Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Perusahaan asal Singapura, Mitora Pte. Ltd kembali menggugat anak-anak Soeharto ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat atas kasus wanprestasi. Pengacara Mitora, Leonardus Sagala buka suara perihal ada atau tidaknya pengaruh kemenangan Prabowo Subianto, mantan suami dari Sri Hediati Hariyadi alias Titiek Soeharto, di Pilpres 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Ada atau tidaknya pengaruh kemenangan (Paslon) 02 ke gugatan Mitora itu terlalu dini untuk dinilai," katanya ketika dihubungi, Jumat, 16 Februari 2024. Sebab, menurut dia, secara hukum gugatan kliennya itu tidak memiliki hubungan dengan Prabowo Subianto.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebelumnya, Prabowo-Gibran unggul dengan perolehan suara 59,20 persen berdasarkan hitung cepat dari Populi Center. Sementara pasangan Anies-Muhaimin meraih 25,16 persen suara, dan pasangan Ganjar Pranowo-Mahfud Md memperoleh suara 15,64 persen. Perolehan itu diraih saat data masuk mencapai 95,92 persen atau sebanyak 2398 TPS dari target 2500 TPS.
Meski begitu, ia menilai ada kekhawatiran atas gugatan yang diajukan. Menurut dia, kekhawatiran itu manusiawi. Apalagi, katanya, pengadilan baru akan menggelar sidang perdana kasus ini pada 20 Februari 2024 mendatang. "Terlalu dini, sidang pertama saja belum dilakukan," ujarnya.
Leonardus tak menampik relasi antara Prabowo Subianto dan Titiek Soeharto. Ia menilai jika segala kemungkinan dapat terjadi, termasuk upaya intimidasi dan kriminalisasi kepada kliennya, jika mantan suami dari Titiek Soeharto itu memiliki kekuasaan. Namun, ucapnya, dia hanya fokus melihat dari segi hukumnya.
Ia menyinggung soal upaya kriminalisasi yang dilakukan anak-anak Soeharto terhadap kliennya. Keluarga Cendana itu melaporkan Chief Executive Officer atau CEO Mitora, Andreas Thanos ke Bareskrim Polri atas tuduhan pemerasan dan pengancaman pada 2019 hingga 2021.
"Dalam kacamata kami, dugaan tindak pidana yang dilaporkan di Bareskrim tidak masuk akal. Karena dalam rentang waktu yang disebutkan, mereka masih sering bersama-sama ke Jepang," ucapnya. Hingga kini, katanya, penyelidik belum menyimpulkan dugaan tindak pidana tersebut.
Kronologi Konflik Mitora Vs Anak-anak Soeharto
Konflik ini bermula saat Yayasan Purna Bhakti Pertiwi, milik anak-anak Soeharto, tidak memenuhi janji membayar tuntutan atas gugatan pertama Mitora di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 2018.
Atas kesepakatan itu, pihak Mitora mencabut gugatan di tahun 2018. Perjanjian itu terlampir dalam surat tugas dari Soehardjo Soebardi, serta turut tertera logo dari Yayasan Harapan Kita.
Dalam surat tugas itu, Yayasan Harapan Kita menyampaikan bakal mengambil alih kewajiban pembayaran dari Yayasan Purna Bhakti Pertiwi. Nominal yang tertulis di surat tugas itu sebesar Rp 104 miliar.
Namun, hingga kini, kesepakatan yang tertuang di surat tugas itu belum juga dilunasi. Atas dasar itu, Mitora mendaftarkan gugatan wanprestasi ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Gugatan perdata itu teregister dengan nomor 76/Pdt.G/2024/PN Jkt.Pst tertanggal 30 Januari 2024.
Dari laman Sistem Informasi Penelusuran Perkara Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, ada tiga pihak yang dijadikan tergugat, yaitu Yayasan Purna Bhakti Pertiwi, Soehardjo Soebardi, dan Yayasan Harapan Kita.
Mitora juga menggugat anak-anak Soeharto sebagai turut tergugat di kasus ini, yakni Sigit Harjojudanto, Siti Hediati Haryadi, Bambang Trihatmodjo, Siti Hardiyanti Hastuti Rukmana, serta Su'udy Sadat dan Mayjen (Purn) Achmad Tanribali.
Mitora dalam gugatannya menuntut para tergugat secara tanggung renteng mengganti rugi material sebesar Rp 34 miliar dan ganti rugi immaterial sebesar Rp 100 miliar.
Perusahaan asal Singapura ini juga menggugat penyitaan aset Yayasan Purna Bhakti Pertiwi seluas 160 ribu meter persegi, sekaligus aset milik Yayasan Harapan Kita, di antaranya Museum Purna Bhakti Pertiwi, Graha Lukisan, Puri Jati Ayu, dan bangunan lainnya. Aset dua yayasan itu terletak di kawasan Taman Mini Indonesia Indah.