DI Desa Sampay, kawasan Puncak, Jawa Barat, seorang pastor kembali ke alam. Ia tak percaya pada penggunaan zat kimia untuk pertanian. Agatho Elsener, 54 orang Swiss yang telah 26 tahun di Indonesia, menyatakan dengan yakin, obat kimia itu lebih meracuni daripada menolong. Sejak 2 tahun lalu pastor bercambang yang bertani itu mengembangkan pertanian organik. Ia makin yakin pada langkahnya, setelah akhir-akhir ini diumumkan pembatasan pemakaian insektisida untuk mencegah timbulnya biotip wereng baru yang kebal racun kimia. Mekanisme alam sendiri, katanya, sudah mempunyai kontrol terhadap keseimbangan ekologi. Dan wereng itu, yang kemudian tahan obat kimia, sebenarnya hanya mengikuti mekanisme itu. Hama yang bertahan kemudian menurunkan anak-cucu yang sakti, tak mempan disemprot obat. Maka, kata pengelola Yayasan Bina Sarana Bhakti -- yayasan di bawah Komisi Pengembangan Sosial Ekonomi MAWI yang bergerak di bidang pertanian -- jika unsur positif di alam didukung, segalanya akan berjalan baik. Inilah prinsip pertanian organik. Di kebun seluas 3 ha, yang sekilas tampak tak terawat, Agatho menanam berbagai jenis sayuran, termasuk kacang panjang dan kacang tanah. Di salah satu sudut kebun percobaan itu, sepetak tanah ditanami jagung. Semak-semak dibiarkan tumbuh. Menurut Agatho, semak itu jenis Pueraria Javanica, yang dapat menyuburkan tanah, tanpa perlu pupuk kimia. Dengan pertanian organik, kata Pastor bertubuh kekar ini, "Segalanya diserahkan kembali kepada alam untuk mengaturnya." Tak perlu takut hama, karena alam juga sudah menyediakan predatornya. Sudah ribuan tahun hama itu hidup dalam dunia pertanian. "Tapi tak pernah mengancam kehidupan manusia sehebat sekarang ini," tambahnya. Sebenarnya, di Jawa Timur, kegiatan seperti yang dilakukan Agatho pun berkembang. Sekelompok anak muda yang menyebut dirinya KRAPP (Kelompok Relawan Anti-Penggunaan Pestisida), gencar mencoba jenis pertanian organik itu. Mereka bekerja sama dengan Yayasan Daya Pertiwi (YDP), yang punya proyek di 40 desa di Kabupaten Malang dan Blitar, dengan sponsor dari NOVIB (Belanda) dan Bread for the World aerman Barat). Menurut ketua YDP, Made Darsana Polak, 29, pertanian organik yang dikembangkan di sini bertumpu pada pola tumpang sari. Seperti proyek pertamanya di Desa Jungglo, Kabupaten Malang, yang mencoba menggabungkan beberapa tanaman. Antara lain kubis dengan seledri, buncis dengan kentang, dan lobak dengan mentimun. Namun, YDP tidak seekstrem Agatho. Di Jungglo masih dipergunakan pestisida, meskipun ditekan sesedikit mungkin. Juga pupuk anorganik seperti urea. Hasilnya, "Secara finansial kami rugi," kata Made Darsana, sarjana hukum lulusan Universitas Brawijaya yang suka mendaki gunung itu. Anggaran yang telah dikeluarkan YDP Rp 900.000, tetapi hasil panen cuma mencapai Rp 330.000. Penyebabnya, katanya, mungkin terjadi pemborosan pestisida, atau hasil pertanian dijual murah oleh petani tak sepengetahuan YDP. Tapi bisa juga karena bau seledri tidak cukup kuat untuk mengusir kupu-kupu kubis, hingga panen kubis terganggu. Seberapa jauh sebenarnya pertanian organik menjawab kebutuhan manusia di abad ini? Menurut ahli ekologi dari IPB, Dr. Ir. Yoedojono Wiroatmojo, sulit untuk menjawab kebutuhan yang semakin deras. "Pupuk kandangnya saja, dari mana bisa kita dapatkan dalam jumlah besar," katanya. Soal produktivitasnya pun masih diragukan. Misalnya saja padi, dengan pertanian modern mampu menghasilkan sekitar 8 ton per hektar. Dengan sistem organik, paling banter menghasilkan 3 ton. Maka, tampaknya, eksperimen Pastor Agatho, juga anak-anak muda di Jawa Timur itu, masih akan panjang. Agatho sendiri memperkirakan, ia baru bisa menilai usahanya 5 tahun lagi -- sebelum proyek ini membuka pusat Informasi pertaman alternatif. SHD Laporan Didi Sunardi (Biro Ja-Bar) Jalil Hakim (Biro Ja-Tim)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini