Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Kampung hijau dan masjid mungil

Hadiah aga khan diberikan untuk kampung kebalen kulon, surabaya dan masjid said na'um, jakarta. kriteria penilaian: keserasian antara tempat hidup dan penghuninya, arsitektur dan lingkungannya. (ling)

6 Desember 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KAMPUNG itu hijau. Di pinggir sepanjang jalannya yang dibeton, berderet tanaman hias jerih payah warga kampung sendiri. Got mengalir lancar. Rumah-rumah, kebanyakan termasuk rumah kampung, teratur serasi: tak ada yang menjorok ke jalan, juga tak ada dinding antara dua rumah yang berdempet hingga tak bisa dipasangi jendela. Dan, bila tiba salat fardu (wajib), Masjid An-Nur di tengah kampung penuh. Masjid inilah, tlap sore berubah menjadi Madrasah Diniyah dengan 200 santri. Itulah Kebalen Kulon, yang di zaman Belanda terkenal terasinya, dan di zaman Republik kesohor sebagai kampung yang suka banjir dan kotor. "Dulu, karena suka banjir, banyak penduduk memelihara itik," kata Maxuddin, 45, salah seorang pamong kampung. Lewat dana dari Kampoong Improvement Program -- merupakan proyek Bank Dunia -- sebesar Rp 20 juta, pada 1980 Kebalen Kulon dibangun. Selokan diperbaiki, saluran air minum umum dipasang, jalan-jalan kampung -- enam lorong -- dibeton. Kampung pun jadi semarak, sekitar 2.800 warganya pun, yang 65% adalah pendatang dari Madura, senang. Dan tiga tahun lalu, pihak Institut Teknologi Surabaya (ITS) mengusulkan kampung ini agar dinilai oleh Yayasan Aga Khan --lembaga internasional yang sejak 1980 memberi hadiah pada arsitektur di mana pun berada yang memenuhi kriteria tertentu. Sebuah tim, dipimpin oleh Profesor Diba (adik Farah Diba bekas permaisuri Sah Iran) beberapa waktu lalu datang meninjau. Hasiinya, Selasa pekan lalu, di Marokko, diumumkanlah 6 pemenang utama dan 5 hadiah penghargaan. Kebalen Kulon itu, dan Masjid Said Na'um di Jakarta adalah dua di antara yang mendapat penghargaan. Kebalen Kulon, tentu saja, bukanlah sebuah kampung yang megah dengan arsitektur indah dalam arti bagus menurut kriteria fisik arsitektur. Sebagaimana digariskan oleh Yayasan Aga Khan yang didirikan pada 1977, yang, dinilai adalah sebuah bangunan atau kelompok bangunan yang mencerminkan kreativitas manusia dalam mendukung hidup sosial bernapaskan Islam. Bukan kemegahan yang dicari Aga Khan, tapi keserasian arsitektur dalam arti seluas-luasnya dengan lingkungan. Termasuk, bagaimana penduduk dalam lingkungan itu memanfaatkan sumber material yang ada di sekitar mereka, guna mendukung tempat hidupnya. Itu sebabnya, dalam pemilihan yang lalu, Pesantren Pabelan di Magelang, Jawa Tengah, pun terpilih. Pesantren itu dibangun dengan memanfaatkan apa-apa yang ada di lingkungannya. Satu lagi, dewan juri Aga Khan juga sangat menghargai bangunan atau rumah kuno yang tetap dipertahankan. Peninggalan seperti itu selain memiliki nilai historis juga memberikan rasa akrab. Dan itulah: sejumlah rumah di Kebalen Kulon adalah rumah lama, yang dibangun pada awal 1900-an. Masih ada beberapa rumah di Kota Surabaya itu yang lantainya merupakan perpaduan antara tegel-tegel kuning dan cokelat. Masih ada pintu-pintu dan jendela yang bukan nako, tapi jendela dan pintu daun besar-besar, yang mengundang sinar matahari. "Kalau ada rumah bergaya modern, itu pasti kemauan anak cucu," kata Zainuri, seorang guru SMP, Ketua Rukun Warga Kebalen Kulon. Namun, dengan adanya rumah modern pun, suasana keseluruhan kampung ini tidaklah belang-bonteng macam kebanyakan kampung di kota besar. Sekilas orang tahu, perbedaan sosial di sini, dilihat dari bangunan rumah-rumahnya, tidaklah besar. Tercermin adanya saling tenggang rasa dari warganya, yang terdiri dari buruh harian, pedagang, pegawai negeri, untuk tak menonjolkan diri. Dan dari segi agama, mereka pun tak fanatik. Ketika masjid kampung, An-Nur itu, yang dibangun pada 1930-an, mesti terkena pelebaran gang, tak ada yang mencoba mempertahankannya. Mereka memaklumi kepentingan bersama lebih daripada interes pribadi dan kelompok. "Penduduk Kebalen Kulon mempunyai sikap tanggap bersama yang jarang dipunyai kampung lain," kata Johan Silas, Kepala Laboratorium Arsitektur ITS, yang mengusulkan aar kampun ini dinilai oleh Yayasan Aga Khan. Dan bau Islam di sinimemang sesuatu yang akrab. Kaligrafi ayat-ayat Quran tertempel di atas pintu, di dinding-dinding rumah. Tiap Jumat, jalan di depan masjid pun dipakai sembahyang karena ruang masjid tak lagi cukup -- selain kena potong, juga penduduk yang bertambah. Lalu madrasah itu, yang mempunyai 8 ustad, dikelola oleh Rukun Warga sendiri. Singkat kata, inilah sebuah kampung yang napas sehari-harinya benarbenar dari warga kampung untuk warga kampung. Bagi para orang tua Kebalen Kulon, kampungnya pun kini berubah aman. Ketika keserasian hidup belum terciptakan, bau tuak dan keramaian judi hampir tiap saat tercium. Buntutnya, sudah barang tentu perkelahian dan cekcok. "Kini mabuk-mabukan sudah hilang, semua warga sudah jadi satu," kata Maxuddin. Di Jakarta, penghargaan Aga Khan jatuh pada sebuah masjid mungil, di wilayah Jakarta Pusat. Yaitu Masjid Said Na'um, di Kebon Kacang. Menurut sejumlah warga sekitar masjid ini, bangunan itu memang serasi: artinya, tak mencolok tapi terasa hadir dan memberikan napas keagamaan pada sekitarnya. Inilah hasil karya Arsitek Adhi Moersid, salah seorang direktur Atelier-6, biro arsitek yang cukup dikenal. Sebuah masjid seluas 400 m2, pada tanah 7.500 m2, bergaya arsitektur tradisional campuran gaya bangunan zaman Majapahit dan Sriwijaya, konon. Dan karena bentuk atapnya sedemikian rupa, masjid di kawasan padat dan di kota yang panas itu di dalamnya terasa sejuk. Lalu lihatlah, garis-garis atap yang membuat orang merasa akrab. TENTU, bukan sekadar masjid itulah yang membuat bangunan ini dinilai pantas dipuji. Masjid itu ternyata menjadi pusat, katakanlah pusat spiritual, dari tiga bangunan sekolah di lingkungannya: sebuah SD, sebuah SMP, dan sebuah SMA, ketiganya Islam. Dengan kata lain, masjid tak cuma menampung kegiatan keagamaan tapi kemudian berfungsi pula menjadi semacam pemberi kekuatan moral pada ketiga sekolah itu. Dan itu bisa berlangsung, sebab keseluruhan kompleks dikelola oleh lembaga yang sama, Yayasan Said Na'um. Nama Said Na'um itu sendiri memang bersejarah, yakni nama seorang Arab, yang berimigrasi ke Indonesia pada abad ke-19. Ia kemudian jadi kaya raya, lalu mewakafkan sekitar 2,2 ha tanah. Pada dulunya, tanah wakaf itu untuk dijadikan kuburan orang Arab di Betawi. Zaman berubah, peraturan berganti, kompleks kuburan itu mesti dibongkar. Agar sang hartawan dan sosiawan tak dilupakan begitu saja, Yayasan yang kemudian mengelola tanah bekas kuburan ini disebut dengan namanya. Antara lain di sebagian tanah wakaf itulah masjid dan sekolah tersebut didirikan, dengan biaya lebih dari Rp 600 juta pada 1975. Uang itu sendiri datang dari Pemda DKI Jakarta. Pantas diingat, pada 1980 lingkungan kampung sekitar masjid sudah mendapat hadiah utama dari yayasan Aga Khan pula, yakni proyek jalan kampung, yang disebut Proyek Husni Thamrin. Arsitektur memang bukan sekadar bentuk mati. Dan Yayasan Aga Khan mencoba mendakwahkan bahwa keserasian antara tempat hidup dan penghuninya adalah sesuatu yang pantas diperjuangkan. Arsitektur yang baik, kata seorang ahli, adalah yang membuat siapa pun merasa masih manusia ketika berada di dalamnya. Suhardjo, Laporan Biro Jawa Timur dan Jakarta

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus