Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Demi Demokrasi, Gibran Seharusnya Mundur Sebagai Cawapres

Tak punya legitimasi demokratis, Gibran Rakabuming Raka harus mundur dari pencalonannya sebagai kandidat wakil presiden.

12 November 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Demi Demokrasi, Gibran Seharusnya Mundur Sebagai Cawapres

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

GIBRAN Rakabuming Raka kehilangan legitimasi sebagai calon wakil presiden. Perubahan Pasal 169 huruf q Undang-Undang Pemilihan Umum yang membuat ia cukup syarat menjadi pendamping Prabowo Subianto cacat secara formil. Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi menilai para hakim konstitusi yang menguji pasal itu melanggar etik dan memiliki konflik kepentingan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dalam Undang-Undang Pemilu, syarat menjadi calon presiden dan wakil presiden minimal berumur 40 tahun. Gibran kini berusia 36. Mahkamah Konstitusi yang diketuai Anwar Usman menambahkan “pernah terpilih dalam pemilihan kepala daerah” ke dalam pasal itu. Gibran yang kini Wali Kota Solo melenggang menjadi kandidat wakil presiden Pemilu 2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Anwar tak lain paman Gibran, adik ipar Presiden Joko Widodo. Penelusuran majalah ini menemukan, Anwar melobi dan mengintervensi hakim konstitusi lain agar mengabulkan uji materi pasal tersebut. Bersama orang-orang dekat Jokowi, dia diduga mempengaruhi para hakim agar setuju dengan frasa tambahan dalam pasal itu.

Apa yang dilakukan Anwar melanggar prinsip independensi hakim yang menjadi roh penegakan hukum seperti diatur Pasal 17 Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman. Di tangan Anwar, konsep negara hukum runtuh seketika. Kepercayaan publik yang menjadi modal sosial hidup bernegara juga ambyar.

Apa yang dilakukan Anwar Usman adalah puncak ambisi Jokowi untuk terus berkuasa. Gagal menggalang dukungan perpanjangan masa jabatan presiden, ia memasangkan anaknya dengan Prabowo Subianto. Calon paling populer menurut sejumlah survei itu adalah rival Jokowi dalam dua kali pemilihan yang kemudian ia angkat menjadi Menteri Pertahanan di periode kedua. 

Jokowi mengakali undang-undang yang menjadi aturan main demokrasi, sistem politik yang susah payah ditegakkan sejak Reformasi 1998. Konfliknya dengan Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri membuat keingininan Jokowi memasangkan Prabowo dengan calon presiden se­par­tainya, Ganjar Pranowo, mentok.

Gibran tak berhak mengikuti kontestasi Pemilu 2024 karena masuk gelanggang dengan aturan main yang telah diakali bapak dan pamannya. Sebagai kepala negara, Jokowi tak selayaknya mengacak-acak pemilu, mekanisme demokratis bagi sebuah negara untuk menyaring pemimpin. Sikap Jokowi yang berlagak pilon—menyebut aturan harus ditaati dan semua pihak harus menghargai tahapan pemilu—merupakan hipokrisi yang layak dikecam. 

Prabowo Subianto yang manut pada skenario Jokowi membuktikan ia bukan negarawan, melainkan hanya pemburu kekuasaan. Majalah ini, pada 2013, pernah menyebut Prabowo sebagai produk gagal reformasi. Ia jenderal tentara yang menjadi bagian mesin kekuasaan Orde Baru. Ia pula yang berusaha menumpas gerakan reformasi dengan menculik para aktivis prodemokrasi tapi bisa melenggang masuk gelanggang melalui alat demokrasi yang sah, yakni partai politik.

Prabowo-Gibran, dengan demikian, menjadi kandidat paling buruk dalam sejarah Indonesia modern: produk gagal reformasi bersanding dengan anak haram konstitusi. Jika Gibran tak mundur, tatanan bernegara akan makin rusak karena Jokowi makin tergoda menyalahgunakan kekuasaan untuk memenangkan anaknya.

Tanda-tanda ke arah sana makin jelas. Jokowi mengangkat pemimpin tentara dan polisi loyalisnya di posisi-posisi strategis untuk memobilisasi suara. Ia mengganti mayoritas kepala daerah dengan penjabat sementara lewat mekanisme pelaksana tugas menunggu pemilihan kepala daerah serentak November tahun depan. Tentara, polisi, dan birokrasi adalah senjata ampuh menggiring massa dan opini publik agar memilih anaknya.

Demokrasi tak sekadar memenangi pemilihan. Demokrasi adalah sistem politik untuk menjaring pemimpin lewat mekanisme yang fair dan transparan. Prabowo-Gibran jelas lebih diuntungkan dibanding dua kandidat lain karena didukung Jokowi. Jika terus meladeni hasratnya melanggengkan kekuasaan, Jokowi akan dikutuk sejarah karena membawa Indonesia kembali ke era otoritarianisme.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Anak Haram Konstitusi"

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus