BERPRESTASI (dan miskin) berarti seckor kambing. Untuk merangsang prestasi para siswa, Sekolah Teknik Menengah (STM) PIRI (Perguruan Islam Republik Indonesia) Yogyakarta rnenyediakan hadiah binatang itu -- seekor kambing-hidup. Itu sudah dilakukan sejak setahun lalu. "Untuk membantu ekonomi keluarga para siswa yang kurang mampu," kata Sriyono, kepala sekolah. Itulah sebabnya mengapa bukan perkakas teknik yang diberikan, yang ada hubungannya dengan sifat STM. Ide hadiah itu muncul menjelang lebaran Idul Adha 1985. Seperti biasa, di saat seperti itu sekolah menyediakan hewan korban kali itu 15 ekor. Nah, setelah dipikir-pikir 15 ekor kambing sebenarnya terlalu banyak. Diputuskanlah, waktu itu, yang tiga ekor diberikan saja kepada siswa yang berprestasi tapi tidak mampu. "Bukan zakat, tapi semata-mata tanda ikatan kekeluargaan," tutur Nurdjati, wakil kepala sekolah. Tahun-tahun berikutnya, ditetapkan hanya dua anak yang mendapat hadiah. "Ini untuk menghadapi kemungkinan adanya kambing yang belum kembali, atau mungkin keuangan kami lagi mepet," sambung Sriyono. Ternyata, hingga kini memang belum satu pun dari kambing-kambing itu yang balik ke sekolah. Padahal, perjanjiannya, bila sudah punya anak dua ekor, kambing induk wajib dikembalikan. Jadi, sebenarnya, yang diberikan itu bukan hak milik, tapi hak guna kambing. Celakanya, pihak sekolah tak punya waktu untuk memonitor apakah kambing itu sudah beranak, atau jangan-jangan malah turut disate untuk lebaran. Juga, dua siswa yang menerima hadiah itu sudah lulus. Lah, siapa tahu kambing-kambing itu malah dipakai untuk selamatan mereka. Ya, 'kan? Tapi, di tangan Sawiyo, 23, hadiah yang diterimanya tahun lalu itu tidak sia-sia. Alhamdulillah. Setelah dibawa ke desanya di Wonosari, kambing itu kini sudah lima ekor anaknya. Malah Sawiyo, yang meneruskan sekolah ke Pendidikan Teknik Kejuruan Sarjana Wiyata, Yogyakarta, berbulat hati membiayai pelajarannya dari hasil kambing-kambingnya. Ia, yang mengaku sangat tertolong, juga berniat (jadi, belum) mengembalikan kambing induk. "Entah kapan, ya?" Kendati tak satu pun yang kembali, STM PIRI yang berumur tua itu tetap akan melangsungkan tradisi yang bagus itu. Juga, kata Sriyono, pihaknya tidak peduli dijuluki STM Kambing. Kata Nurdjati lagi, sambil tertawa, "Yang penting, bukan kelas kambing."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini