Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kecewa terhadap IBM Indonesia
Kami, salah satu perusahaan komputer di Jakarta, merasa dikecewakan IBM Indonesia. Pada 10 Maret 2004, kami membeli spare part dari IBM Indonesia seharga US$ 434,5 (ditransfer US$ 435) melalui Citibank. Ternyata di dalam dus tersebut kami mendapatkan invoice pembelian dari IBM Singapura. Kami pun sangat kaget. Rupanya, sesuai dengan invoice tersebut, harganya US$ 75,78 untuk barang yang sama.
Kami tidak menyangka bahwa IBM Indonesia telah memberikan harga kepada kami sangat tinggi, mengambil keuntungan hampir 500 persen. Itu sama saja secara tidak langsung pihak IBM Indonesia seperti lintah darat yang berprinsip mengambil keuntungan sebanyak-banyaknya.
Kami sudah mengajukan keberatan terhadap IBM. Solusi dari IBM: kalau tidak jadi beli, barang dikembalikan saja. Padahal barang sudah telanjur dipakai. Seorang staf IBM Indonesia mengatakan, selama ini pihaknya menjalankan bisnis seperti ini.
Kami sarankan kepada para perusahaan komputer dan konsumen agar berhati-hati dalam membeli produk. Jangan sampai karena ketidaktahuan kita terhadap harga barang yang kita beli, kita diberi harga barang yang mencekik leher.
Adimin Nugraha
Taman Surya, Kalideres
Jakarta Barat
Kursi Rusak di Garuda
Saya mengadakan perjalanan ke Amsterdam dengan GA 974 pada 14 April lalu. Perjalanan berjalan dengan baik dan tiba tepat waktu di Schippol, Amsterdam, walau di Jakarta agak tertunda sedikit. Baru sekitar dua hari saya di Amsterdam, yang berencana masih beberapa waktu lagi di Eropa, saya ditelepon harus segera kembali ke Indonesia karena harus mengikuti pertemuan. Maka saya langsung menelepon pihak Garuda.
Akhirnya saya terbang lagi ke Jakarta dengan penerbangan GA 975 pada 17 April lalu. Saya mendapatkan kursi 1J dan 1K. Oh, kursi itu rusak dan saya memberi tahu awak kabin agar saya bisa pindah ke kursi 4A dan 4B, kursi yang biasa dipakai oleh pilot dan kopilot. Keinginan saya tidak dikabulkan.
Saya kecewa terhadap pelayanan seperti itu. Kalau kursi tersebut rusak, kenapa dijual? Menurut seorang penumpang, sudah sebulan kursi itu dibiarkan dalam keadaan rusak. Kalau memang tidak bisa diperbaiki, diganti dong. Setahu saya di kelas ekonomi pada saat itu juga banyak audio yang tidak berfungsi.
Wahai para pejabat berwenang di Garuda Indonesia, perhatikanlah hal-hal seperti itu. Apalagi masih banyak hal lain yang harus lebih diperhatikan maskapai penerbangan ini. Tempatkanlah orang-orang yang sesuai dan punya dedikasi untuk kemajuan Garuda Indonesia.
Engelhard R. Walean
Jalan Pinus 7 No. 22, Meadow Green
Lippo Cikarang Bekasi 17550
Wiranto dan Hukum Internasional
ALANGKAH khawatirnya hati ini ketika membaca artikel berjudul Hybrid Court di Timor Timur yang ditulis oleh Rachland Nashidik pada TEMPO Edisi 26 April-2 Mei 2004. Soalnya, Wiranto adalah calon presiden Partai Golkar yang akan bertanding dalam pemilihan presiden Juli nanti.
Seperti diuraikan dalam artikel itu, berdasarkan The Princeton Principles, hukum internasional tidak lagi mengenal batas negara. Artinya, tangan hukum internasional sanggup menjangkau tersangka kejahatan atas kemanusiaan di mana pun ia berada. Negara pun tidak dapat berbuat apa-apa untuk membela. Apalagi Indonesia adalah negara yang menandatangani beberapa konvensi internasional tentang kejahatan atas kemanusiaan dan kejahatan perang, misalnya Geneva Convention IV—Relative to the Protection of Civilian Persons in Time of War.
Dalam GC IV itu ada beberapa pasal yang mengikat Indonesia sebagai pihak dalam konvensi itu (parties to the Convention). Misalnya dalam pasal 146 disebutkan: parties to the Convention undertake to enact any penal legislation necessary to provide effective penal sanctions for persons committing, or ordering to be committed, any of the grave breaches defined (in Article 147). Parties shall be under the obligation to search for persons alleged to have committed, or to have ordered such grave breaches, and bring such persons, regardless of their nationality, before its own courts.
Lalu, dalam pasal 147 dinyatakan kejahatan kemanusiaan itu meliputi: willful killing, torture of inhumane treatment, willfully causing great suffering or serious injury to the body or health, unlawful deportation of transfer, extensive destruction or appropriation of property, not justified by military necessity and carried out unlawfully and wantonly.
Andaikata tindakan hukum internasional atas Wiranto terjadi setelah ia menang dalam pemilihan presiden nanti, lalu bagaimana? Padahal, mau tidak mau, suka tidak suka, hukum internasional harus ditaati.
Cornelis A. Boeky
Rancho Indah, Jalan Tanjung 26/H7
Tanjung Barat, Jakarta 12530
Ihwal Dosen Pembimbing UI
KELUHAN P. Widiatmoko, yang dimuat dalam rubrik Surat di TEMPO Edisi 5-11 April 2004, adalah representasi ”mikro” keadaan ”makro” dunia pendidikan tinggi kita yang amat menyedihkan. Betapa tidak? Sang pembimbing tesis Magister Manajemen Universitas Indonesia (MM-UI) hanya berfungsi sebagai editor bahasa. Kalau itu fungsinya, pekerjaan tersebut akan lebih baik jika dikerjakan seorang ahli bahasa. Proses penulisan tesis seharusnya menjadi kulminasi learning experience seorang murid di bawah bimbingan seorang pakar. Sungguh kasihan Widiatmoko (dan puluhan mahasiswa MM-UI lainnya). Bukankah mereka berhak mendapat ”sesuatu” yang seharusnya diberikan MM-UI?
Tidak masuk akal pula bila seorang dosen membimbing tesis puluhan mahasiswa secara bersamaan. Apalagi, konon, sebagian besar dosen MM-UI tidak bekerja penuh waktu.
Widiatmoko juga mengungkapkan bahwa sebagian mahasiswa MM-UI mengutip tesis terdahulu. Tidak jelas bagi kita apakah kutipan ini sudah masuk kategori plagiarisme, yang memang marak di Indonesia. Kasus plagiarisme oleh seorang guru besar di UI dan doktor di Universitas Gadjah Mada adalah sedikit dari sekian banyak kasus plagiarisme yang mencuat ke permukaan. Apakah plagiarisme sudah menjadi budaya kita?
Apa yang dialami Widiatmoko di MM-UI adalah cerminan dari buruknya manajemen perguruan tinggi dan ketidakpedulian manajer perguruan tinggi kita dari strata-1 sampai strata-3, baik di perguruan tinggi swasta maupun perguruan tinggi negeri, termasuk MM-UI. Tidaklah mengherankan bila reputasi semua perguruan tinggi terkemuka kita, seperti UI, jauh di bawah perguruan tinggi negara ASEAN lain seperti Singapura, Thailand, bahkan Malaysia, yang beberapa dasawarsa lalu masih belajar dari kita.
HADI SATYAGRAHA
Jalan Petamburan, RT 001 RW 04
Jakarta Pusat
Tanggapan Magister Manajemen UI
DALAM TEMPO Edisi 5-11 April 2004, dimuat surat pembaca Saudara P. Widiatmoko dengan judul Dosen Pembimbing di UI. Isinya mengenai bimbingan karya akhir (bukan tesis) di Magister Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (MM-FEUI). Kami mengucapkan terima kasih atas surat itu. Perlu kami sampaikan kepada Saudara P. Widiatmoko bahwa kami selalu terbuka terhadap saran atau keluhan mahasiswa, baik melalui tatap muka langsung, lewat telepon, maupun melalui e-mail. Sayang sekali, kami tidak dapat menghubungi Saudara untuk klarifikasi karena, setelah kami cek, nama Saudara tidak tercatat sebagai alumni ataupun mahasiswa kami.
Di samping itu, kami ingin menyampaikan tanggapan sebagai klarifikasi sebagai berikut.
Penentuan pembimbing karya akhir di MM-FEUI merupakan hasil proses permohonan mahasiswa dengan persetujuan pembimbing yang dituju, bukan hasil proses penunjukan satu arah.
Dalam proses bimbingan, jika mahasiswa merasa tidak mendapat nilai tambah atau merasa tidak mendapat bimbingan seperti yang diharapkan, yang bersangkutan dapat mengajukan penggantian pembimbing sesuai dengan bidang yang ditulisnya.
Penyempurnaan final karya akhir dilakukan melalui proses presentasi karya akhir pada saat mahasiswa akan mendapatkan masukan dari suatu tim penilai.
RONNY K. MUNTORO
Ketua Program MM-FEUI
Jalan Salemba 4, Jakarta
Keluhan terhadap Sun Life
Putri kami, Budiyati Rahayu, adalah pemegang polis asuransi nomor 0059015 dari PT Sun Life Financial Indonesia. Pada 28 Februari 2004, dia meninggal dunia. Sekitar dua minggu kemudian, seorang putra kami mencoba menghubungi Widyastuti, konsultan keuangan Sun Life, untuk mengurus asuransi almarhumah. Karena yang dicari tidak ada, putra kami berbicara dengan Hilda, yang menanyakan nomor polis almarhumah dan berjanji akan mengurusnya. Setelah menunggu dua pekan tanpa jawaban, putra kami kembali menghubungi Hilda. Jawabannya, masih menunggu penyelesaian dari Widyastuti.
Karena Widyastuti tidak pernah sekalipun menghubungi kami, akhirnya kami kembali menelepon Sun Life. Kali ini berbicara dengan Eva. Sorenya pihak Sun Life yang diwakili oleh Imelda dan Isna menelepon kami, mengabarkan bahwa ternyata polis almarhumah sudah tidak aktif sejak Desember 2003 karena tidak membayar premi pada April 2003. Mereka mengaku telah mengirim surat pemberitahuan sebanyak tiga kali dan diterima oleh Dede dan Tari (sopir dan pembantu rumah kami). Namun kami tidak pernah menerima surat yang dimaksud dan hingga saat ini kami tidak pernah melihat bukti pengiriman surat tersebut.
Memang benar pemegang polis wajib memenuhi pembayaran premi tepat waktu. Tapi jika Sun Life berniat baik, selain mengirim surat sudah seharusnya perusahaan ini juga menelepon kami untuk mengabarkan hal tersebut.
Setelah dua pekan berselang tanpa kabar, putra kami kembali menghubungi Sun Life dan diterima oleh Lusi. Lusi hanya menegaskan bahwa karena kami tidak membayar premi pada April 2003, maka sejak Desember 2003, polis menjadi nonaktif dan premi sebelumnya yang telah dibayarkan bertahun-tahun otomatis menjadi hangus dan hilang.
Kami sangat kaget atas penjelasan tersebut. Sungguh suatu perlakuan sepihak dan sangat tidak fair! Saya hanya bisa berpikir apa gunanya Sun Life menunjuk Widyastuti sebagai konsultan keuangan untuk membantu kami, jika pada kenyataannya Sun Life tidak memiliki tanggung jawab sama sekali untuk memperhatikan pelayanan terhadap nasabahnya. Ketika kami mencoba meminta waktu untuk bertemu dengan atasan Lusi yang berwenang dalam hal ini, ia tidak bersedia dan mengatakan tidak ada waktu untuk itu.
Saya mengucapkan selamat kepada Sun Life, yang beberapa waktu lalu telah begitu baik menelepon berulang kali membujuk kami untuk menjadi nasabahnya. Perusahaan ini telah menjerumuskan kami sehingga polis almarhumah putri kami menjadi nonaktif dan seluruh premi yang telah kami bayarkan bertahun-tahun dianggap hilang. Walaupun terdapat karyawan Sun Life yang baru-baru ini memperoleh penghargaan sebagai eksekutif pemasaran terbaik versi majalah Swa, pada kenyataannya kualitas pemasaran tidak berbanding lurus dengan kualitas pelayanan. Kami hanya bertanya-tanya, apakah tidak ada perlindungan nasabah asuransi di Indonesia yang bisa dilakukan oleh Departemen Keuangan ataupun Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI).
Made Rugeh Ramia
Rawamangun, Jakarta Timur
Penjelasan BPPT
KAMI ingin meluruskan berita sehubungan dengan tulisan TEMPO Edisi 26 April-2 Mei 2004, berjudul ”Hujan Buatan, Cililin Longsor”. Perlu kami jelaskan, hasil analisis data cuaca pada l 21 April 2004 menunjukkan bahwa kejadian longsor di Cililin, Jawa Barat, bukan diakibatkan oleh hujan buatan. Kejadian itu disebabkan oleh faktor alam, yaitu faktor cuaca ekstrem dan kerusakan lahan.
Data gradient wind yang diperoleh dari Biro Meteorologi Australia menunjukkan adanya dua masa udara (angin) yang melintasi wilayah Indonesia. Masa udara yang pertama berasal dari pusat tekanan tinggi di timur laut Filipina yang bergerak menuju pusat tekanan rendah di Samudra Hindia sebelah barat Pulau Sumatera. Masa udara lainnya bergerak dari pusat tekanan tinggi di Australia menuju pusat tekanan rendah yang sama. Sebagai akibatnya, kedua masa udara ini bertemu di Pulau Jawa bagian barat (Selat Sunda), mengakibatkan terjadinya lambungan udara yang membentuk awan hujan yang menjulang tinggi (Cumulonimbus, Cb.) dan menghasilkan hujan lebat disertai guntur. Kondisi awan ini dapat dilihat dari citra satelit GMS pada 21 April 2004 siang, yang menutupi daerah yang cukup luas seperti daerah Serang (Banten), Jakarta, Bandung, bahkan sampai Sumatera Barat, yang mengakibatkan hujan lebat di kawasan tersebut, dan berakibat banjir di wilayah DKI Jakarta, longsor di Jawa Barat dan Pariaman, Sumatera Barat. Selain diakibatkan oleh faktor cuaca ekstrem (curah hujan tinggi) yang terjadi pada skala regional, kejadian longsor di Cililin juga diakibatkan oleh kerusakan lahan dan pemanfaatan lahan yang salah sehingga sangat rentan terhadap longsor.
Kegiatan teknik modifikasi cuaca (TMC) alias pembuatan hujan yang sedang berlangsung di daerah aliran Sungai Citarum bukan faktor yang mengakibatkan terjadinya longsor di daerah Cililin. Soalnya, saat terjadinya longsor, kegiatan penyemaian awan berada di daerah downwind, sedangkan lokasi longsor Cililin berada di daerah upwind. Hal ini dapat dianalisis karena setiap misi penerbangan selalu dilengkapi GPS (Global Position System) untuk merekam rute penerbangan yang dilakukan oleh flight scientist.
Dr. Asep Karsidi, M.Sc.
Peneliti UPT Hujan Buatan BPP Teknologi
— Dalam tulisan itu TEMPO hanya mengutip pernyataan Surono dari Direktorat Vulkanologi dan Bencana Geologi di Bandung.
Calon Gubernur Lampung
PENCALONAN Ujang, 45 tahun, yang berprofesi sebagai pengayuh becak, menjadi Gubernur Lampung, adalah cerminan kejenuhan rakyat banyak terhadap kelakuan elite politik yang tidak becus menjalankan tugasnya.
Ujang, abang becak yang mangkal di ujung Gang Kaliawi, Jalan Kartini, Bandar Lampung, adalah profil warga negara yang penuh percaya diri. Ia tampak pede berbincang-bincang dengan petinggi Lampung ketika menghadiri resepsi calon gubernur (23 April).
Masyarakat Kaliawi dan pedagang di Jalan Kartini tentu mendukung Bang Ujang, orang sederhana yang bercita-cita memperbaiki nasib abang becak di Lampung. Bisa juga, sebagai kenangan terhadap Sukardal, abang becak yang mati gantung diri karena becaknya dirampas petugas ketertiban Bandung (TEMPO, 1986). Selamat, Bang Ujang! Semoga berhasil menjadi Gubenur Lampung yang baru.
I.H. Kendengan
Taman Alfa Indah, Blok A 15/15
Joglo, Jakarta Barat
Nasib Sungai Citarum
Malang nian nasib sungai Citarum. Sungai yang paling berjasa bagi Jakarta dan Jawa Barat ini kondisinya kian hari semakin mengenaskan. Selain sampah, pendangkalan, dan pencemaran, masalah pengrusakan kawasan hulu Citarum sangat luar biasa parahnya. Lingkungan gunung Wayang di Bandung selatan di mana mata air Citarum berada nyaris gundul tak berbekas. Hutan yang menjadi pelindung tata air di hulu Citarum kini habis dijarah oleh oknum-oknum tak bertanggung jawab.
Lalu siapa yang harus bertanggung jawab? Tentunya yang paling pertama ditunjuk hidung adalah aparat pemerintah daerah Jawa Barat beserta dan aparat keamanan setempat. Mengapa mereka mendiamkan proses pengrusakan hutan yang berlangsung secara sistematis itu? Mengapa aparat setempat tidak pernah bereaksi bahkan menindak para penjarah hutan itu? Padahal pencurian kayu telah berlangsung dalam jangka waktu yang lama dan terjadi di depan mata kita. Karena hutan di hulu Citarum bukanlah hutan antah berantah yang jauh dari peradaban. Hutan Gunung Wayang hanya sepenggalan kaki dari kota Bandung, ibu kota Jawa Barat.
Tapi disinilah masalahnya. Dari dulu Jawa Barat selalu dipimpin oleh Gubernur yang tidak peduli lingkungan. Dan ketika bencana datang, mulai dari longsor, banjir dan kekeringan maka pemerintah paling bisa saling menunjuk hidung. Seperti halnya masalah kerusakan daerah aliran sungai Citarum, Pemerintah Daerah lebih suka mencari kambing hitam dari para berintrospeksi dan memperbaiki kesalahan.
Ading Gunandar
Majalaya, Kabupaten Bandung
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo