MENGENANG musibah itu, janda tua yang bernama Bilangan boru KaroKaro, 65, selalu berurai air mata. Bayangkan: tiga jiwa yang dicintainya meninggal dengan cara yang amat tragis. "Seperti penjahat yang dieksekusi di kursi listrik," kata nenek 32 cucu ini. Persoalannya memang listrik. Dan si janda, walau mengaku orang desa, ternyata cukup cerdas - dan beram -- untuk mengadukan badan pemerintah ke meja hijau. Gugatannya -- terhadap Perusahaan Listrik Negara (PLN) Binjai -- sudah masuk ke pengadilan negeri setempat, Rabu pekan lalu. Nenek Bilangan menuntut ganti rugi Rp 1,8 juta. Tidak banyak, memang. Peristiwanya sudah lama, awal September lalu. Bilangan menyuruh dua kemanakannya membawa Peta, Lasmi, dan Tika berjalan-jalan di pagi hari. Di tepi Jalan Sentosa, Binjai, ketiga anak itu memasuki parit -- dan, tiba-tiba saja, serentak pada menggelepar, meronta-ronta, lalu kejang. Alias meninggal, tanpa sempat ditolong. "Tubuh mereka hangus, seperti terbakar," kata Dolah, yang ditugasi mengawasi mereka. Rupanya, ada kabel listrik yang terputus. Bilangan pun menuduh pihak PLN ceroboh dan mengakibatkan kematian mereka. Nenek Bilangan biasa berhitung, rupanya. Seminggu setelah musibah, ia mengirimkan surat ke PLN Binjai, menawarkan perdamaian dengan menuntut ganti rugi Rp 1,5 juta. PLN tak ambil perhatian. Malah, instansi itu menyalahkan si nenek, kenapa Lasmi, Peta, dan Tika dibiarkan berkeliaran. "Berkeliaran?" si nenek berang. "'Kan sudah ada Dolah dan Udin yang mengawasi. Soalnya Dolah dan Udin juga tidak tahu di parit itu ada kabel listrik yang putus!" Si nenek merasa punya bukti lain bahwa PLN tidak tanggap. Putusnya kabel itu sudah dilaporkan oleh petugas Koramil pukul 09.12 pada hari kejadian. Petugas PLN baru datang ke tempat kejadian pukul 09.22. Tak jelas berapa jarak kantor PLN dengan tempat musibah, di kota kecil itu. Yang jelas, Lasmi dan dua kawannya disengat arus listrik pukul 09.20, menurut si nenek. Ia agaknya tidak berpikir: bisakah PLN dituntut, seumpama -- dalam kasus lain -- sebuah kabel tegangan tinggi putus dan langsung mengenai korban, sehingga tak ada masalah jarak waktu. Yang membuat Nenek Bilangan merasakan kehilangan besar adalah tidak mungkinnya mayat Lasmi, Peta, dan Tika, yang masing-masing berumur tiga tahun, dijual di tempat yang semestinya. Kepala Dinas Peternakan Binjai sudah melarang daging anak-anak sapi itu dimakan, dengan alasan bisa menyebabkan keracunan. Dan nasib Nenek Bilangan -- peternak sapi perah sejak 1945 tentu akan berada di tangan pak hakim.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini