SATU peleton Hansip, terdiri 32 orang, lengkap dengan pakaian
seragam, berbaris menuju rumah Lurah Desa Kruwisan, Parakan,
Temanggung (Ja-Teng). Di depan rumah lurah, mereka berbaris
berjejer tiga. Tanpa pemimpin -- semua mengaku pemimpin dan
bertanggung jawab. Lurah Hadi Suwarno yang mengira ada upacara
khusus, menemui barisan itu. Tanpa dikomando, sepeleton Hansip
itu berikrar bersamaan: "Mulai detik ini kami membubarkan diri
sebagai Hansip, dariPada dipermainkan dan dipermaiukan lurah."
Lantas menghormat dan membuka pakaian seragamnya: baju, celana,
sepatu, serta topi.
Hadi Suwarno bengong dan langsung masuk ke dalam rumah. Hansip
yang sudah mempreteli pakaian itu mengikuti dan duduk di lantai
sambil mengacungkan seragamnya. Hadi menerima saja pakaian itu.
Tanpa bicara apa-apa, rombongan bekas Hansip itu keluar, pulang
ke rumah masing-masing. Rata-rata mengenakan kaus singlet dan
celana kolor. Ada juga yang bertelanjang dada. Masyarakatpun
heran. "Saya kira ada maling diarak," komentar penduduk.
"Unjuk perasaan" versi Temanggung yang terjadi awal bulan lalu,
sampai kini jadi buah bibir. Hansip desa yang tak menerima gaji
itu, "sering disuruh seenaknya saja oleh lurah," kata seorang
dari mereka. Mencapai klimaks ketika Lurah Hadi memerintahkan
Hansip menangkap 5 orang anak yang dituduh mencabuti pohon
pelindung jalan. Sesuai perintah, Hansip menangkap Sisyanto,
Bawon, Somad, Sisparjo, dan Misrun. Ketika dibawa ke kantor
lurah, ternyata sang lurah tak di tempat. Hansip bingung, mau
diapakan kelima anak itu. Akhirnya dilaporkan polisi. Hasilnya,
tuduhan lurah tak terbukti. Kelima anak itu dilepas begitu saja.
Hansip jadi serba salah. Kesepakatan diambil: bubar.
"Pembubaran itu karena emosi belaka. Mental seorang Hansip harus
kuat, tak mempan godaan," komentar Lurah Hadi Suwarno. Tentang 5
orang pencabut tanaman itu, "saya melihat sendiri," katanya.
Yang jelas di desa itu kini tersedia lowongan pekerjaan untuk
menjadi Hansip.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini