Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Dulu Model, Kini Rahib

Dari berbagai profesi para rahib dan rubiah berasal. Ingin sampai mati di biara.

11 April 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DUNIA model kini ditinggalkan Satrio Indro Mulyono, 32 tahun. Dua tahun terakhir, Duta Wisata Kabupaten Purworejo tahun 2001 ini menjalani hidup di Pertapaan Santa Maria Rawaseneng. Tak ada lagi kegiatan berpose di depan kamera, pakaian wajib yang dikenakannya kini jubah putih yang menutupi leher hingga kaki.

"Kalau modelnya boleh berjubah, saya mau difoto," kata Satrio, yang kini dipanggil Frater Mario. Lulusan Universitas Brawijaya, Malang, ini sebelumnya beberapa kali memenangi lomba fotomodel. Dia bahkan lulus audisi fotomodel di televisi, tapi kemudian ditinggalkannya. "Saya merasa tidak cocok lagi dengan dunia seperti itu."

Tak mudah bagi Satrio masuk ke Pertapaan Rawaseneng. Dia berasal dari keluarga muslim dan anak lelaki satu-satunya di keluarganya. Ibunya, Dwi Winarni Indrawati, 64 tahun, sempat menahan supaya dia tak menjadi rahib. Begitu pula dua saudarinya. "Meskipun hati ini terasa berat, akhirnya saya mengizinkan dia masuk biara," ujar sang ibu, yang mengikuti perayaan Jumat Agung hingga Minggu Paskah di Rawaseneng.

Satrio sempat menjadi frater diosesan Keuskupan Purwokerto. Tapi dia merasa tak cocok karena, meskipun juga tinggal di seminari yang relatif tertutup, kehidupan sebagai calon pastor dinilainya masih terlalu aktif. "Saya lebih cocok menyepi dan tinggal di biara kontemplatif," ucap Satrio, yang kini menjalani tahun keduanya di Novisiat Cisterciensis.

Jalan Satrio menjadi rahib di Rawaseneng cukup panjang. Sebelum menjadi novis, dia menjalani masa postulan selama setahun. Itu pun dilaluinya setelah tiga bulan menjadi aspiran dan ikut tinggal di biara. Masa novisiat di Rawaseneng berlangsung selama dua tahun. Setelah itu, calon rahib bisa mengikrarkan kaul sementara dan menjalani tahap profesi sementara selama tiga tahun.

Setelah tiga tahun, para frater bisa memilih: menjalani profesi sementara lagi atau mengajukan diri mengucapkan kaul agung yang lebih mengikat. Penentunya adalah hasil voting para rahib yang sudah mengucap kaul agung. "Kalau hasil votingnya kurang, berarti tak lulus," kata Romo Antonius Anjar Daniadi, magister di Rawaseneng. Proses yang sama dijalani para calon rubiah di Pertapaan Gedono.

Nyatanya, banyak calon rahib yang hengkang sebelum mengucapkan kaul sementara atau kaul agung. Tapi ada juga yang tak lulus lalu kembali. Menurut Antonius, Frater Paulus salah satunya. Sempat tak diizinkan berkaul agung, Paulus setahun tinggal di luar biara. Dia lalu kembali dan menjalani lagi masa profesi sementara sebelum diizinkan berkaul tetap.

Para rahib Rawaseneng dan rubiah di Gedono memiliki berbagai latar belakang. Alfonsus Wargiono, 73 tahun, yang sudah 42 tahun menjadi rahib Trappist, dulu anggota Pasukan Gerak Cepat—cikal-bakal Korps Pasukan Khas, tentara elite TNI Angkatan Udara. Tersesat dan nyaris mati di Gunung Gede-Pangrango pada 1973—seorang temannya meninggal—Alfonsus kemudian merasa "terpanggil" menjadi rahib.

Ada pula eksekutif muda seperti Frater Joseph Marie Cassant. Dia meninggalkan pekerjaannya sebagai programmer dengan penghasilan Rp 20 juta per bulan serta rumah dan apartemen. Pun di Gedono, ada sejumlah perempuan yang dulu berkarier cemerlang. Misalnya Magdalena Aida, 53 tahun, yang dulu bekerja sebagai tenaga accounting di Surabaya.

Sedangkan Cornelia, 50 tahun, dulu dokter yang bertugas di Bandung. "Hidup saya terasa kosong. Saya menemukan kedamaian di sini," ucap Suster Cornelia dengan mata berbinar. Hal yang sama dirasakan Ignasia Yan Marliningsih, 52 tahun. "Saya benar-benar belajar mencintai sesama di biara ini." Kini Yan bersama dua kakaknya, Benedikta dan Skolastika, menetap di Gedono. Pun di Rawaseneng ada dua kakak-adik asal Flores Timur, Dominikus dan Petrus.

Dominikus dan Petrus hingga kini masih menjadi frater dan tak ditahbiskan sebagai pastor. Menurut Romo Antonius, mayoritas penghuni biara tak ingin menjadi pastor. "Mereka yang datang ke sini ingin menjadi rahib, bukan pastor," ujarnya.

Wakil Abas Rawaseneng, Romo Maximilianus Slamet Widodo, mengatakan banyak frater yang menghindari tugas studi ke Fakultas Teologi Universitas Sanata Dharma dan lebih suka berdiam di dalam biara. Maximilianus, yang bersama Antonius ditugasi ke Yogyakarta, mengakui kehidupan di luar biara berat dijalani. Maximilianus dan Antonius juga mengaku tak mudah tinggal di biara lain selama masa studi. "Kami terbiasa makan dalam diam. Rasanya kaget ketika melihat di biara lain bebas berbicara saat makan," kata Antonius.

Di bagian terujung sekaligus paling tinggi Biara Rawaseneng, salib bertorehkan nama "Paulus Gazali" ditancapkan. Paulus meninggal tahun lalu karena leukemia. Dia dimakamkan di antara 16 pendahulunya. Sejak Pertapaan Rawaseneng berdiri pada 1953, baru ada 17 makam di sana. "Menjadi kebahagiaan jika saya bisa terus menjadi rahib hingga akhir usia," ujar Frater Satrio Indro Mulyono.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus