DANGDUT Indonesia sekarang sudah merambah ke berbagai tingkat, dari bawah sampai atas. Ada yang bertaraf lokal -- istilah minornya kampungan -- ada yang bertaraf nasional, bahkan ada yang sudah menginjak tingkat internasional seperti Elvi Sukaesih, Hetty Koes Endang, Camelia Malik. Di deretan kelas nasional sebut misalnya Meggy Z. Namanya melejit setelah menyanyikan lagu ciptaan Obbie Mesakh Lebih Baik Sakit Gigi. Kasetnya terjual sampai 300 ribu buah. Meggy mulai berdangdut 1968, tapi hingga 1980-an masih tergolong papan bawah. Padahal, selain menyanyi dan memainkan musik, ia juga bisa mencipta lagu. Permohonan -- diciptakan 1-969 -- adalah lagu pertamanya yang masuk rekaman yang didendangkan Muchsin Alatas. "Rasanya bangga banget," kata Meggy. Pada 1973 ia ditawari Husen Bawafie -- pimpinan Orkes Melayu Chandra Lela -- - untuk menyanyikan lagu Seraut Wajah ciptaan M. Fariz. Tapi, tak digubris pendengar. Ia tak patah arang. Sambil berdendang, sejak 1981 ia kembali mengasah kebolehannya mencipta lagu. Kebetulan pada 1987 Puspita Record punya gagasan menelurkan album Sepuluh Pencipta Penyanyi. Lagu Sakit Hati yang dinyanyikannya sendiri tercantum di urutan akhir side B -- artinya jadi juru kunci. Tak dinyana, pendengar menyenanginya. Setelah itu dua lagu ciptaannya yang lain melejit. Judulnya Jeritan Kasih (dinyanyikan Yusnia) dan Hitam bukan Putih (didendangkan Mega Mustika). Singkat cerita, ditekenlah kontrak dengan Gajah Mada Record -- sebelumnya pernah di Yukawi Record. Lewat lagu Lebih Baik Sakit Gigi ciptaan Obbie Mesakh, Meggy boleh mencatat 1990 sebagai tahun sukses. Gubuk Bambu, Kabut November, Habibie juga akrab di telinga dan di bibir penggemarnya. Tarifnya kini Rp 3 juta untuk manggung di luar Jawa dan Rp 2 juta di Pulau Jawa. Meggy juga mematok harga Rp 2 untuk sebuah judul lagu ciptaannya. Honor menyanyi lagu di Gajah Mada Record Rp 750 ribu per judul. "Kalau meledak, ditambah bonus," katanya. Lebih Baik Sakit Gigi menghasilkan sedan Mazda, Gubuk Bambu memberinya mobil Kijang Rover. Tahun depan ia juga dijanjihan naik haji berkat album Semut Merah yang sudah terjual 300 ribu kopi. Rumahnya bertingkat dua di gang sempit bilangan padat Tanah Tinggi, Jakarta Pusat. Tapi, ia akan punya rumah yang lain. "Kami sedang membangun rumah di Ciracas, dekat studio Gajah Mada Record," katanya kepada Sri Raharti dari TEMPO. Sekelas dengan Meggy adalah Itje Trisnawati, 29 tahun. Lima belas tahun silam Itje hanya bocah yang berani menyanyi di depan kelas. Dan Tasikmalaya, Jawa Barat, kampung kelahirannya, adalah daerah yang amat berjasa. Suatu hari, kira-kira tahun 1976, ketika Elvi Sukaesih dan Rhoma Irama manggung di Tasik, seorang warga meminta supaya Itje naik pentas untuk menyanyikan sebuah lagu dangdut. Meski gemetar, Itje, yang waktu itu sebenarnya lebih senang menyanyikan lagu pop setuju. "Sambutan penonton luar biasa," katanya. Sejak itu dia sering ditanggap di Tasikmalaya. Empat tahun kemudian, datang lagi Rhoma Irama. Si Itje montok, yang baru 18 tahun, didaulat tampil lagi. Eh, sebuah majalah musik lbu Kota mengulas pertunjukan itu dan menyebut-nyebut namanya. Dasar nasib bagus, tak lama datang tawaran rekaman dari Yukawi Record. Maka, keluarlah album perdananya Janeba yang memang belum meledak. Waktu itu Itje hanya dibayar Rp 750 ribu. Sejak "ditangani" Eddy Sud (1981) yang punya hubungan kerja sama dengan Insan Record, bintang Itje benderang. Eddy Sud -- koordinator Aneka Ria Safari di TVRI yang kemudian mengawininya -- mampu membuat 14 album Itje terjual rata-rata 500 ribu kopi. Duh Engkang malah mencapai 800 ribu kopi. Album terakhirnya Madu Merah sudah terjual 350 ribu buah. Pokoknya, dari rekaman saja Itje dan Eddy Sud kaya raya. Belum lagi penghasilan show yang honornya tak Itje sebutkan. Kini Itje hidup bak ratu di kawasan Pulo Mas, Jakarta Timur. Di deretan penyanyi dangdut yang tak sekondang Meggy tercatat misalnya Mercy Marsita. Wanita kelahiran Yogyakarta 31 tahun lalu itu sekarang mengisi sebuah diskotek di Bandung dan menetap di sana. Dia punya grup sendiri lengkap dengan peralatannya. Namanya Orkes Melayu Irama Gangga. Ibu rumah tangga yang pemalu -- tetapi genit, centil, dan punya goyangan maut bila menyanyi -- ini semula adalah penyanyi kasidah di Kauman, Yogyakarta. Semasih belia, dalam sebuah keramaian di Taman Hiburan Rakyat (THR) Yogyakarta, ia coba-coba bergoyang. Ternyata, yahud, lalu disambar OM Irama Gangga yang pada 1977 tur ke Jawa Tengah. Tanpa menghiraukan larangan bapaknya, Mercy terus bergoyang. Pada 1985 Dian Record mengedarkan album pertamanya Terjerat Asmara, disusul Madu Asmara (1986). Kedua album itu tak sempat meledak. Begitu pula nasib Cemas-Cemas Rindu produksi Puspita Record pada 1988, dangdut berbahasa Sunda Pulang Kampung (1989) produksi Granada Record, dan Yarnen (1990) produksi Cahaya Record. Praktis rezeki Mercy datang dari show. "Cuma Rp 1,5 juta," kata Mercy tentang tarif untuk mengundang Grup Irama Gangga. Selain mengisi diskotek, grupnya pernah berkelana ke seantero Jawa, Sulawesi, dan Kalimantan. Suaminya, Nandang, keluar dari sebuah perusahaan swasta di Bandung, untuk menjadi tukang betot bas dan memanajeri Irama Gangga. Rumahnya bertingkat dua. Ada truk mini, mobil Suzuki Carry, dan colt minibus. Di Salatiga, Jawa Tengah, nama Frans Setyo Pranoto dan Mamiek Melani, dikenal luas. Begitu pula Orkes Melayu (OM) Ken Arok, OM Borobudur, dan OM Puspita Ria. Nama-nama itu memang berkaitan. Mamiek Melani adalah istri Frans yang memimpin ketiga grup OM itu. Julukan "Raja Dangdut Jawa Tengah" melekat pada diri Frans yang sekarang berusia 31 tahun. Ia menghimpun 15 penyanyi -- termasuk Mamiek -- untuk mendukung tiga grupnya. Ia mulai terjun ke musik rakyat ini sejak 1979 ketika masih kuliah di Fakultas Ekonomi Universitas Satya Wacana, Salatiga. Sebagai pemimpin kelompok dangdut lokal, Frans memang tak mengandalkan dunia rekaman. Dia mencari perusahaan yang mau mengontrak grupnya. Sekarang, Puspita Ria dikontrak perusahaan rokok Djarum Super, dan Ken Arok oleh perusahaan obat Paramex. Masing-masing satu tahun. "Kami punya jadwal manggung tetap. Seminggu tiga kali," kata Frans tentang kewajiban kontraknya. Sekali manggung tarifnya Rp 2 juta. Dengan cara itu Frans bisa membayar pemusik dan penyanyi Rp 250 ribu per bulan plus bonus Rp 15 ribu tiap kali manggung. "Tukang bongkar pasang peralatan, misalnya, sekali pentas memperoleh Rp 15 ribu," ujarnya. Adapun Mamiek Melani, 20 tahun, diam-diam telah menelurkan empat album. Yang sudah beredar Boleh-Boleh Saja, Duh Kangmas, dan Basa-Basi. Yang bakal meluncur Keluar Masuk. Kendati tak melejit, album-album itu membuat Mamiek dan Frans bisa membeli rumah. Priyono B. Sumbogo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini