Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Gregorian Jawa, Minus Latin

Para rubiah dan rahib mencoba merawat tradisi Gregorian. Tak asli tapi kontemplatif.

11 April 2016 | 00.00 WIB

Gregorian Jawa, Minus Latin
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

DALAM gelap, tiga rubiah bersila di gereja Pertapaan Bunda Pemersatu Gedono, Selasa dua pekan lalu. Hanya disinari lampu sorot mungil dengan terang seadanya, mereka mulai menabuh gender, salah satu perangkat gamelan Jawa, memberi intro untuk tiga puluh rubiah lain di depan mereka.

Serentak, tapi juga lambat-lambat, para rubiah mulai mendaraskan prolog ibadat penutup atau completorium. Tembang gaya Jawa yang begitu kental pun terlantun memenuhi gereja. Hening sejenak, para biarawati itu mendendangkan Kristus Cahaya Dunia dengan gaya yang sama. Bergantian, rubiah yang duduk di sisi kiri dan kanan altar menyanyikan lirik yang terdiri atas empat bagian.

Meski gaya Jawa tetap dominan, unsur Gregorian masih terasa. Gaya serupa dipertahankan saat mereka melantunkan ayat-ayat Mazmur 132. Bedanya, kali ini suara para rubiah terpecah menjadi dua suara. Irama ini merupakan kreasi para suster di Gedono. Abdis Pertapaan Gedono, Suster Martha E. Driscoll, justru mengatakan biaranya tidak memakai gaya Gregorian. "Ciri khas kami adalah memakai musik Indonesia sebagai unsur inkulturasi."

Terkadang para suster di Gedono juga menyanyikan lagu asli Gregorian. Saat perayaan Sabtu Paskah tiga pekan lalu, lagu Victimae Paschali ikut dinyanyikan. "Memang tak mudah, tapi kami mencoba berlatih terus," ujar Martha. Menurut dia, aransemen Gregorian disesuaikan dengan makna lirik. Lirik yang, misalnya, berbicara tentang dosa dan kesedihan, nada yang digunakan cenderung minor. Sedangkan pada saat lirik memuliakan Allah, nadanya lebih hidup.

Gregorian dikumpulkan pada masa Paus Gregorius Agung, yang hidup pada tahun 540-604. Dari namanyalah muncul istilah "Gregorian". Notasinya hanya menggunakan empat garis paranada dengan not kotak dan tanpa birama yang konstan serta cenderung mengulang. Ini berbeda dengan notasi modern dengan lima garis dan not bulat.

Karl-Edmund Prier, pastor Serikat Yesus yang menjadi pemimpin Pusat Musik Liturgi Yogyakarta, mengatakan lagu-lagu Gregorian berjaya sebelum Konsili Vatikan Kedua digelar pada 1962-1965. "Saat itu misa diadakan dalam bahasa Latin dan lirik Gregorian menggunakan bahasa Latin," ucap Romo Prier, yang menciptakan banyak lagu perayaan ekaristi.

Menurut Prier, hampir tak ada lagi biara yang murni menggunakan lagu Gregorian. Sejumlah biara Benediktin di Jerman Utara dan Swiss, kata dia, masih mencoba mempertahankan Gregorian murni. "Tapi mereka pun terlihat kepayahan."

Di Pertapaan Santa Maria Rawaseneng hampir semua lagu yang digunakan dalam tujuh ibadat adalah Gregorian. Gaya Gregorian dalam aransemen yang digunakan di Rawaseneng terkesan statis dan sederhana. Not yang digunakan pun tak sekaya di Gedono. Aransemen Gregorian ala Rawaseneng masih digunakan di banyak biara dan seminari menengah. Di Seminari Menengah Mertoyudan, Magelang, Jawa Tengah, misalnya. Setiap Rabu dan Ahad, para calon pastor menggelar completorium dengan berpegang pada buku lagu yang dikarang abas pertama Pertapaan Rawaseneng, Frans Harjawiyata.

Sayangnya, di Rawaseneng sendiri tak banyak yang bisa membaca notasi asli Gregorian. Magister atau guru Pertapaan Rawaseneng, Romo Antonius Anjar Daniadi, mengatakan hanya ada tiga pastor yang bisa melakukannya, yaitu dia sendiri, Romo Frans, dan Romo Thomas, yang sedang bertugas di Belanda. "Saya memang diberi tugas mempelajari notasi asli Gregorian," ujar Antonius, 32 tahun.

Padahal sebelumnya semua rahib dan calon rahib di sana "dipaksa" berlatih bernyanyi menggunakan not balok Gregorian. Kini mereka berlatih kor menggunakan notasi angka. Saat berkunjung ke perpustakaan di Pertapaan Rawaseneng, Tempo menemukan satu buku bertajuk Cantus Passionis dengan notasi asli Gregorian di dalamnya teronggok di lemari paling pojok. Sampulnya berdebu dan kertasnya menguning sudah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus