Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
GENTA tak berkeloneng seperti biasanya di Pertapaan Santa Perawan Maria Rawaseneng, Temanggung, Jawa Tengah, Sabtu tiga pekan lalu. Dinihari itu, para rahib penghuni biara Katolik tersebut masih menjalani triduum, rangkaian peringatan sengsara, wafat, dan kebangkitan Isa Al Masih, yang dimulai sejak Kamis Putih hingga Sabtu Paskah.
Sementara pada hari-hari biasa para rahib irit bicara, pada masa itu mereka semakin larut dalam keheningan dan menghindari bebunyian berlebihan. Hanya terdengar derik jangkrik dan tonggeret di tengah hujan dan kabut tipis yang menudungi biara di kawasan perbukitan sekitar 15 kilometer dari pusat Kabupaten Temanggung tersebut.
Tepat pukul 03.15, seorang rahib memukul-mukul keprok, instrumen tabuh dari kayu dengan suara mirip kentungan. Suaranya terdengar di lorong-lorong biara. Satu per satu pintu kamar para rahib terbuka. Dalam diam, mereka menyeka wajah, lalu menyelimuti badan dengan jubah kekuningan.
Belasan calon rahib berjubah putih, sebagian menutupi kepala dengan tudung penutup kepala, bergegas dari ruang tidur mereka di bagian terbawah biara, menaiki 61 anak tangga, menuju gereja di depan biara. Sebagian rahib tua sudah khusyuk bermeditasi sebelum jam tidur berakhir.
Bangku-bangku kayu para petapa di kiri dan kanan gereja yang berhadapan mulai terisi. Lalu seorang rahib membuka Ibadat Bacaan, mendaraskan pujian pembuka:
"Ya Tuhan, sudilah membuka hatiku…
Supaya mulutku mewartakan pujian-Mu.…"
Lima belas menit sebelumnya, sekitar 70 kilometer dari Rawaseneng, para biarawati yang berdiam di Pertapaan Bunda Pemersatu di Dusun Gedono, Salatiga, Jawa Tengah, memulai ritus yang sama. Dalam dingin yang mencekik kulit, suara nyaring 36 rubiah memenuhi gereja yang berdiri di sebelah timur Gunung Merbabu.
Sama seperti di Rawaseneng, para rubiah di Gedono selalu mengawali hari dengan melantunkan ayat-ayat Kitab Mazmur. Setelah satu jam berkidung, para petapa mengguyur tubuh dengan air dingin. Mereka kemudian menenggelamkan diri dalam bacaan rohani yang dilanjutkan dengan misa dan ibadat pagi.
Abdis—sebutan untuk pemimpin biara perempuan—Pertapaan Gedono, Suster Martha E. Driscoll, mengatakan, dalam sehari, para petapa tujuh kali beribadat. "Kami mendoakan semua orang di dunia, khususnya di Indonesia," kata perempuan asal Amerika Serikat ini. "Berdoa adalah napas petapa," ujar Romo Abas—panggilan pemimpin biara pria—Pertapaan Rawaseneng, Aloysius Gonzaga Rudiyat.
DIDIRIKAN pada April 1953, Pertapaan Santa Maria Rawaseneng menjadi biara monastik atau kerahiban tertua di negeri ini. Mereka tergabung dalam Ordo Cisterciensis Strictioris Observantie (OCSO), yang dalam bahasa Indonesia berarti Ordo Cisterciensis Observansi (kebiasaan) Ketat. Singkatan OCSO selalu disematkan di belakang nama para pastor, frater (tahap sebelum menjadi pastor), dan suster.
Romo Frans Harjawiyata, abas pertama Rawaseneng, dalam bukunya, Berziarah Setengah Abad, menuliskan pertapaan tersebut awalnya merupakan cabang dari Biara Koningshoeven yang berdiri pada 1881 di Tilburg, Belanda. Baru pada April 1978, Rawaseneng menjadi biara mandiri yang setara dengan biara induknya.
Adapun Pertapaan Gedono, sebagai cabang dari biara rubiah di Vitorchiano di Italia dan dikhususkan untuk kaum Hawa, berdiri pada 1987 dan disahkan sebagai biara mandiri pada Januari 1994. Kini Rawaseneng juga memiliki biara di Lamanabi, Larantuka, Flores Timur, Nusa Tenggara Timur. Sedangkan Pertapaan Gedono ikut membina biara baru di Cina dan Makao.
Biara-biara OCSO juga dikenal dengan istilah Trappist, merujuk pada Pertapaan La Trappe di Prancis. La Trappe sendiri bermula dari biara yang dibangun 918 tahun silam di Citeaux—menjadi asal nama Cisterciensis—dusun kecil di Prancis.
Sesungguhnya sejarah panjang biara OCSO dan banyak pertapaan lain di dunia dipengaruhi oleh Benediktus asal Nursia, Italia, yang hidup pada abad kelima. Benediktus—Gereja Katolik menganugerahinya gelar santo atau orang kudus—mendirikan komunitas rahib di Monte Cassino, Italia. Benediktus, dikenal sebagai santo pelindung Eropa, dan rahib sejawatnya bertekun dalam doa dan laku tapa. Peraturan Santo Benediktus hingga kini menjadi pegangan biara-biara.
"Inti tata kehidupan Benediktus adalah hidup dalam suatu komunitas dan di bawah peraturan serta kepemimpinan seorang abas," tulis Frans Harjawiyata. "Hidup hariannya terdiri atas rangkaian ibadat harian, bacaan rohani, dan kerja." Maka jadilah para rahib dan rubiah OCSO menjalani hidup dengan moto ora et labora atau berdoa dan bekerja.
Romo Antonius Anjar Daniadi, magister atau guru di Pertapaan Rawaseneng, mengatakan minimal enam jam dalam sehari para petapa berdoa dan membuka buku rohani. Setelah ibadat bacaan, enam ibadat lain digelar berseling antara dua dan tiga jam. Completorium atau ibadat penutup hari diadakan sebelum pukul 8 malam—di Gedono satu jam lebih awal. Setelah itu, para petapa kembali ke kamar tidur.
Seperempat hari lainnya dihabiskan dengan bekerja di perkebunan kopi, cengkeh, lada, cabai Jawa, dan buah-buahan—luasnya 170-an hektare. Ada pula peternakan sapi perah dengan jumlah 120-an ekor. Uniknya, sebagian sapi dinamai orang kudus, seperti Agnes, Monika, Martina, dan Maria. Susu hasil perahan kemudian dibawa ke pabrik kue, roti, dan keju milik pertapaan.
Di Gedono, para rubiah membuat kue, selai, kefir atau susu fermentasi, dan hosti—roti pipih yang digunakan dalam perjamuan saat misa. Mereka pun membuat kartu ucapan dan kalender. Semua produk olahan Rawaseneng dan Gedono dijual ke berbagai kota, seperti Semarang, Yogyakarta, Salatiga, dan Magelang.
Sedangkan di Lamanabi, Flores, para rahib bekerja di peternakan sapi potong. "Kami juga membuat lilin untuk dijual ke berbagai gereja," kata Frater Rufinus Egho, rahib Biara Lamanabi yang sedang studi filsafat di Yogyakarta. Sesuai dengan Peraturan Benediktus, yang juga tertuang dalam Konstitusi dan Statuta OCSO, semua penghasilan itu digunakan untuk membiayai kebutuhan pertapaan.
SEBELUM Konsili Vatikan II yang digelar pada 1962-1965, para rahib hidup dengan tata cara yang sangat keras. Menurut Romo Antonius Anjar Daniadi, para petapa yang mencukur bagian atas rambutnya hanya hidup di dalam klausura—sebutan untuk kompleks biara. "Yang bisa menemui para tamu hanya rahib petugas kamar tamu dan abas," kata Antonius.
Abdis Pertapaan Gedono Suster Martha E. Driscoll mengatakan biara pada masa itu bahkan memiliki jeruji yang memisahkan dengan para tamu. Konon orang tua rubiah kerap menyeret anaknya keluar dari lingkungan biara. "Karena mereka tak setuju putrinya masuk biara," ujar Martha.
Pun di dalam klausura, para petapa menjaga silentium magnum alias keheningan total dengan tak bertegur sapa. Antonius Anjar mengatakan rahib-rahib di Rawaseneng hingga awal 1970-an masih menggunakan bahasa isyarat untuk berkomunikasi dengan rekan sekomunitas. "Prinsipnya, diam di mana pun dan kapan pun."
Menurut Wakil Abas Rawaseneng, Romo Maximilianus Slamet Widodo, para petapa kala itu juga rutin menyiksa diri dengan cambuk. Tujuannya sebagai silih atas dosa yang diperbuatnya hari itu.
Konsili Vatikan II mengubah banyak hal. Pertemuan yang dihadiri lebih dari 2.000 uskup sedunia tersebut dianggap sebagai titik awal Gereja Katolik beradaptasi dengan perkembangan zaman. Contohnya, bahasa Latin tak lagi menjadi lingua utama dalam misa dan ibadat.
Biara-biara monastik pun tak luput dari perubahan tersebut. Para rahib tak lagi mencukur mahkota kepala dan menyiksa diri. Di beberapa tempat di dalam klausura, seperti Tempo saksikan, para rahib dan rubiah bisa bebas berbicara pada saat bekerja. Pertapaan pun kian terbuka terhadap tetamu.
"Tapi harus ada izin untuk menemui tamu. Kalau keseringan menerima tamu, pasti tak saya izinkan," kata Romo Abas Rawaseneng, Aloysius Gonzaga. Tak sepenuhnya tertutup, para rahib juga membaca koran dan majalah. Frater Blasius, misalnya, menunjukkan majalah Tempo edisi pembantaian 1965. "Setelah itu, saya mendoakan para korban dan pelaku pembantaian," ujar Blasius.
Toh, komunikasi dengan dunia luar tetap terbatas. Di Rawaseneng, misalnya, hanya empat orang diizinkan menggunakan telepon seluler, kebanyakan adalah petinggi biara. Bukan ponsel berlayar sentuh, melainkan HP Nokia seri 1616 yang diluncurkan tujuh tahun lalu. Itu pun sulit dihubungi karena sinyal yang naik-turun dan kesibukan para rahib.
Wakil Abas Rawaseneng, Romo Athanasius Subarjo, bercerita kepada umat yang datang ke pertapaan bahwa dia baru mengetahui ayahnya meninggal pada pukul 14.00. Padahal pesan pendek dikirimkan kerabatnya pada pukul 10.00. "Saya jarang bawa telepon seluler," ucapnya.
Di biara, akses Internet tetap tersedia meski tak semua boleh dan mau memanfaatkan. Suster Martha E. Driscoll mengatakan, beberapa jam setelah bom meledak di Brussel, Belgia, 22 Maret lalu, para rubiah di Gedono sudah mendoakan keselamatan jiwa para korban. "Kami menggunakan teknologi seperlunya saja."
Para rahib dan rubiah memang mencoba meninggalkan berbagai kelekatan duniawi dan hidup dalam kesederhanaan. Rahib Rawaseneng, misalnya, mengenakan pakaian harian berupa baju hoodie berbahan belacu dan bertekstur sedikit kasar. Di tiap kamar, rahib dan rubiah tidur beralas papan dan tikar.
Di sini nyaris tak ada barang milik pribadi. Kebutuhan para rahib disediakan oleh pertapaan. Jam dan sandal yang dikenakan Frater Joseph Marie Cassant, misalnya, diberikan oleh Abas Rawaseneng. "Kadang-kadang ada pemberian dari orang luar. Pembagiannya ditentukan oleh Romo Abas berdasarkan kebutuhan," kata Cassant.
Kesederhanaan itu merupakan bagian dari kaul kemiskinan, satu dari empat sumpah yang diucapkan dalam upacara khusus. Romo Antonius Anjar Daniadi mengatakan tiga sumpah lain adalah ketaatan kepada pemimpin komunitas dan hidup penuh kemurnian—tak berhubungan seksual. Satu kaul lagi yang membedakan dengan tarekat lain adalah sumpah stabilitas. "Artinya, mereka yang masuk biara harus tinggal di sini seumur hidup," ujar Antonius.
Hidup bersama banyak orang, 36 rubiah di Pertapaan Gedono dan 41 penghuni Pertapaan Rawaseneng, dalam satu komunitas religius sekalipun tak bisa dibilang mudah. Konflik di antara penghuni biara tak jarang terjadi. Suster Theresia Purbaningsih Rubyabekti, 57 tahun, mengatakan para suster yang bersitegang bisa saja tak mampu menahan emosinya dan saling membentak.
Begitu pula di Pertapaan Rawaseneng. "Satu keluarga saja bisa bertengkar, apalagi di sini," kata Valentinus Samardi, frater yang sudah 15 tahun hidup di Rawaseneng. Bedanya, konflik di biara tak sampai baku cakar atau tukar-menukar bogem.
Kalau sudah berkonflik, para rahib cenderung saling mendiamkan. Menurut Wakil Abas Rawaseneng, Romo Maximilianus Slamet Widodo, konflik hampir tak pernah mempengaruhi komunitas. Penyebabnya, para penghuni biara memang mengedepankan keheningan. "Tanpa perlu mendiamkan pun kami sebenarnya sudah diam," tutur Maximilianus diiringi tawa.
Abdis Gedono, Suster Martha, mengatakan pimpinan biara bisa membantu menengahi masalah. "Sebagian orang menganggap kami masuk biara untuk melarikan diri dari kenyataan. Tapi justru kami di sini menghadapi dan menyelesaikan masalah," ujar Martha. "Apalagi masalah itu terkait dengan orang yang seumur hidup akan tinggal bersama kita. Di sini adalah 'sekolah' cinta kasih. Kami saling mencintai."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo