DUA ratus foto, yang dibebani tugas memperkenalkan koleksi benda
bersejarah Museum Sumatera Utara di Medan, ternyata merupakan
tontonan yang menarik bagi orang Binjai. Apa yang dipamerkan di
ibu kota Kabupaten Langkat itu, pekan lalu, memang dapat
menimbulkan kebanggaan bagi pengunjungnya: di daerah mereka
ditemukan tanda-tanda kehidupan manusia purba.
Puas tak puas, hanya foto-foto itulah yang berbicara. Sebab,
"tak mungkin mengangkat benda aslinya," ujar Drs. E.K. Siahaan,
Kepala Bidang Permuseuman P8K, Sum-Ut. "Biayanya mahal." Tapi
dengan pameran foto seperti ini, tujuan perkenalan juga
tercapai. Setiap hari rata-rata 3 ribu pengunjung menyaksikan
pameran di Gedung Olah Raga Binjai itu -- sebagian terbesar para
pelajar dan segala tingkat.
Meski begitu, ada juga satu dua benda sejarah yang disajikan
secara utuh. Misalnya, cap resmi Sisingamangaraja, berbagai
peralatan kebudayaan Melayu, dan beberapa potong batu, bagian
dari rimbas (kapak mirip pacul kecil). Yang terakhir ini erat
hubungannya dengan sejumlah foto tulang manusia. Kedua jenis
benda itu merupakan fosil dan peralatan manusia prasejarah,
yang baru pertama kali ditemukan di Pulau Sumatera.
Kisah penemuannya pun sudah tenggelam dalam sejarah. Ketika itu,
1971, E.K. Siahaan baru saja diangkat menjadi pejabat
permuseuman di Sum-Ut itu. "Saya mendapat laporan, ada penduduk
yang menemukan tulang manusia," tutur alumnus Unpad 1968 itu
kepada TEMPO pekan lalu. Oleh penduduk Desa Paya Rengas di
Kecamatan Hinai, Langkat, ditemukan dua potong tulang antara
timbunan kulit kerang. Penduduk desa itu, seperti juga tetangga
mereka dari Desa Sukajadi, sehari-hari menggali kulit kerang,
sebagai bahan baku pembuatan kapur.
Kulit kerang itu mereka peroleh dari bukit, yang membujur
sepanjang 130 km, dari Langsa di Aceh Timur sampai Belawan di
Sum-Ut, sejajar dengan garis pantai dalam jarak 8-10 km. Bukit
yang 20 tahun lalu masih utuh, setinggi rata-rata 4 m, sejak
dikenal sebagai sumber bahan baku kapur, kini tak berbekas lagi.
Tapak bukit itu, sebagian digali penduduk kedua desa di tepi
pantai timur Sumatera itu, dan kulit kerang itu diangkut ke
Binjai untuk diolah menjadi kapur.
Terangsang oleh laporan itu, Siahaan segera pergi ke Paya
Rengas, sekaligus mengantar tim eksavasi yang datahg dari P&K,
Jakarta. Potongan tulang itu tampak seperti tulang paha
manusia. Siahaan juga melihat sejumlah batu berserakan di antara
sampah kulit kerang. Batu berwarna hitam itu, tampak seperti
bekas diolah manusia, hingga sisinya menjadi tajam. "Saya
tertarik, karena di timbunan kerang, tak ada batu bentuk lain
yang ditemukan," ujar Siahaan, yang sempat mengumpulkan 26
potong batu.
Kebetulan, tak lama kemudian, ahli benda sejarah dari UGM, Dr.
Teuku Jacob, berkunjung ke Medan. Siahaan menunjukkan potongan
batu perolehannya kepada ahli dari Yogya itu. "Itu kapak
prasejarah, Sumateralith," ujar Siahaan mengutip Jacob.
Sumateralith atau kapak Sumatera, kini juga disebut kapak
perimbas, yang digunakan manusia dulu sebagai alat penetak siput
dan kerang.
Masih di tahun 1925, seorang arkeolog Belanda, Stein van
Clanefels, pernah melakukan eksavasi di Paya Rengas. Ia tak
menemukan tulang. Tapi ia ada memperoleh sejumlah kapak batu
seperti itu. Sebagian dibawa van Calenfels ke negerinya,
selebihnya tersimpan di Museum Nasional Jakarta, dan dikenal
sebagai Smateralith.
Sebelum ke Medan, Siahaan pernah menjabat sebagai kepala Museum
Jakarta Kota. Di situ ia sempat mempelajari laporan van
Calenfels tentang penemuannya itu. Ketika Siahaan kemudian
ditempatkan di Medan, ia pun memerlukan pergi ke Paya Rengas,
dan mempelajari keadaan di situ. Menurut ahli itu, kemungkinan
menemukan benda peninggalan purba di Sum-Ut, masih besar.
Karenanya Siahaan membuat laporan ke Jakarta yang antara lain
mendesak agar dikirim sebuah tim eksavasi.
Sementara kedua potong tulang paha, dibawa Teuku Jacob ke
Yogyakarta, untuk diteliti lebih saksama. Dari penelitian ini
disimpulkan, tulang fosil itu berasal dari manusia prasejarah,
yang hidup sekitar 10 ribu tahun sebelum Masehi. Dibanding fosil
yang ditemukan di Pulau Jawa, fosil Paya Rengas ini masih sangat
muda.
Belum jelas betul dari mana asal manusia Paya Rengas purba itu.
Diduga mereka bermukim di tepi pantai. Sebuah penelitian di
Riau, mengungkapkan bahwa setiap tahun garis pantai maju,
rata-rata sebanyak 75 cm. Menurut Suruhan Purba, B.A., Pimpinan
Proyek Pengembangan Permuseuman Sum-Ut, Manusia Paya Rengas itu
dari Ras Austromelasoid, yang konon hidup sebagai petani dan
nelayan.
Dengan meyakinkan, Purba pun membentangkan teorinya tentang cara
hidup manusia purba dari Paya Rengas itu. Termasuk uraian
tentang cara mereka membuang sampah dapur ke kolong rumah yang,
katanya mirip rumah Suku Asmat di Irian, upacara penguburan
mayat serta jenis kepercayaan yang mereka anut, sampai
terbentuknya bukit kulit kerang. Semua berdasarkan penemuan dua
potong tulang dan sejumlah bongkahan batu. Tapi siapa tahu, sisa
kulit siput dan kerang yang dibuang ke kolong rumah, sedikit
demi sedikit, akhirnya membentuk bukit kulit kerang -- membujur
dari Langsa sampai Belawan!
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini