Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Goyang dangdut

Persatuan artis musik melayu indonesia (pammi) dipimpin rhoma irama,44, mengadakan lomba cipta lagu dangdut tingkat nasional 1991 di jakarta. festival ini untuk menaikkan pamor musik dangdut.

25 Mei 1991 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

GOYANG DANGDUT MUSIK dangdut diam-diam sudah melejit tak lagi sebagai musik kalangan "bawah". Musik ini sudah diekspor ke mancanegara, terutama Jepang. Diskotek di kota besar pun mulai berdangdutria. Para pejabat, dari menteri sampai wakil gubernur -- dan tak mustahil masih banyak yang lain -- mulai terang-terangan mengaku suka dangdut. Festival dangdut tingkat nasional bahkan digelar di Balai Sidang Senayan. Pengunjungnya berpakaian perlente. Lirik lagu dangdut pun tak lagi ratapan. Adapun penyanyinya tak lagi "penyanyi kelas dua", tetapi sudah tampil bermobil, punya rumah, walau -- seperti pendukung musik aliran lain -- banyak yang masih tetap di "papan bawah". Seorang ahli psikologi sosial bahkan menempatkan musik dangdut saat ini sudah menjadi "musik sandingan" -- bersanding sejajar dengan jenis musik lainnya. Dengan mengerahkan banyak reporter, antara lain Ardian Taufik Gesuri, Siti Nurbaiti, Reza Rohadian (Jakarta), Sarluhut Napitupulu, Munawar Chalil, Irwan E. Siregar (Medan), Zed Abidien, Kelik M. Nugroho (Surabaya), Ahmad Novian, Ahmad Taufik (Bandung), Aina Rumiyati Aziz (Palembang), Nanik Ismiani (Semarang), TEMPO mencoba memotret perkembangan musik dangdut yang sedang meroket ini. Dan jika muncul di rubrik Selingan -- bukan Musik atau Laporan Utama, misalnya -- bukanlah berarti dangdut kurang gengsi, tetapi justru agar halamannya bisa lebih panjang. DULU, penyanyi yang berhak naik mobil hanya yang di jalur pop. Penyanyi dangdut, biar top, tetap naik opelet. Dulu, yang berhak beli rumah hanya penyanyi pop. Penyanyi dangdut cuma kontrak di kampung-kampung. Dulu, penyanyi dangdut cuma bisa nyanyi di pesta kawin, hajat sunatan. Sekarang, penyanyi dangdut juga bisa naik mobil, beli rumah, dan manggung di Balai Sidang." Rhoma Irama, yang mengatakan hal itu, tergelak sendiri. Satria dangdut itu tidak sedang berolok-olok. Tengok saja biduan Meggy Z., 46 tahun, dan Itje Trisnawati, 29 tahun. Dari sebuah lagu Lebih Baik Sakit Gigi yang laris 300 ribu biji, Meggy beroleh bonus Mazda 323 model mutakhir. Dari sebuah lagu Duh Engkang yang terjual 800 ribu kopi, Itje membangun masjid di kota kelahirannya, Tasikmalaya. Dan sederet lagi kalau mau disebut penyanyi yang ketiban rezeki dari dangdut. Di Balai Sidang Senayan, 2 Mei lalu, 10 rombongan dangdut naik ke panggung. Mereka para finalis "Lomba Cipta Lagu Dangdut Tingkat Nasional 1991", yang dirancang oleh PAMMT (Persatuan Artis Musik Melayu Indonesia) -- dipimpin Rhoma Irama dan Yayasan Baitul Amanah, pimpinan Eddy Sud. Dalam catatan panitia, lomba ini diikuti 489 peserta. "Peserta lomba datang dari semua provinsi, kecuali Irian Jaya dan Timor Timur," ujar Ujang Haviana, sekretaris PAMMI merangkap juri lomba itu. Penonton, kendati masuk dengan gratis, lebih perlente dan banyak yang naik mobil. Para hadirin itu pun mau duduk tenang di bangku gedung berkapasitas 4.000 tersebut. Artinya, tak ada yang melompat dari kursinya, lalu meliuk-liukkan tubuh disihir entakan gendang -- bak layaknya penikmat dangdut di kampung. Dan seperti menggarisbawahi ke-elite-annya, pemenang pertama festival kali ini mendapat hadiah Rp 7,5 