. Ayahnya seorang pahlawan kaum buruh pada 1950-an. Si pemuda ikut pergerakan mahasiswa 1968, dan ayahnya terlibat gerakan buruh di Gdansk 1970 dan terbunuh oleh petugas keamanan. Setelah mundur dari universitas, tokoh muda ini menjadi bagian dari pemogokan buruh Agustus 1980 di pantai Baltik dan memimpin Solidaritas. Itulah film yang menampilkan sosok sebenarnya, para pelaku yang masih meneruskan rentetan peristiwa," kata Wajda. Tokoh Solidaritas Lech Walesa dan Sekretaris I Partai Komunis di Gdansk bermain sebagai diri mereka masing-masing. "Sangat menarik dan politis sifatnya," kata Wajda. Pekan film di TIM itu, yang dimotori Kedutaan Polandia di Jakarta, dengan hanya memutar satu karya Wajda, yakni Canal jadinya terasa tidak lengkap. Mohamad Cholid

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus