Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Patriotisme dan proses pembalikan

Patriotisme berkaitan dengan nasionalisme, di mana perbedaan ras, suku dan agama dimasukkan dalam ikatan solidaritas nasion. kenyataannya kini kepentingan golongan di atas kepentingan negara.

6 Desember 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MASALAH patriotisme memang masalah luas dan mendalam. Sebagai suatu sikap kejiwaan kehidupan pribadi, kehidupan bermasyarakat dan bernegara, ia terkait dengan nasionalisme. Juga dengan regionalisme dan internasionalisme, seperti yang dikemukakan oleh Saudara Simatupang dan Saudara Hasnan Habib. Ia pun berakar kepada lingkungan kecil masyarakat di desa-desa pesisir, desa-desa tanah datar, dan tanah pegunungan kita, seperti yang sekarang ini masih hidup dan dikemukakan dalam contoh-contoh pengamatan Saudara Emil Salim. Ia pun menyangkut sikap kejiwaan anak cucu kita terhadap perkembangan patriotisme kita dewasa ini, baik yang penuh harapan maupun yang penuh sinisme, seperti yang disinggung oleh Saudara Emha Ainun Nadjib. Apabila kaitan-kaitan itu secara eksplisit kurang saya kemukakan dalam kolom saya, itu hanya karena keterbatasan tempat belaka. Tetapi keterbatasan tempat mengharuskan kita memadatkan terminologi kata-kata kita. Menyederhanakan, demi meng-"gamblang"kan persoalan. Semua itu mengharuskan kita bersama mempertajam penglihatan terhadap masalah patriotisme kita, baik di masa lampau maupun di masa sekarang dan masa depan. Apabila kita berpijak pada rasa cinta kasih, dan kita mendefinisikan patriotisme sebagai cinta tanah air, nasionalisme dapat kita definisikan sebagai cinta sesama bangsa. Dan seperti ditekankan oleh Saudara Simatupang, patriotisme adalah unsur utama dalam nasionalisme, yang dengan kata-kata lain juga ditekankan oleh Saudara Hasnan Habib. * * * * Adapun konsep nasionalisme kita, seperti yang dikumandangkan oleh pemimpin-pemimpin pergerakan kemerdekaan kita dulu itu, bukan didasarkan atas persamaan suku, ras, atau agama, melainkan didasarkan kepada persamaan sikap kejiwaan untuk hidup bersatu sebagai suatu kesatuan nasion, disumberi oleh cita-cita bersama dan oleh sejarah bersama dengan segala pasang surut dan suka dukanya. Perbedaan ras, suku, dan agama bukan halangan untuk membentuk ikatan bangsa. Malah perbedaan itu hendaknya kita masukkan dalam ikatan solidaritas yang lebih besar, yaitu solidaritas nasion. Ini antara lain bersumber pada teori Ernest Renan. Nasionalisme demikian itu erat terkait dengan patriotisme, yang secara geopolitis menghubungkan bangsa dengan wilayah hidupnya. Fenomena nasionalisme tidak mungkin dilepaskan dari fenomena patriotisme. Kedua-duanya kait-mengait merupakan dwitunggal. Kedua-duanya merupakan konsepsi dan realita modern sesuai dengan taraf sejarah dunia dan kemanusiaan dewasa ini, seperti yang dirintis oleh pemimpin-pemimpin pergerakan nasional modern sejak awal abad ke-20. Sehingga, bagi generasi saya, dan mudah-mudahan juga bagi generasi penerus, kita cukup belajar dari mereka khususnya dari Angkatan 1908 dan Angkatan 1928. Dan tidak usah menganjurkan jauh-jauh belajar ke belakang, seperti dari Sumpah Palapa, Menakjinggo, dan Kencanawungu. * * * * Perang Dunia Kedua, dengan komplemennya Perang Pasifik robohnya kekuasaan kolonialisme Belanda karena pendudukan militerisme Jepang, dan kegentingan bulan Agustus 1945, khususnya tanggal 17 Agustus yang oleh Saudara Hasnan Habib dinyatakan sebagai ujian terberat dalam sejarah kita, adalah sekaligus kesempatan dan peluang terbaik untuk membajakan dan mendewasakan patriotisme dan nasionalisme kita. Membajakan dalam arti kata lebih memilitankan. Mendewasakan dalam arti kata melengkapinya dengan kecakapan berorganisasi di bidang politik, sosial-ekonomi, dan kemiliteran. Patriotisme dan nasionalisme yang berkekuatan mental dan organisasional demikian itulah yang dapat mencegah kembalinya kolonialisme Belanda ke bumi Indonesia. Untuk itu kita harus mengadu kekuatan dengan tentara Jepang yang sedang kalah, tentara Inggns yang sedang lelah perang, dan tentara Belanda yang bernafsu menjajah kembali. Ini untuk memperjelas bahwa berkat patriotisme yang romantis dan herois dulu itulah kita dapat menghancurkan kolonialisme. Memang, seperti dikatakan oleh Saudara Simatupang, itu saja tidak tepat. Yang tepat ialah adanya kekuatan, yang dijiwai oleh patrlotisme. * * * * Kekuasaan kenegaraan, yang kemudian kita rebut bersama itu, memungkinkan konsolidasi posisi negara kita. Banyak manfaat yang kita peroleh dari kekuasaan baru itu. Dalam hal ini, saya teringat kepada ucapan Prof. Huntington, "Power not only corrupts, but also educates". Ini merupakan bantahan terhadap dalil Lord Acton. Saya lebih melihat dalil kedua tokoh itu saling melengkapi. Ini pun dalam kolom saya belum saya kemukakan, karena saya sedang memusatkan kepada segi negatif kekuasaan, dan tidak segi positifnya. Sebabnya ialah karena saya ingin menyoroti keluhan sekarang tentang penyalahgunaan kekuasaan, komersialisasi jabatan, manipulasi wewenang, dan berbagai korupsi lainnya. Segi positif kekuasaan jelas ada. Dengan kekuasaan politik yang beralih dari kolonialisme ke tangan kita, kita telah "educate" pemuda-pemuda kita menjadi aparat sipil dan militer negara kita. Kcsempatan meng-"educate" diri sendiri itu dulu di zaman kolonial kurang sekali. Kalau ada, terbatas dan arah tujuannya lain. Lama-kelamaan, kekuasaan dalam alam kemerdekaan itu membius. Dan terjadilah pencemaran dalam jiwa patriotisme dan nasionalisme kita. Sudah barang tentu tidak semua pemegang kekuasaan terbius. Ada yang tetap tegar. Di sinilah memang telak pentingnya manusia-manusianya seperti dikemukakan oleh Saudara Simatupang dan Saudara Hasnan Habib. * * * * Cara mengatasi pencemaran itu tidak hanya tertuju kepada manusia-manusianya saja, tetapi juga dengan membangun suatu sistem pembagian kekuasaan berdasarkan prinsip "check and balance". Pelembagaan sistem itu sudah dirumuskan dalam pembukaan dan batang tubuh konstitusi kita. Kelima-lima sila yang dirumuskan dalam pembukaan konstitusi adalah dalam suatu rangkaian kesatuan yang berimbang. Suatu "unified and well-balanced whole". Sedangkan "trias politica" yang universal, ditambah dengan kekuasaan menasihati ("advisory power") di tangan DPA, ditentukan dalam batang tubuh konstitusi. Dengan demikian, deteksi dan koreksi terhadap setiap penyalahgunaan kekuasaan, seperti yang diinginkan oleh Saudara Simatupang, secara dini dapat dilakukan, asal ada moralitas dan kemauan politik ("political will") dari pelaku-pelakunya. Masalahnya menjadi kabur lagi apabila pelaku-pelakunya terkena penyakit "myopia", yaitu cadok dan picik penglihatannya, terbatas hanya kepada kepentingan pribadi dan golongan dan lupa kepada kepentingan umum. Antara manusia dan sistem ada pengaruh timbal balik. Dulu, pada permulaan kita memiliki negara, keorganisasian negara di zaman merdeka mengatasi keorganisasian parpol di zaman penjajahan. Karena itu, patriotisme dan nasionalisme dalam alam kemerdekaan mengharuskan transformasi kaum politisi partai menjadi kaum negarawan. Ini merupakan proses tersendiri. Kadang-kadang laju, kadang-kadang tersendat-sendat, karena hukum inertia politisi partai. * * * * Kini, setelah berbagai golongan mapan dalam kekuasaan, terlihat ada proses pembalikan. Yaitu mestinya berjiwa negarawan, dengan menempatkan diri atas segala kepentingan golongan. Kenyataan sering menempatkan kepentingan golongan di atas kepentingan negara. Sudah barang tentu dengan alasan bahwa kepentingan golongannya identik dengan kepentingan nasional. Proses pembalikan ini sebenarnya identik dengan jiwa politisi partai yang berpenyakit "myopia" pada zaman dulu. Pendulum hendaknya bergerak kembali ke arah yang benar dengan menyuburkan kembali jiwa kenegarawanan yang bebas dari penyakit "myopia". * * * * Di balik dinamika gerak pendulum itu tersembunyi pertentangan kepentingan-kepentingan kongkret, yang apabila tidak terselesaikan dengan baik akan menimbulkan konflik-konflik, seperti yang disinggung oleh Saudara Hasnan Habib. Setiap konflik dapat diselesaikan dengan musyawarah dan mufakat, asal sumber sebabnya kontradiksi yang nonantagonis. Hasilnya selalu bersifat kompromistis tanpa kehilangan jiwa kepribadian tiap-tiap individu atau golongan. Tetapi kalau sumber sebabnya ialah kontradiksi yang antagonistis, kontradiksi kekuatan kolonialisme kontra kekuatan nasionalisme yang patriotik, atau kediktatoran kontra kerakyatan, maka sulit tercapai kompromi. Kalau kompromi tercapai juga, tentu dengan pengorbanan jiwa. kepribadiannya masing-masing, atau kepribadian salah satu pihak. Inilah yang merupakan salah satu tantangan dalam mencegah proses pencemaran patriotisme dan nasionalisme kita sehubungan dengan kekuasaan kenegaraan dewasa ini.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus