Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Kereta cepat Jakarta-Surabaya akan mengganggu pasar penerbangan.
Tiket kereta cepat Jakarta-Surabaya bisa lebih murah dari tarif pesawat.
Pemilihan rute menjadi krusial untuk menentukan nilai investasi.
BELUM genap sebulan kereta cepat Jakarta-Bandung beroperasi, pemerintah sudah memulai kajian perpanjangan jalur moda angkutan canggih itu ke Surabaya. Jika kereta cepat Jakarta-Surabaya beroperasi, maskapai penerbangan dan operator angkutan lain bakal mendapat pesaing baru yang cukup kuat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut guru besar transportasi Fakultas Teknik Universitas Indonesia, Sutanto Soehodho, kereta cepat punya kelebihan dibanding pesawat karena bisa menghubungkan banyak lokasi dalam waktu singkat. “Penumpang pesawat harus menuju bandar udara yang biasanya jauh dari kota, beda dengan kereta yang stasiunnya berada di perkotaan," katanya pada Kamis, 9 November lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kanibalisme antarmoda angkutan menjadi salah satu isu yang mengemuka dalam proyek kereta cepat Jakarta-Surabaya, moda angkutan mutakhir yang menghubungkan wilayah barat dan timur Jawa. Salah satunya dalam aspek tarif. Sebagai gambaran, pada 2019, Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi mengatakan perkiraan awal tarif kereta cepat Jakarta-Surabaya sebesar Rp 400-450 ribu. Harga itu jauh lebih murah daripada ongkos naik pesawat yang berkisar Rp 900 ribu (low-cost carrier) hingga Rp 1,5 juta (full service).
Perkiraan tarif itu memakai asumsi nilai investasi proyek kereta cepat Jakarta-Surabaya Rp 60 triliun. Jika lebih dari itu, tentu saja ongkosnya bakal naik berlipat-lipat. Bayangkan perbandingannya dengan hitungan Sutanto, yang memperkirakan nilai investasi kereta cepat Jakarta-Surabaya Rp 700 triliun dengan asumsi biaya Rp 1 triliun per kilometer. "Itu pun jika jalurnya dibuat melayang," ujarnya. Kondisi geografis, menurut Sutanto, akan menentukan nilai proyek sekaligus kelayakan bisnisnya.
Toh, dengan waktu tempuh sekitar lima setengah jam dan melewati berbagai kota, kereta cepat bisa menarik lebih banyak penumpang dibanding pesawat terbang atau angkutan lain. Dalam kajian yang disusun berbagai lembaga, tingkat konversi atau peralihan dari pengguna mobil dan transportasi darat ke kereta cepat Jakarta-Surabaya bisa mencapai 61-65 persen. Sedangkan angka konversi dari penumpang pesawat 17-18 persen.
Analis industri penerbangan Gerry Soejatman mengatakan potensi kanibalisme atau perebutan pasar antara kereta cepat dan pesawat bakal terjadi. Sebab, kereta cepat Jakarta-Surabaya bakal menghubungkan sejumlah kota yang selama ini tak terhubung dengan jalur penerbangan. Saat ini saja, menurut Gerry, moda angkutan yang melaju di jalan tol sudah menggerus tingkat permintaan penerbangan intra-Jawa 10-15 persen. “Jika ada kereta cepat, efeknya bisa 25-50 persen terhadap penerbangan intra-Jawa,” tuturnya.
Rute Jakarta-Surabaya sejatinya adalah rencana awal pemerintah ketika menggagas proyek kereta cepat yang bisa melaju hingga 350 kilometer per jam. Gagasan proyek ini mengemuka pada 2008. Pemerintah sempat membuat kajian bersama Badan Kerja Sama Internasional Jepang (JICA), yang menghasilkan rencana rute melalui koridor utara Jawa. Rencana ini kemudian berubah ketika pemerintah merencanakan pembangunan kereta cepat dari Jakarta menuju Bandung yang berada di belahan selatan Jawa.
Pada 2015, studi kelayakan yang dikerjakan pemerintah bersama JICA mempertimbangkan dua rute, yaitu Jakarta-Bandung sepanjang 150 kilometer dan Jakarta-Surabaya sejauh 720 kilometer. Namun proyek itu akhirnya tak jadi digarap bersama Jepang karena pemerintah memilih Cina. Buah rencana ini terwujud pada Oktober lalu, ketika Presiden Joko Widodo dan sejumlah menteri hadir dalam perhelatan The 3rd Belt and Road Forum for International Cooperation di Beijing.
Wakil Menteri Badan Usaha Milik Negara Kartika Wirjoatmodjo mengatakan saat ini Komisi Reformasi dan Pembangunan Nasional Cina (NDRC) sepakat memulai studi bersama pemerintah Indonesia untuk menghitung ongkos pembangunan serta kelayakan proyek. “Studinya baru dimulai," ujarnya pada Rabu, 1 November lalu.
Pemerintah kini merancang jalur kereta cepat Jakarta-Surabaya melalui Bandung, kemudian menuju Bandara Kertajati di Majalengka dan berlanjut ke Semarang, Yogyakarta, Solo, Madiun, hingga Surabaya. Direktur Eksekutif Institut Studi Transportasi Deddy Herlambang melihat rute ini kurang efisien karena memakan waktu tempuh lebih lama ketimbang jalur utara. “Itu trase untuk touring atau piknik. Sulit bersaing secara bisnis," ucapnya.
Menurut Deddy, kereta cepat seharusnya bisa bersaing dengan pesawat dan angkutan yang melaju di jalan tol untuk mendapatkan penumpang. Karena itu, dia menambahkan, trase yang tepat adalah lewat jalur utara dari Jakarta menuju Cirebon, kemudian ke Jawa Tengah melalui Tegal, Pekalongan, dan Semarang sebelum sampai di Surabaya.
Selain bebas dari medan perbukitan, Deddy melanjutkan, jalur ini relatif lurus sehingga kecepatan kereta bisa dimaksimalkan ketimbang melewati rute yang direncanakan pemerintah. Selain perjalanan menjadi lebih singkat, banyak pusat ekonomi yang dilalui. “Cirebon, Tegal, dan Pekalongan memiliki potensi penumpang tinggi. Di jalur selatan hanya Bandung dan Yogyakarta.”
Pengamat kebijakan publik Agus Pambagio menilai potensi pertumbuhan ekonomi harus menjadi perhatian dalam perencanaan proyek infrastruktur. Dengan jalur yang direncanakan saat ini, pemerintah kudu membangun infrastruktur baru dengan konsekuensi investasi yang tak mungkin kembali. “Lain ketika membangun di tempat yang memiliki potensi ekonomi, ada kemungkinan pengembalian investasi,” katanya.
Ihwal rute, Deputi Bidang Koordinasi Investasi dan Pertambangan Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi Septian Hario Seto mengakui masih diperlukan kajian yang lebih dalam, belajar dari pengalaman saat membangun kereta cepat Jakarta-Bandung. “Kami ingin hati-hati dan komprehensif dalam memilih rute karena mempengaruhi biaya pembebasan lahan,” ucapnya pada Jumat, 10 November lalu. Pemerintah, kata Seto, menargetkan studi kelayakan itu bisa menjawab soal masalah, potensi, dan mitigasi proyek kereta cepat Jakarta-Surabaya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Khairul Anam dan Moh. Khory berkontribusi dalam artikel ini. Di edisi cetak, artikel ini berjudul "Risiko Kanibal di Jalur Timur"