Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PEMECATAN Anwar Usman sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi menjadi peluru baru bagi Brahma Aryana. Pada Kamis siang, 9 November lalu, mahasiswa semester akhir Fakultas Hukum Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia, Jakarta, itu menyerahkan berkas perbaikan gugatan uji materi Undang-Undang Pemilihan Umum tentang batas usia calon presiden-wakil presiden.
Salah satu perbaikan di berkas itu memasukkan putusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) yang menyatakan Anwar Usman telah melakukan pelanggaran etik berat sehingga harus lengser dari kursi Ketua MK. “Ini novum (bukti baru) untuk memperkuat uji materi,” ujar Brahma kepada Tempo.
Sehari sebelum memperbaiki berkas atau pada Rabu, 8 November lalu, Brahma dan kuasa hukumnya, Viktor Santoso Tandiasa, mengikuti sidang pendahuluan di Mahkamah Konstitusi. Keduanya berharap MK bisa menganulir putusan terhadap perkara nomor 90. Gugatan itu diajukan oleh Almas Tsaqibbirru, mahasiswa Universitas Surakarta, Jawa Tengah.
Mengaku sebagai pengagum Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka, Almas meminta Mahkamah Konstitusi membolehkan kepala daerah berusia kurang dari 40 tahun menjadi calon presiden dan wakil presiden. Almas putra Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia Boyamin Saiman. Boyamin adalah sahabat lawas Presiden Joko Widodo.
Baik Viktor maupun Brahma menilai putusan perkara nomor 90 membuat pemilihan presiden atau pilpres 2024 kehilangan legitimasi. Sebabnya, Anwar Usman terlibat konflik kepentingan ketika mengadili perkara yang membuka jalan bagi Gibran, keponakannya, menjadi calon wakil presiden Prabowo Subianto. “Ketiadaan legitimasi itu membuat pemilu menjadi cacat,” tutur Viktor.
Pun keduanya berharap Mahkamah Konstitusi bisa menggelar sidang secara maraton dan menghasilkan putusan sebelum Komisi Pemilihan Umum menetapkan calon presiden dan wakil presiden. KPU akan menetapkan pasangan calon presiden-wakil presiden pada Senin, 13 November 2023.
•••
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BRAHMA Aryana sedang mengikuti pelatihan sengketa hasil pemilihan umum di Pusat Pendidikan Pancasila dan Konstitusi Mahkamah Konstitusi di Cisarua, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, pada Senin, 16 Oktober lalu. Hari itu Anwar Usman membacakan putusan MK yang mengabulkan perkara nomor 90.
Hati Brahma masygul. “Bagaimana mungkin MK membuat putusan yang merusak tatanan konstitusi hanya untuk kepentingan satu orang?” kata mahasiswa 23 tahun itu kepada Tempo, Kamis, 9 November lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Brahma Aryana di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, 8 November 2023. Tempo/Subekti
Ia lantas berdiskusi dengan Viktor Santoso Tandiasa. Brahma mengenal Viktor karena pernah menjadi dosen tamu di kampusnya. Viktor, sering beperkara di Mahkamah Konstitusi, pula yang mengajak Brahma mengikuti pelatihan di Cisarua. Di tempat itulah keduanya menganalisis berbagai kejanggalan dalam putusan perkara nomor 90.
Terlepas dari syarat itu seharusnya menjadi keputusan pembuat undang-undang (open legal policy), Brahma dan Viktor menilai putusan MK tak memiliki batasan jelas. Padahal dua hakim, yaitu Daniel Yusmic dan Enny Nurbaningsih, menyatakan bahwa hanya gubernur berusia kurang dari 40 tahun yang boleh menjadi calon presiden atau calon wakil presiden.
Menurut Viktor dan Brahma, tiga hakim lain yang menerima gugatan seharusnya memasukkan pertimbangan hukum berbeda (concurring opinion) dari Daniel dan Enny. “Karena tiga hakim tidak menolak itu dan dua hakim sudah menyebutkan kepala daerah setingkat gubernur,” ucap Viktor.
Pada Senin, 23 Oktober lalu, Brahma dan Viktor mendaftarkan permohonan uji materi ke MK. Brahma semula ingin ikut serta dalam pengaduan pelanggaran etik Anwar Usman yang ditengarai terlibat konflik kepentingan. Gugatan itu juga diajukan Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia. Brahma memilih berfokus pada uji materi putusan MK.
Berbeda dengan Almas Tsaqibbirru, mahasiswa Universitas Surakarta yang mengklaim sebagai pendukung Gibran, Brahma dalam berkas permohonan menyatakan ia bukan penggemar salah satu calon. Dua hari kemudian, permohonan uji materi itu mendapat nomor registrasi 141.
Seusai pendaftaran, Viktor berdiskusi dengan pengajar Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, Bivitri Susanti. Bivitri adalah anggota Constitutional and Administrative Law Society (CALS) yang melaporkan pelanggaran etik Anwar Usman. Keduanya membahas kemungkinan Majelis Kehormatan MK membatalkan putusan perkara nomor 90.
Menurut Viktor, dalam diskusi itu keduanya bersepakat bahwa MKMK tak boleh membatalkan putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan mengikat. “Cara yang baik adalah mengoreksi putusan di MK dengan putusan dari gugatan yang lain,” ujarnya.
Gugatan yang diajukan oleh Brahma dan Viktor juga sempat dibahas di lingkup internal CALS. Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia Muhammad Isnur, yang juga anggota CALS, mengatakan gugatan itu bisa diperkuat dengan bukti baru berupa sanksi Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi.
Saat rapat online pada Selasa malam, 7 November lalu, atau setelah Majelis Kehormatan menetapkan sanksi, diskusi di CALS juga menginginkan adanya uji materi baru. “Itu karena kami kecewa terhadap putusan MKMK yang tak memecat Anwar Usman sebagai hakim konstitusi,” ucap Isnur.
Permohonan uji materi terhadap putusan perkara nomor 90 juga diajukan oleh mantan Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Denny Indrayana. Ia menilai uji materi itu berpeluang dikabulkan karena Anwar Usman, sesuai dengan putusan MKMK, tak boleh ikut bersidang. Namun hingga Jumat, 10 November lalu, Denny belum mendapat nomor registrasi.
Denny lalu memilih menjadi pihak terkait dalam gugatan yang diajukan oleh mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia, Brahma Aryana. Namun ia meminta tak dihadirkan di persidangan. “Supaya persidangan bisa cepat dan segera diputus,” kata Denny kepada Tempo.
Kuasa hukum Brahma, Viktor Santoso Tandiasa, membenarkan kabar bahwa Denny menjadi pihak terkait dalam gugatannya. Ada juga nama Ketua Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Zainal Arifin Mochtar sebagai pihak terkait. Viktor menilai dukungan itu akan memperkuat gugatannya.
Kekecewaan karena MKMK tak memecat Anwar Usman juga meruap di kelompok Maklumat Juanda. Kelompok ini terdiri atas aktivis, budayawan, dan tokoh nasional. Setelah MK memutus perkara nomor 90, mereka menyatakan putusan itu membuat Reformasi 1998 kembali ke titik nol dan Presiden Jokowi telah memberi contoh buruk dengan menerapkan dinasti politik.
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid menyatakan para aktivis mendiskusikan berbagai alternatif sikap. Saat ini mereka menggelar diskusi di berbagai kampus. Mereka juga mendorong Dewan Perwakilan Rakyat menggunakan hak interpelasi atau meminta keterangan dari pemerintah ataupun hak angket untuk menyelidiki persoalan di MK.
Menurut Usman, para aktivis juga terus bersuara agar Anwar Usman mundur dari Mahkamah Konstitusi. Mereka pun sedang berkonsolidasi dan merancang aksi ke jalan. Mereka sadar betul bahwa pusat persoalan ada di Istana Negara, tempat Jokowi memerintah. “Seluruh agenda Reformasi 1998 dirontokkan dari sana,” ujar Usman Hamid.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Gugatan tanpa Kekaguman"