juta. Nilai uang terbesar dalam sejarah festival musik. Lagu pemenang kali ini pun tak menyinggung kata "pacar, cinta, bui, sepiring berdua", tapi sudah menyebut soal kunjungan wisata. Diiringi barisan penari latar yang berpakaian Bali lengkap dengan kipas, biduan terkenal asal Palembang, Bariah Hamed, melagukan Bali Tersenyum ciptaan Denny Albar inilah lagu pemenang. Kata yang empunya hajat, Rhoma Irama, 44 tahun, festival ini antara lain dimaksudkan untuk menaikkan pamor musik dangdut. Maka, tempat penyelenggaraan dipilih Balai Sidang atas usul Wakil Gubernur DKI Basofi Sudirman. "Saya bilang ke Rhoma, mbok ya di Balai Sidang saja, tempatnya kan bergengsi, biar yang nonton juga bergengsi," kata Basofi. Ketua DPD Golkar Jakarta ini termasuk pengiklan dangdut terselubung. "Pada pesta kelas atas, saya justru memilih lagu dangdut kalau diminta menyanyi," kata Basofi, yang hafal sejumlah lagu dangdut. Terobosan dangdut tampaknya memang makin gencar. Salah satunya karena andil media komunikasi yang lebih akomodatif terhadap jenis musik yang satu ini. Lihatlah TVRI. Media berpengaruh ini tak malu-malu menyiarkan musik dangdut dalam porsi yang amat besar. "Persentase penyiaran musik dangdut memang naik dibandingkan tahun lalu," kata Hoediono Drajat, Kepala Seksi Perencanaan Musik dan Hiburan TVRI. Dangdut mengisi lima acara TVRI, di antaranya Aneka Ria Safari, Kamera Ria, dan Album Minggu. "Untuk Aneka Ria, porsi dangdut bisa sampai 50%, dan untuk Album Minggu bisa sampai 40%," kata Hoediono. Tapi kenaikan itu, katanya, sebanding dengan peningkatan penyiaran jenis musik lain dalam berbagai acara. Di televisi lokal, umpamanya TVRI stasiun Medan, juga ada paket Arena Ria yang meniru gaya Aneka Ria Safari TVRI Pusat. Isinya 50% lagu dangdut. Penyanyi-penyanyi dangdut yang muncul di Aneka Ria Safari bak menghadapi festival. Pakaiannya, goyangnya, dan judul-judul lagunya, semuanya bikin pemirsa kesetrum. Dan untuk grup dangdut daerah, agaknya acara ini dipancang sebagai tolok ukur hits dangdut. Di antaranya, grup IKKI di Palembang, kelompok dangdut terkenal dan tertua -- didirikan 1957 sebagai grup kasidahan. "Kami selalu menunggu Safari untuk memantau lagu yang lagi top," kata Manajer IKKI, Zainab Hamed. Berbagai jenis dangdut pun muncul, ada dangdut pop, rock, reggae, rap, dan bahkan dangdut anak-anak. Para pedangdut muka baru memenuhi layar kaca. Ada Jhonny Iskandar, yang lengkingannya di ujung-ujung bait Bukan Pengemis Cinta segera dihafalkan orang. Sebelumnya, Jhonny pernah membuat prestasi di ladang dangdut dengan mencipta lagu Judul-judulan yang laris sampai 1 juta kopi. Ada juga Ona Sutra yang Terbayang-bayang, Evie Tamala dengan Dokter Cinta, dan si Sedang-sedang Saja Vety Vera. Rezeki gendang juga menyeret artis pop semacam Heidy Diana. Namanya kontan naik ke bulan lewat dangdut pop Di Mana Ada Kamu di Situ Ada Aku, dan membikin sejumlah lagu dangdut lain yang dimirip-miripkan agar mudah-mudahan ketiban rezeki sama. Rano Karno dan Ria Irawan, yang entah berapa lama belajar cengkok dangdut, masuk juga ke aliran ini. Pun biduan-biduan abadi macam Hetty Koes Endang dan Titiek Sandhora. Tak ketinggalan bintang yang hampir terlupakan macam Eddy Silitonga dan si Helly Chicha Koeswoyo menyapa pemirsa dengan dangdut. Pendeknya, meriah. Kaset lama Ahmad Albar yang berirama melayu, Zakia, produk 12 tahun lalu, dirilis lagi. "Saya berdangdut semata-mata mengisi waktu saja," kata rocker kesohor itu. Meskipun Zakia mendapat pasaran baik, Albar merasa cukup menyudahi rekaman dangdut sampai dua album saja. "Karena rock-lah musik saya," ujar pentolan God Bless itu. Dan deretan penyanyi dangdut akan terus mengalir. Simak saja kata Sugama, pemilik Gajah Mada Record. "Tidak kurang dari 20 kaset contoh vokal yang kami terima dari mereka yang ingin menjadi artis penyanyi dangdut, setiap hari," kata Sugama pada Sri Raharti dari TEMPO. Gajah Mada juga secara teratur bikin lomba cipta lagu. "Lebih dari seratus pencipta lagu mengirim ciptaannya, mayoritas lagu dangdut, sisanya lagu pop," ujar Sugama. Ini baru di satu perusahaan rekaman. Kawasan Glodok, milik para produser kaset, adalah kerajaan dangdut. Konon, tiap-tiap produser memilih penyanyi dan lagu menurut feeling masing-masing. Feeling selera pasar, tentunya. Pernah suatu kali produser film Budiati Abiyoga menawari produser kaset di Harco lagu-lagu dangdut karya Harry Roesli yang dipakai dalam film Cas-cis-cus. Apa kata juragan kaset dangdut? "Wah, ini dangdut intelektual. Nggak laku di pasaran," kata Harry, menirukan ucapan salah seorang pemilik perusahaan rekaman. Pemasaran kaset dangdut untuk anak-anak, seperti Pangeran Dangdut, dalam tempo enam bulan menjaring 300 ribu pembeli. Penyanyinya, Abiem Ngesti, 13 tahun, langsung mendapat rezeki nomplok. "Bonusnya saja sudah bisa untuk beli mobil," kata pencipta lagu Wiwien Ngesti, ayah Abiem. Jejak sukses ini diikuti sejumlah album dangdut bocah lainnya. Pengulangan sukses ini memang dimungkinkan karena dangdut bersinambung pada diri sendiri. "Dangdut selalu melihat pada pendahulunya. Kalau musik pop tidak. Dia berkiblat ke Amerika," kata Remy Silado, pengamat musik yang pernah ikut memopulerkan istilah dangdut di majalah musik Aktuil tahun 1970-an. Pada musik pop, pendahulunya bukan, misalnya, Rachmat Kartolo, tapi langsung ke penyanyi Barat. Sedangkan pedangdut banyak berkiblat ke pendahulunya, terutama yang dikaguminya. Umpamanya, Mara Karma dan Nano Romanza meniru Rhoma Irama. Begitu larisnya kaset dangdut, ada produser tega menjual nama tok. Misalnya, dalam kasus lipsync Ria Irawan. Di layar kaca, peronton bisa gemas melihat si lincah Ria fasih berlenggok dengan lagu Hiasan Mimpi. Belakangan, penyanyi dangdut dengan prestasi tiga album, Minawati Dewi, buka rahasia. Katanya pada Susilawati Suryana, "Seratus persen suara dalam lagu itu suara saya." Pasalnya, kata Mina, menyanyi dangdut itu tidak gampang. "Kebanyakan penyanyi baru mengalami kesulitan membawakan cengkok-nya," kata Mina. Minawati belajar cengkok itu dua tahun. Celakanya, kata Mina, kasus Ria bukan satu-satunya. "Ada penyanyi yang dibayar dengan sistem honor untuk mengisi suara penyanyi lain," katanya lagi. "Sebab, ada orang yang dikaruniai suara bagus tapi tidak didukung penampilan, atau sebaliknya. Jadi, produser mengatur itu." Rhoma setuju kalau disebut bahwa dangdut makin memasyarakat. "Kalaupun jumlah penggemar dangdut masih sama, penggemar dangdut dulu dan sekarang ada bedanya," kata Rhoma. "Dulu ada sekian juta yang senang, tapi malu mendendangkannya. Sekarang, setelah melihat eksistensinya makin kuat, mereka tidak malu-malu," kata Rhoma. Diam-diam kaset Sepiring Berdua dan Gubuk Derita ikut naik mobil Volvo B-50 bersama Mensesneg Moerdiono. Kepada TEMPO Moerdiono mengaku, "Saya penggemar dangdut. Penggemar berat sih nggak. Hanya suka saja mendengarkan musik dangdut itu." Suatu kali ketika diwawancarai majalah Matra, Moerdiono, yang lebih banyak kelihatan serius itu, lalu menyanyi, Aku relaaa...." "Kata-kata yang ada pada lagu-lagu semacam itu membuat hati trenyuh," katanya pada wartawati TEMPO Linda Djalil. "Saya seperti merasa terwakili dengan kata-kata itu," ujar Moerdiono. Ia tak menjelaskan lebih lanjut apa arti "terwakili", mengingat ia pastilah tak termasuk yang "makan sepiring berdua". Yang jelas, koleksi lagu dangdut Moer datang dari sopirnya. "Dia yang saya suruh beli kaset," katanya. Ahli psikologi sosial Iman Santoso Sukardi melihat bahwa dangdut, yang semula gejala musik tandingan, sudah menjadi budaya musik sandingan. Dalam kelahirannya, dangdut lebih sebagai musik tandingan, refleksi ketidakmampuan kalangan tak punya. Bisa dicontohkan syair Begadang Rhoma Irama: Bagi mereka yang punya uang, berdansa-dansi di night club. Bagi kita yang tak punya uang, cukup berjoget di sini. Bahkan pengajar di Fakultas Psikologi UI ini mengantisipasi, kalau perkembangan dangdut terus mencuat seperti ini, "Dangdut bisa menjadi budaya musik utama. Sekarang kan orang asing mulai tertarik?" Musik sandingan itu memang sudah terbang ke tangan Yoko Takebe, 21 tahun, mahasiswa tingkat IV Fakultas Sastra Universitas Sophia di Jepang." Saya punya kaset dangdut Rhoma Irama, Elvi Sukaesih, dan Camelia Malik," kata Yoko, yang pernah tiga kali ke Indonesia. Nama Camelia Malik memang yang lebih dahulu terdengar di Negeri Robot. Itu karena lima tahun lalu, Camelia, Reynold, dan grup Tarantulanya mengadakan pertunjukan di wilayah pusat hiburan Shibuya, Tokyo, selama tiga hari. Albumnya Colak-colek dan Wakuncar beredar di sana sekitar enam bulan sebelumnya. Wartawan TEMPO Seiichi Okawa mengenang, saat itu banyak remaja Jepang ikut-ikutan berdangdut bersama Tarantula. "Sangat antusias. Buktinya, penyanyi Jepang yang terkenal saat itu, Hiromi Ota, ikut bergoyang-goyang," kata Risto El Tobing, staf KBRI di Tokyo. Kedatangan Tarantula atas saran Risto -- teman sebangku Reynold di SMA -- pada promotor musik di Jepang yang ingin mengundang "penyanyi Indonesia yang mampu membawa lagulagu etnis bangsanya". Awal Mei lalu, giliran Hetty Koes Endang mempromosikan dangdut di Tokyo. "Saya senang sekali bisa menembus pasaran di Jepang," kata biduan serba bisa itu. Dalam catatan tabloid Nova, sekitar April lalu, album Fahmy Shahab dan Hetty Sunjaya, Kopi Dangdut, duduk di urutan keempat lagu terpopuler di Jepang. Duet ini rencananya akan tampil di beberapa kota di Jepang, Juli mendatang. Menyusul, Oktober depan, Elvi Sukaesih dan grupnya yang bermuhibah ke sana. Beberapa tahun belakangan, sejumlah compact disc yang berisi lagu Mandi Madu, Rama-Rama, dan Pesta Panen -- dinyanyikan Elvi -- dijual di Negeri Sakura. Gaya dan suara Elvi juga pernah disiarkan oleh perusahaan televisi NHK pada awal tahun lalu dalam acara perayaan tahun baru. "Oktober nanti Elvi bersama 11 pendukungnya akan memperkenalkan lagu-lagu terbaru kepada penggemar dangdut di Jepang," kata Risto El Tobing. Kabarnya, Elvi dan grupnya dibayar US$ 30 ribu untuk pertunjukan empat hari, di luar biaya akomodasi dan tiket. Tanggapan positif dari khalayak Jepang ini membuat Camelia, yang biasa dipanggil Mia itu, khawatir juga. "Saya nggak ingin dangdut go internasional lewat Jepang. Otak Jepang kan otak nuklir," kata ibu satu anak penghasil tujuh album dangdut itu was-was, pada wartawati TEMPO G. Sugrahetty. Tapi jangankan itu. Penyanyi sekaliber Elvi Sukaesih pun, yang sudah naik ke panggung orkes Melayu sejak tahun 1955, bisa kecolongan. Ia tak tahu-menahu suaranya sudah dijual di negeri lain. "Seharusnya mereka bilang, dong, kalau mau mengedarkannya sampai luar negeri. Kan artis juga berhak atas royalti," kata Elvi pada Ivan Haris dari TEMPO. Untunglah, keluhan Elvi itu bisa ditampung pihak KBRI di Tokyo. Risto El Tobing, staf KBRI yang bertugas di bagian telekomunikasi, menghubungi produsen Jepang, Overhead Record. Overhead ini membeli master rekaman Elvi dari Purnama Record. "Akhirnya, mereka setuju membayar lima persen dari harga penjualan kaset," kata Risto. Elvi berhak atas 150 yen atau sekitar Rp 2.000 untuk setiap piringan yang diterbitkan. Honor penyanyi dangdut sekarang memang tak lagi untuk " sepiring berdua", tapi sudah "dua mobil seorang". Camelia Malik, misalnya, sudah menikmati keemasan dangdut dengan tampil di hotel berbintang, gedung pertunjukan berkelas, kedutaan besar, dan pesta-pesta internasional. Ia tak mengalami zaman "duka" seperti yang dialami Elvi atau Rhoma. Rhoma Irama bisa mengingat pahitnya masa itu. Ia mengutip kesimpulan William Frederick, 50 tahun, asisten profesor sejarah spesialisasi Asia Tenggara, khususnya Indonesia. Doktor lulusan Universitas Hawaii ini pernah meneliti musik dangdut pada 1982 untuk menghasilkan karya ilmiah Rhoma Irama and The Dangdut Style. "Dangdut yang dikenal sejak tahun 1973 adalah gejala musik hasil revolusi Rhoma Irama," ujar Rhoma mengutip. Dulu, sebelum era 1970-an, orkes Melayu masih berkiblat ke musik ratapan India. Ellya Khadam, yang memproklamasikan India Melayu itu dengan Boneka dari India-nya. Di tengah ratapan itu, 1971-1975 Rhoma dan Sonetanya menggebrak. "Saya mengadakan perombakan-perombakan dalam unsur-unsur musik Melayu," kata Rhoma. Ia menyusun sosok baru dangdut. Lirik yang dulu mengiba dan bercinta gombal diganti dengan kata-kata yang lebih bersemangat. "Prinsipnya, sampai kini 'menyeru pada kebaikan dan mencegah kemungkaran'," kata Rhoma, yang sering dipanggil Pak Haji oleh para kerabat. "Bidang aransemen yang mendayu-dayu, yang melambai-lambai, kita ubah dengan beat yang dinamis," katanya. Dan tak kalah pentingnya, "instrumen primitif kita modernkan dengan gitar listrik, brass section, dan timpani." Rhoma sempat dicerca atas eksperimennya mengubah wujud dangdut. Tampaknya, kelebihan dangdut justru di situ. Musik itu memberi kesempatan luas untuk masukan dan pengembangannya sendiri. Mengapa? "Dangdut siap menerima instrumen apapun," kata Suka Hardjana, pengamat musik dan bekas wakil dekan Akademi Musik Institut Kesenian Jakarta. Dalam tingkat yang lebih sederhana hanya suling bambu, gitar, ketipung, dan biola. Lalu elektro akustik dan alat tiup macam saksofon bisa nimbrung. "Bahkan kalau orang mau mencobanya, sebenarnya bisa menggunakan alat-alat yang lebih besar, yang sifatnya simfoni," kata dirigen "Ensemble Jakarta" ini. Pada tahun 1970-an, dengan berkembangnya musik rekaman, dangdut masuk bersama produk teknologi canggih. "Terutama pelopornya adalah Rhoma Irama dengan Sonetanya dan Reynold dengan Tarantulanya," kata Suka lagi. "Jadi, sebenarnya perkembangan yang sangat luas dari musik dangdut adalah pesatnya perkembangan media elektro akustik pada dunia musik, terutama rock." Musik jenis lain seperti jazz dan rock juga punya kemungkinan seperti itu. Namun, di antara kesenian tradisional, yang umumnya sudah punya bentuk dan pola yang mapan, musik dangdut punya satu pola yang sangat terbuka. Itu sebabnya musik dangdut bagaikan gadis telanjang yang siap dibajui apa saja. Maka, kalau kita dengar lagu Kopi Dangdut yang laris di Jepang, pola ritmenya berbeda. Beat-nya dipercepat dengan entakan gendang MIDI dalam nada reggae. Ini cocok dengan keinginan Yoko Takebe, penggemar dangdut di Jepang yang disebut di atas. "Kalau dangdut mau laku keras di Jepang, ada syaratnya, yaitu dangdut dengan nada reggae seperti lagu-lagu di diskotek Jepang sekarang," kata Yoko. Dengan sosok dangdut yang sudah dipoles sana-sini, beberapa diskotek mengucapkan selamat datang pada jenis lagu ini. Sejak Oktober, misalnya, diskotek "Earthquake" di Silang Monas, Jakarta, menyelipkan lagu-lagu dangdut di antara sejumlah lagu disko populer. "Kita ini pemberi jasa. Jadi, kita ikuti saja keinginan tamu," kata Mardati Utomo, wakil manajer diskotek ini pada wartawan TEMPO Bambang Sujatmoko. Mardati yakin, disko dangdut bisa sukses karena pasarnya luas. Pendahulunya ada di beberapa disko lainnya di kawasan Jakarta Kota semacam " Stardust", "Rotary", dan "Klimax". "Diskotek kami punya pasar tersendiri. Penggemar dangdut umumnya fanatik, enggan mendengar musik lain," kata Tony Warandy, koordinator hiburan "Chandra Pawitra", diskotek yang mengkhususkan lagu dangdut. Selain "Chandra Pawitra", ada dua diskotek serupa di bilangan Mangga Besar, Jakarta Kota, dan satu lagi kawasan Blora, Jakarta Pusat. Sedangkan di Medan ada diskotek "Ria Dangdut" di lantai lima pusat perbelanjaan Aksara Plaza. Di Banjarmasin, dangdut bisa memanjangkan umur diskotek, ketika diskotek "Bobo Internasional" sempat ditinggalkan pengunjungnya. "Saya lalu teringat, kira-kira 60% pemuda Kalimantan Selatan penggemar dangdut," kata Efendi Kangmartono, pemilik Bobo. Ia tak menyebutkan sumber angka itu. Maka, pertengahan 1989, ia menggelar lagu-lagu dangdut. "Ternyata, dangdut bisa memanjangkan napas diskotek saya. Pengunjungnya banjir," katanya pada Almin Hatta dari TEMPO. Diskoteknya berkapasitas 800 orang dengan harga tiket Rp 2.500. Itu kisah sukses dangdut muncul di kalangan lebih "terhormat" walau di kalangan "bawah" -- ya, katakanlah kompleks pelacuran -- musik ini tetap saja jadi raja. Dan ciri dangdut di kalangan bawah ini tak jauh dari erotisme, lirik jorok dan cengeng. Wartawan TEMPO Kastoyo Ramelan menyaksikan sensasi "pedangdut keliling papan bawah" yang bongkar pasang panggung di pasar malam perayaan sekaten Solo. Ida dan Kiki, penyanyi grup "Puspa Nada", katanya, bisa membuat penonton terbengong. Pasalnya, penonton melihat di panggung, sang biduan bergoyang erotis dalam rok mini dan sebentuk rompi sebagai blus. "Tujuan utama PAMMI, menertibkan ulah-ulah yang kacau di antara anggota PAMMI. Saya sendiri pernah terkaget-kaget melihat pakaian senam naik ke atas panggung. Astagfirullah," kata Rhoma tentang organisasi yang didirikan Februari lalu ini. Di bawah bendera PAMMI, terhimpun 5.007 anggota perorangan yang terdiri dari pencipta, artis penyanyi, dan 87 anggota grup. Lirik-lirik yang kotor dan meratap? "Selera pasar adalah indikasi keadaan masyarakat kita. Kalau yang disukai lagu cengeng, ya artinya masyarakat kita masih cengeng," ujar Rhoma. Jadi, "Biarkanlah musik dangdut tumbuh berkembang. Kalaupun ada yang nggak suka sama musik ini, tinggal matikan saja radio atau televisinya. Nggak usah menjelek-jelekkan," kata Remy Silado. Lagi pula, baik dan jelek menurut siapa? Bunga Surawijaya

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus