SENJA di Kedungombo melahirkan doa untuk yang tiada: kicau burung yang kini sunyi, dan sawah yang selamanya tertidur dalam kegelapan waduk. Air telah menghapus jejak-jejak sebuah kehidupan. "Demi pembangunan, kami kehilangan segalanya," kata penduduk di Mlangi dan Kedungpring, dua dusun yang masih bertahan di bibir bendungan. Dahulu mereka tuan dari belasan sapi pembajak ratusan meter tanah. Kini mereka nelayan kecil dan penyabit rumput yang bisu menunggu keadilan atas haknya yang hilang. Dalam kegelapan itu, mereka disiksa lenguh lembu yang tidur satu atap dengan majikannya dan bau kencing yang berbaur asap ikan goreng. Maka, di Kedungpring, sayup-sayup angin waduk membawa suara bocah-bocah putus sekolah: "Aku anak Indonesia Mengapa aku menderita Tapi aku tetap gembira Karena negeriku bebas merdeka..." Di Kedungombo, setiap hari datang bagaikan kematian. Kami hanya menuntut hak kami ..." Sekitar seratus keluarga di Mlangi dan Kedungpring menolak pindah ke tanah yang disediakan pemerintah. "Harga ganti-rugi yang ditawarkan untuk sawah dan ladang kami terlalu rendah. Rp 300 per meter tidak cukup untuk beli rokok sebungkus," kata penduduk. Mereka pun nekat hidup di patok merah. Sebagian beralih menjadi nelayan, tapi hasilnya tak pernah mencukupi kebutuhan hidup. "Kalau sehari bisa dapat Rp 1.000, itu sudah untung," ujar seorang nelayan. Nasib dusun Kedungpring lebih merana. Tak ada tanaman yang mau tumbuh di sini. Untuk menahan lapar, penduduk mengunci diri di rumah. Gedung sekolah, kemudian musala, dibiarkan roboh. "Tak ada yang peduli. Jangankan gubernur, camat saja tidak pernah menjenguk kami," ujar mereka. Foto: Norman Wibowo, Hidayat G. Surya, dan Yudhi Soerjoatmodjo Teks: Yudhi Soerjoatmodjo dan Hidayat G. Surya
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini