Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Manusia purba dari bukit kerang

Penemuan fosil tulang manusia dan peralatan manusia pra sejarah di bukit kerang, paya rengas (1971) dipamerkan dalam bentuk foto bersama benda-benda bersejarah museum sumatera utara. (ilt)

4 Juni 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DUA ratus foto, yang dibebani tugas memperkenalkan koleksi benda bersejarah Museum Sumatera Utara di Medan, ternyata merupakan tontonan yang menarik bagi orang Binjai. Apa yang dipamerkan di ibu kota Kabupaten Langkat itu, pekan lalu, memang dapat menimbulkan kebanggaan bagi pengunjungnya: di daerah mereka ditemukan tanda-tanda kehidupan manusia purba. Puas tak puas, hanya foto-foto itulah yang berbicara. Sebab, "tak mungkin mengangkat benda aslinya," ujar Drs. E.K. Siahaan, Kepala Bidang Permuseuman P8K, Sum-Ut. "Biayanya mahal." Tapi dengan pameran foto seperti ini, tujuan perkenalan juga tercapai. Setiap hari rata-rata 3 ribu pengunjung menyaksikan pameran di Gedung Olah Raga Binjai itu -- sebagian terbesar para pelajar dan segala tingkat. Meski begitu, ada juga satu dua benda sejarah yang disajikan secara utuh. Misalnya, cap resmi Sisingamangaraja, berbagai peralatan kebudayaan Melayu, dan beberapa potong batu, bagian dari rimbas (kapak mirip pacul kecil). Yang terakhir ini erat hubungannya dengan sejumlah foto tulang manusia. Kedua jenis benda itu merupakan fosil dan peralatan manusia prasejarah, yang baru pertama kali ditemukan di Pulau Sumatera. Kisah penemuannya pun sudah tenggelam dalam sejarah. Ketika itu, 1971, E.K. Siahaan baru saja diangkat menjadi pejabat permuseuman di Sum-Ut itu. "Saya mendapat laporan, ada penduduk yang menemukan tulang manusia," tutur alumnus Unpad 1968 itu kepada TEMPO pekan lalu. Oleh penduduk Desa Paya Rengas di Kecamatan Hinai, Langkat, ditemukan dua potong tulang antara timbunan kulit kerang. Penduduk desa itu, seperti juga tetangga mereka dari Desa Sukajadi, sehari-hari menggali kulit kerang, sebagai bahan baku pembuatan kapur. Kulit kerang itu mereka peroleh dari bukit, yang membujur sepanjang 130 km, dari Langsa di Aceh Timur sampai Belawan di Sum-Ut, sejajar dengan garis pantai dalam jarak 8-10 km. Bukit yang 20 tahun lalu masih utuh, setinggi rata-rata 4 m, sejak dikenal sebagai sumber bahan baku kapur, kini tak berbekas lagi. Tapak bukit itu, sebagian digali penduduk kedua desa di tepi pantai timur Sumatera itu, dan kulit kerang itu diangkut ke Binjai untuk diolah menjadi kapur. Terangsang oleh laporan itu, Siahaan segera pergi ke Paya Rengas, sekaligus mengantar tim eksavasi yang datahg dari P&K, Jakarta. Potongan tulang itu tampak seperti tulang paha manusia. Siahaan juga melihat sejumlah batu berserakan di antara sampah kulit kerang. Batu berwarna hitam itu, tampak seperti bekas diolah manusia, hingga sisinya menjadi tajam. "Saya tertarik, karena di timbunan kerang, tak ada batu bentuk lain yang ditemukan," ujar Siahaan, yang sempat mengumpulkan 26 potong batu. Kebetulan, tak lama kemudian, ahli benda sejarah dari UGM, Dr. Teuku Jacob, berkunjung ke Medan. Siahaan menunjukkan potongan batu perolehannya kepada ahli dari Yogya itu. "Itu kapak prasejarah, Sumateralith," ujar Siahaan mengutip Jacob. Sumateralith atau kapak Sumatera, kini juga disebut kapak perimbas, yang digunakan manusia dulu sebagai alat penetak siput dan kerang. Masih di tahun 1925, seorang arkeolog Belanda, Stein van Clanefels, pernah melakukan eksavasi di Paya Rengas. Ia tak menemukan tulang. Tapi ia ada memperoleh sejumlah kapak batu seperti itu. Sebagian dibawa van Calenfels ke negerinya, selebihnya tersimpan di Museum Nasional Jakarta, dan dikenal sebagai Smateralith. Sebelum ke Medan, Siahaan pernah menjabat sebagai kepala Museum Jakarta Kota. Di situ ia sempat mempelajari laporan van Calenfels tentang penemuannya itu. Ketika Siahaan kemudian ditempatkan di Medan, ia pun memerlukan pergi ke Paya Rengas, dan mempelajari keadaan di situ. Menurut ahli itu, kemungkinan menemukan benda peninggalan purba di Sum-Ut, masih besar. Karenanya Siahaan membuat laporan ke Jakarta yang antara lain mendesak agar dikirim sebuah tim eksavasi. Sementara kedua potong tulang paha, dibawa Teuku Jacob ke Yogyakarta, untuk diteliti lebih saksama. Dari penelitian ini disimpulkan, tulang fosil itu berasal dari manusia prasejarah, yang hidup sekitar 10 ribu tahun sebelum Masehi. Dibanding fosil yang ditemukan di Pulau Jawa, fosil Paya Rengas ini masih sangat muda. Belum jelas betul dari mana asal manusia Paya Rengas purba itu. Diduga mereka bermukim di tepi pantai. Sebuah penelitian di Riau, mengungkapkan bahwa setiap tahun garis pantai maju, rata-rata sebanyak 75 cm. Menurut Suruhan Purba, B.A., Pimpinan Proyek Pengembangan Permuseuman Sum-Ut, Manusia Paya Rengas itu dari Ras Austromelasoid, yang konon hidup sebagai petani dan nelayan. Dengan meyakinkan, Purba pun membentangkan teorinya tentang cara hidup manusia purba dari Paya Rengas itu. Termasuk uraian tentang cara mereka membuang sampah dapur ke kolong rumah yang, katanya mirip rumah Suku Asmat di Irian, upacara penguburan mayat serta jenis kepercayaan yang mereka anut, sampai terbentuknya bukit kulit kerang. Semua berdasarkan penemuan dua potong tulang dan sejumlah bongkahan batu. Tapi siapa tahu, sisa kulit siput dan kerang yang dibuang ke kolong rumah, sedikit demi sedikit, akhirnya membentuk bukit kulit kerang -- membujur dari Langsa sampai Belawan!

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus