Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Gus Dur, Ditunggu atau ditinggal

Gus Dur gagal menjadi calon presiden. Bersama Ketua NU Hasyim Muzadi, ia akan menjadi penentu langkah Wiranto dan Megawati.

3 Mei 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Saat mantan presiden Abdurrahman Wahid tiba, pertemuan petinggi 17 partai politik di rumah Ketua Partai Bintang Reformasi Ade Daud Nasution Jumat siang lalu mendadak tak nyaman. Sapaan Ketua Umum Partai Merdeka Adi Sasono hanya ditanggapi Abdurrahman dengan dingin. Padahal, sudah dua jam mereka menunggu kedatangan Ketua Dewan Syuro Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) itu.

Wajah Gus Dur, begitu Abdurrahman Wahid biasa dipanggil, tampak keruh. Sambil duduk di sofa putih di ruang tamu rumah megah di kawasan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan itu, ia berkali-kali mengetukkan tongkat ke lantai.

Rupanya, Abdurrahman telah mendengar bahwa Mahkamah Agung menolak judicial review yang diajukannya bersama PKB. Dalam surat keputusan KPU No. 26/2004 dan No. 31/2004 yang digugat Gus Dur, lembaga penyelenggara pemilu itu mensyaratkan kesehatan rohani dan jasmani calon presiden dan wakil presiden. "Penolakan MA ini bertentangan dengan undang-undang dan konstitusi," ujarnya.

Tapi percuma saja Abdurrahman geram. Dengan problem penglihatannya, Gus Dur dipastikan gagal mencalonkan diri menjadi presiden dalam pemilu 5 Juli mendatang. Dengan lantang Abdurrahman berkata, "Saya tak akan mencalonkan maupun mendukung siapa pun dalam pemilihan presiden nanti. Saya akan berada di luar sistem."

Di luar sistem? Sulit memastikannya. Dengan perolehan PKB yang hampir 11 juta suara (11,8 persen), partai yang didirikan Abdurrahman adalah pemenang ketiga pemilu legislatif. Dengan dukungan kuat dari Nahdlatul Ulama yang berbasis massa luas, PKB punya modal yang tak sedikit. Pada Pemilu 1999, meski partainya bukan juara pertama, Abdurrahman bisa menjadi presiden. Itulah sebabnya keras diduga, meski tak bisa jadi presiden, Abdurrahman akan tetap memainkan kartunya untuk mendukung calon lain.

Apalagi jauh sebelum fatwa MA itu turun, Gus Dur sudah menjalin janji dengan kandidat dari partai lain. Dengan Wiranto, calon presiden dari Partai Golkar, misalnya. Menurut seorang petinggi PKB, partainya sudah dijanjikan akan mendapat 4 kursi menteri jika mendukung bekas Menteri Koordinator Politik dan Keamanan itu.

Dengan Partai Demokrat, PKB juga mendapat janji yang sama: 4 menteri dari PKB plus 3 menteri dari NU. "Lebih konkret," kata M. Mahfud Md., Ketua PKB. Empat nama yang sudah disebut-sebut adalah Mahfud sendiri, bekas Menteri Peranan Wanita Khofifah Indar Parawansa, bekas Menteri Luar Negeri Alwi Shihab, dan mantan Menteri Negara Riset dan Teknologi A.S. Hikam. Tapi Abdurrahman kurang sreg atas sikap Yudhoyono yang terlalu formal. Langkah SBY yang buru-buru memilih Jusuf Kalla sebagai sekondannya pun membuat Abdurrahman kecewa.

Berkongsi dengan PDIP, Abdurrahman menyatakan alergi. "Orang tak boleh keblowok (terperosok) ke lubang yang sama dua kali," katanya (lihat "Saya Tak Mau Ditikam Dua Kali"). Tahun kedua Gus Dur menjadi presiden, ia dijatuhkan parlemen karena diduga terlibat penggunaan dana Badan Urusan Logistik. Posisi Gus Dur lalu digantikan Mega.

PDIP ngebet dengan Ketua NU Hasyim Muzadi untuk dipasangkan dengan Megawati sebagai wakil presiden. Sayangnya, Gus Dur tak cocok dengan Hasyim. Dalam banyak hal Abdurrahman kerap berselisih sikap dengan Ketua NU itu.

Dengan sistem pemilihan langsung, Hasyim sebetulnya bisa saja jalan sendiri. "Tapi posisinya terkunci Gus Dur," kata Mahfud. Tanpa dukungan Abdurrahman, Hasyim tak bisa meyakinkan pasangan politiknya bahwa suara NU akan sepenuhnya menyokong mereka. "Pada pemilu legislatif lalu Pak Hasyim tak mendukung PKB. Nyatanya warga nahdliyin tetap memilih PKB," kata Mahfud menegaskan posisi kuat Abdurrahman. Sulitnya, Gus Dur sendiri tak punya calon wakil presiden yang kuat untuk ia sorongkan.

Hasyim bukan tak sadar bahwa posisinya sulit. Ia bahkan pernah berusaha rujuk dengan Gus Dur. Dua pekan lalu keduanya bertemu di Sukabumi, Jawa Barat. Dalam pertemuan empat mata itu Hasyim mengaku tak meminta restu Abdurrahman untuk maju menjadi calon wakil presiden. Namun, yang muncul di luaran justru kabar bahwa Hasyim telah direstui Abdurrahman. Akibatnya Abdurrahman pun beraksi keras dan menganggap Hasyim berbohong. Sebaliknya Hasyim juga keras membantah. Hubungan keduanya tambah beku.

Sebagian pengurus NU yang berpihak pada Hasyim malah berpendapat Hasyim sebaiknya tak usah menggubris Abdurrahman. Dalam halakah nasional alim ulama NU di Hotel Somerset, Surabaya, Selasa pekan lalu, Ketua Pengurus Wilayah NU Jawa Timur Ali Maschan Musa sempat menanyakan anggota sidang apakah mereka mengizinkan Hasyim menjadi calon wakil presiden. Semua peserta halakah menyambut dengan kor setuju. Dalam pertemuan yang juga dihadiri semua calon presiden itu, Hasyim tersenyum. "Kalau ngambil keputusan nunggu Gus Dur terus, gak jadi keputusan akhirnya," kata Ali. 

Menurut Ali, bola kini di tangan Hasyim. Apalagi dua kandidat, Wiranto dan Megawati, jelas-jelas sudah meminang warga Malang, Jawa Timur itu.

Sehari sebelum halakah nasional digelar, misalnya, K.H. Idris Marzuki dan K.H. Warsun Munawir?keduanya anggota tim sukses Ketua NU?bertemu Wiranto di Hotel Prambanan, Yogyakarta. Dalam pertemuan itu Kiai Idris meyakinkan Wiranto bahwa Hasyim siap mendampingi Wiranto menjadi wakil presiden. Tapi kepada dua kiai itu, Wiranto meminta agar mereka dapat mengusahakan dukungan Abdurrahman dan PKB. Jika tidak, suara NU dikhawatirkan pecah. "Keutuhan NU dan PKB sangat diinginkan Wiranto," kata Kiai Idris.

Setelah memberikan sambutan dalam halakah itu, Wiranto didampingi tim Golkar juga bertemu dengan Hasyim di kamar nomor 1401 Hotel Somerset. Saking pentingnya pertemuan itu, Hasyim sampai tak sempat mendampingi Yudhoyono yang sedang berbicara di forum halakah.

Tak cukup sampai di situ, pada Selasa siang itu juga Golkar mengirim kurir untuk melobi Kiai Hasyim. Ketua Golkar Jawa Timur Ridwan Hisyam dan Ketua Golkar Pusat Irsyad Sudiro menjanjikan peran penting NU di kabinet nanti.

Perkembangan berlangsung cepat pasca-halakah. Seusai acara istigasah di kantor Pengurus Besar NU Rabu lalu, Ketua Partai Golkar Slamet Effendy Yusuf datang menemui Hasyim. Kedua bekas aktivis Gerakan Pemuda Ansor itu sempat berbicara serius selama hampir satu jam. Saat jarum jam menunjuk pukul 23.15, Slamet ikut ke rumah Hasyim di Kawasan Kuningan, Jakarta.

Di rumah Hasyim, Priyo Budi Santoso, fungsionaris Golkar, telah menunggu. Menjelang pukul dua pagi, Priyo dan Slamet pulang. Tapi, sebuah jip Wrangler hijau tiba-tiba berhenti di depan rumah. Seseorang lalu keluar dari mobil dan disambut Hasyim. Tak lama kemudian, Hasyim masuk mobil itu dan segera melesat di kegelapan malam. Kabarnya, Wrangler hijau itu milik Didi Soewandi, suami Menteri Perindustrian Rini Soewandi?orang kepercayaan Megawati.

Selain Golkar dan Wiranto, PDIP memang melancarkan lobi yang tak kalah gencarnya. Dua pekan lalu, Mega mengutus Rini Soewandi untuk menjemput Rais Aam NU K.H. Sahal Mahfudz dari Pati, Jawa Tengah. Dalam pertemuan di rumah Mega di Jalan Teuku Umar itu, Mega meminta agar Kiai Sahal mengizinkan Hasyim menjadi calon presiden dari PDIP. Tapi dengan diplomatis pengasuh Pesantren Maslakul Huda, Pati, itu berkata, "Urusan politik bukan urusan NU tapi urusan Durrahman (Wahid)."

Tak cukup dengan Sahal, Kamis malam lalu Mega juga bertemu dengan Hasyim di rumah dinas Presiden, Jalan Teuku Umar. Pertemuan yang berlangsung pukul 21.30-23.00 itu dihadiri Hasyim, Mega, Taufiq Kiemas, dan tiga pengurus teras PDIP: Pramono Anung, Soetardjo Soerjogoeritno, dan Sabam Sirait. "Pak Hasyim sendirian," ujar Wakil Sekjen PBNU Saiful Bahri Ansori.

Ansori mengaku tak tahu detail isi pembicaraan. Tapi isinya soal pematangan koalisi Mega-Hasyim. Sebab, Senin pekan ini kabarnya akan diumumkan kepastian kongsi mereka. "Bisa Pak Hasyim mengumumkan sendirian atau Ibu Mega sendiri atau mereka berdua," katanya. Setelah mengumumkan, baru mereka melakukan tes kesehatan di RSPAD Gatot Subroto.

Bekas Ketua PMII ini mengaku yakin masalah Mega, Hasyim, dan Gus Dur akan memasuki happy ending. Mega dan Abdurrahman rencananya juga akan segera bertemu. Rapat akan digelar di sebuah rumah di Jalan Sumatera, Jakarta, Selasa Legi, 4 Mei, pukul 19.00. "Mediatornya Sri Sultan," katanya. Selasa lalu, Soetardjo dan Sabam sudah sowan ke Keraton Yogyakarta. Dua banteng tua itu juga telah menemui Abdurrahman untuk mempertemukannya dengan Mega.

Pastikah duet Mega-Hasyim itu? Tak tentu. Hasyim sendiri kabarnya memang lebih suka berduet dengan Mega ketimbang Wiranto. Tapi ia perlu dukungan para kiai. Kamis lalu, Hasyim terbang ke Surabaya dilanjutkan ke Pasuruan dan Pati dengan mengendarai helikopter BK-117. Di Pati, Hasyim bertemu empat mata dengan Kiai Sahal. Dari Pati ia lalu terbang lagi ke Rembang untuk menemui Rais Syuriah NU K.H. Mustofa Bisri. Setelah berbincang lebih dari satu jam, Hasyim pamit ke Semarang dan melanjutkan perjalanan dengan pesawat terbang ke Jakarta.

Yang menarik, seperti dikutip Suara Pembaruan, saat bertamu di rumah Kiai Sahal, Hasyim memakai baju muslim warna hijau lumut dan sarung kotak-kotak. Namun, ketika berpamitan ia sudah berganti baju lengan pendek merah?isyarat yang bisa dibaca sebagai keyakinan Hasyim untuk merangkul Moncong Putih.

Setelah sulit mendapat restu Gus Dur, Hasyim kini bergantung pada para kiai. Itulah sebabnya, perihal keputusan kiai ini sangat penting bagi di Ketua NU.

Dalam pertemuan 15 kiai sepuh NU di Krapyak, Yogyakarta, Kamis lalu, sempat terjadi perdebatan sengit. Sebagian kiai mendukung Hasyim-Wiranto, tapi sebagian menyarankan Hasyim-Mega. Tapi suasana berubah seusai Kiai Idris Marzuki menelepon Ketua Umum Partai Golkar Akbar Tandjung. "Mereka menafsirkan Golkar kurang serius meminang Hasyim," ujar sumber TEMPO di kalangan PBNU.

Mereka menilai, pengurus pusat Golkar tak kompak dengan Wiranto. Jika Hasyim bergandengan dengan Wiranto, NU khawatir akan menanggung imbas ketidakcocokan ini. Kasus dugaan pelanggaran hak asasi yang menempel pada Wiranto dan ketidaksukaan internasional terhadap sang jenderal juga menjadi pertimbangan. Mega bukan tak punya kelemahan. Tapi ia dianggap bisa berkomunikasi dengan NU.

Pendapat para kiai banyak dipengaruhi fatwa Rais Aam PBNU K.H. Sahal Mahfudz, yang sayangnya tidak hadir dalam pertemuan itu. Menurut Kiai Sahal, kedua tokoh itu punya masalah tapi mesti dipilih siapa yang paling ringan dan bermanfaat bagi bangsa. Kalangan NU percaya pada kaidah ushul fiqih: menghindari keburukan lebih diutamakan daripada mengambil manfaat. Memang ada pertimbangan fikih tentang "larangan" pemimpin perempuan. Tapi perdebatan itu ditengahi dengan hasil musyawarah nasional alim ulama NU di Lombok 1999. "Intinya, wanita bisa saja jadi pemimpin," kata sumber TEMPO.

Padahal, dua hari sebelumnya, dukungan para kiai mengerucut kepada Wiranto. Kala itu dugaan pelanggaran hak asasi tak menjadi pertimbangan serius. Wiranto dianggap tahu "sopan santun NU", lebih Islami. "Salah satunya karena istrinya datang dari kalangan sayidah (keturunan nabi)," kata seorang pengurus PKB. Seusai penutupan halakah, Selasa malam lalu, para kiai juga masih sepakat menerima Wiranto. K.H. Khatib Umar dari Jember dan K.H. Idris, misalnya, dalam pertemuan itu menyokong Wiranto. Alasannya, Wiranto mampu memunculkan rasa aman, sementara faktor gender melemahkan Mega. Tapi ternyata semua telah berubah dalam hitungan jam.

Karena angin NU bertiup ke Mega, Jumat lalu Wiranto dan Akbar kembali menanyakan kepastian Hasyim. Ketua NU itu lalu melemparkan bola kepada Kiai Sahal. Mungkin karena merasa dipingpong, rapat harian pengurus Golkar yang dihadiri Wiranto, Jumat lalu, memutuskan Golkar tak akan menemui Sahal. Rapat yang berlangsung empat jam itu menganggap lobi atas Hasyim sudah maksimal. "Pembicaraan itu urusan internal Pak Hasyim. Kami menunggu kabar Minggu pagi," kata Wakil Sekjen Golkar Rully Chairul Azwar.

Golkar akan melupakan NU-PKB? Kalangan Beringin memang punya opsi lain, yakni mencari calon wakil presiden dari Golkar sendiri. Tapi itu pilihan terakhir. "Jika gagal merayu Hasyim," kata Rully, "Golkar akan tetap mencoba mencari orang dari NU (lainnya).

Siapa? Misteri itu tak mudah dijawab. Tapi sampai di sini api Abdurrahman tampaknya tak akan segera redup. Ia bisa menentukan. Jika ia menunjuk kandidat wakil presiden lainnya, kans Hasyim yang bisa sayup. Pertemuan Gus Dur dengan Mega, Selasa ini, juga tak serta-merta memastikan restu Abdurrahman kepada Hasyim. Apalagi tenggat pendaftaran calon presiden ke Komisi Pemilihan Umum tampaknya akan ditunda seiring dengan molornya pengumuman hasil penghitungan suara. Jadi, masih ada waktu untuk merancang rencana lain.

Tak mudah memang menebak gerak langkah NU, PKB, dan Abdurrahman Wahid. Waktu yang terus mepet tak menghalangi mereka untuk terus menebar jurus.

Hanibal W.Y. Wijayanta, Jobpie Sugiharto, Widiarsi Agustina, Adi Mawardi (Surabaya)/AZ


Satu Bulan, Seribu Manuver

5 April 2004

  • Pemilu baru selesai, perolehan sementara suara Partai Demokrat melejit. Gus Dur menemui Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), calon presiden Partai Demokrat, di kediamannya di Bogor.

8 April 2004

  • Gus Dur bertemu dengan para aktivis, tokoh, dan pemimpin partai politik untuk membahas kecurangan pemilu. Hadir dalam pertemuan itu di antaranya Jenderal Purn. Wiranto, Sekretaris Jenderal Partai Keadilan Sejahtera Anis Matta, Adnan Buyung Nasution, dan Hariman Siregar dari LSM Indonesian Democracy Monitor.

10 April 2004

  • Gus Dur bertemu dengan perwakilan 19 partai politik di Hotel Nikko, Jakarta. Muncul pernyataan menolak hasil pemilu.

12 April 2004

  • Wakil Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan Pramono Anung dan Ketua Fraksi PDI Perjuangan Tjahjo Kumolo menemui Gus Dur.

13 April 2004

  • Ketua Umum Partai Amanat Nasional Amien Rais dan Presiden Partai Keadilan Sejahtera Hidayat Nur Wahid bertemu dengan Gus Dur dan pentolan Partai Kebangkitan Bangsa di kantor Pengurus Besar Nahdlatul Ulama. Mereka sepakat membentuk Poros Penyelamat Bangsa.

14 April 2004

  • Gus Dur bersama pimpinan 19 partai politik bertemu dengan anggota Komisi Pemilihan Umum di Hotel Indonesia, Jakarta. KPU diminta menghitung ulang surat suara karena banyak terjadi kecurangan.

15 April 2004

  • Gus Dur bertemu dengan pimpinan 61 partai politik yang tidak ikut pemilu. Mereka sepakat mendirikan Gus Dur Crisis Center di Kantor Pusat PNI Marhaenisme, Jakarta.
  • Ketua Partai Bintang Reformasi K.H. Zainuddin M.Z. menemui Gus Dur.

17 April 2004

  • Bersama Ketua Umum Himpunan Kerukunan Tani Indonesia Siswono Yudo Husodo, Gus Dur datang ke Haul Pondok Pesantren Buntet, Cirebon. Acara itu juga dihadiri calon presiden lain seperti Amien Rais, SBY, dan Megawati. Gus Dur tak ikut acara dan hanya menemui Kiai Dulloh serta berziarah ke makam Mbah Muqoyyim, pendiri Buntet.

18 April 2004

  • Gus Dur bertemu dengan Taufiq Kiemas di Jalan Sumatera, Jakarta Pusat. Taufiq menawarkan koalisi PDIP dengan PKB. Tak disebut siapa nama calon wakil presiden yang akan mendampingi Mega.
  • Gus Dur bertemu dengan Wiranto di Hotel Le Meridien, Jakarta. Ia berharap Wiranto menang dalam konvensi Partai Golkar.

21 April 2004

  • Tiga puluh kiai khos NU bertemu di Pondok Pesantren Qamarul Huda, Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat, untuk mengukuhkan Gus Dur sebagai satu-satunya calon presiden dari PKB.

24 April 2004

  • Gus Dur bertemu dengan Ketua Umum PBNU Hasyim Muzadi di Sukabumi.
  • Gus Dur bertemu dengan aktivis LSM. Mereka bertanya apakah PKB akan mendukung pencalonan Wiranto dan SBY sebagai presiden.

25 April 2004

  • Gus Dur bertemu dengan Wiranto di Jalan Suwiryo, Menteng, Jakarta Pusat. Gus Dur mengaku tak pernah memberikan restu kepada Hasyim Muzadi sebagai calon wakil presiden.
  • Musyawarah Kerja Nasional PKB tetap mencalonkan Gus Dur sebagai calon presiden dari PKB.
  • Gus Dur mengaku sedang dilobi untuk dipertemukan dengan Taufiq Kiemas, suami Presiden Megawati.

26 April 2004

  • Gus Dur menemui Sri Sultan Hamengku Buwono X di Kepatihan, Yogyakarta. Tapi ia membantah menawarkan jabatan politik kepada Sri Sultan, termasuk jabatan calon wakil presiden.

27 April 2004

  • Gus Dur bertemu dengan aktivis Kontras, Imparsial, dan Solidaritas Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia. Ia memastikan tak akan menggandeng calon wakil presiden dari militer.
  • Gus Dur bertemu dengan Wiranto di Bandar Udara Juanda, Surabaya.

29 April 2004

  • Gus Dur menjalani pemeriksaan kesehatan di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Subroto. Ia sempat bertemu dengan SBY dan Jusuf Kalla dan makan pagi bersama.
  • Akbar Tandjung dan Wiranto menemui Gus Dur untuk meminta resmi pencalonan Hasyim Muzadi sebagai calon wakil presiden dari Golkar. Namun Gus Dur menolak karena mengaku tak berhak memberikan restu.

30 April 2004

  • Mahkamah Agung menolak permohonan judicial review yang diajukan PKB atas Surat Keputusan KPU Nomor 26/2004 soal persyaratan kesehatan calon presiden yang dianggap menghambat Gus Dur maju sebagai calon presiden.
  • Gus Dur menyatakan mundur dari pencalonan presiden PKB. Ia menyatakan akan berada di luar sistem, tak akan mencalonkan dan mendukung siapa pun dalam pemilu presiden. Sikap ini diikuti PKB.
  • Gus Dur bertemu dengan politisi dari berbagai partai di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, untuk mendeklarasikan manifesto politik pemilu bersih dan untuk calon presiden alternatif. Gus Dur ikut meneken manifesto politik yang juga diteken ketua umum aliansi 19 partai. Tapi ia menolak aksinya itu disebut sebagai upaya mendukung salah satu calon presiden.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus