ENAM puluh tahun telah berlalu. Enam puluh kali sudah bumi
beredar mengelilingi matahari, menempuh perjalanan lebih dari
56 milyar km. Jumat pekan ini peristiwa bersejarah itu
diperingati dalam suatu upacara yang berlangsung di Grand Hotel,
Lembang, tak jauh dari Bandung: HUT Peneropongan Bintang
Bosscha.
Tepatnya hari ulang tahun itu jatuh pada 1 Januari. Tapi, karena
peringatan itu direncanakan oleh Jurusan Astronomi ITB untuk
diadakan suatu Kolokia Internasional, terpaksa waktu peringatan
ditunda, kata Prof. Dr. Bambang Hidayat, direktur Peneropongan
Bintang Bosscha, kepada TEMPO.
Peringatan di awal Juni ini seperti tak berdiri sendiri. Ia
telah diawali sebuah Seminar Internasional Astronom Muda (TEMPO,
28 Mei). Acara pun berlangsung di tengah kesibukan persiapan
para astronom menghadapi gerhana matahari total 11 Juni
mendatang. Seperti belum cukup, 14 Juni nanti teropong Zeiss
raksasa becermin ganda, akan dipergunakan untuk mengamati
lintasan planet Neptunus melalui sebuah bintang. Kesempatan ini
bisa dipergunakan, untuk menentukan ada tidaknya planet besar
itu bercincin, seperti planet Saturnus, misalnya. Penutup
rangkaian peristiwa astronomis ialah pengamatan komet.
Tapi peristiwa yang terpenting, ialah kolokia itu sendiri, yang
akan membahas tema tentang bintang kembar. Tema ini sangat tepat
untuk memperingati ulang tahun Observatorium Bosscha. "Sejak
awal, tema penyelidikan bintang kembar dikembangkan di
Observatorium Bosscha," ucap Bambang Hidayat, dalam kata
sambutannya di depan peserta "Sekolah Astronom Muda" pekan lalu.
"Kami berdebar menunggu terlaksananya pertemuan ini, karena
selain membicarakan hasil mutakhir di bidan penelitian bintang
kembar, juga akan membicarakan masalah kerja sama
internasional," lanjut Bambang. Ia juga menyinggung kemungkinan
dibahas teleskop berdiameter 2 m, yang kelak diharapkan akan
ikut memperkaya peralatan di Lembang.
Peringatan rupanya tak hanya dilakukan pihak Indonesia. Beberapa
astronom asing telah lebih dulu menulis kisah Observatorium
Bosscha itu. Misalnya, "De Bosscha Sterewacht, van thee tot
sterrekunde" (Bosscha Observatorium dari teh hingga ilmu
bintang). Artikel ini dalam majalah astronomi Belanda, Zenit,
terbitan Juli/Agustus 1982, dan ditulis bersama oleh Dr. K.A.
van der Hucht dan Prof. Dr. C.L.M. Kerkhoven. Kedua astronom
Belanda terkemuka itu, masih terhitung sanak keluarga pemilik
kebun teh, yang memungkinkan didirikan Observatorium Bosscha 60
tahun lalu.
"Observatorium Bosscha di Lembang yang kini merupakan bagian
dari Institut Teknologi Bandung, adalah satu-satunya lembaga
ilmu bintang di Indonesia," tulis mereka di awal artikel itu.
"Karena letaknya di khatulistiwa, observatorium ini mampu
mengamati langit belahan utara maupun belahan selatan. Ini
merupakan keadaan yang unik. Yang menonjol ialah bahwa ia
terwujud berkat upaya swasta. Baru setelah 7 tahun kemudian ia
menerima subsidi dari pemerintah. Inisiatif pendirian
observatorium itu berasal dari dua anggota keluarga pemilik
kebun teh, yang menonjol karena kecenderungan etis dan ilmiah."
Karel Albert Kudolf Bosscha, lahir di Den Haag, 15 Mei 1865.
Ayahnya, J. Bosscha Jr., ahli fisika yang menjadi guru besar di
Akademi Militer di Breda dan direktur Sekolah Polyteknik Delft.
Ia berangkat ke Indonesia (Hindia-Belanda) dan mulai bekerja di
perkebunan Sinagar, Cibadak, milik pamannya, EJ. Kerkhoven.
Ketika Bosscha sempat berkunjung ke Negeri Belanda, 1902,
ayahnya berpesan: "Jika satu waktu engkau berhasil, Ru,
berbuatlah sesuatu bagi kemajuan penelitian astronomi di Inde
(Indonesia). Masih amat terbatas jumlah observatorium di belahan
bumi selatan!" Pesan ayahnya itu sungguh menjadi perhatian Ru
Bosscha itu.
Berikutnya, 1920, ia dan kemanakannya Ru Kerkhoven, berbicara
dengan astronom Belanda, Voute. Dalam pembicaraan itu Bosscha
menawarkan pembiayaan sebuah teleskop raksasa, yang harus setara
dengan yang dimiliki observatorium bintang modern lainnya di
zaman itu. Tahun itu juga di Bandung didirikan Himpunan Ilmu
Bintang Hindia Belanda, dan melalui himpunan ini, Bosscha
mengembangkan gagasannya mendirikan observatorium bintang.
Himpunan menyetujui observatorium itu diberi nama Observatorium
Bosscha, menghormati ayah Rudolf Bosscha, Prof. Dr. J. Bosscha
Jr, yang sebenarnya mencetuskan gagasan ini dan sejak mula
memperjuangkannya di Negeri Belanda. Observatorium Bosscha
secara resmi dibuka, 1 Januari 1923, dihadiri gubernur jenderal
waktu itu, Jenderal Mr. D. Fock. Sementara Ir. Voute diangkat
sebagai direktur pertama.
Refraktor raksasa yang beratnya 17 ton, terpasang pada 1928.
Juga dua buah teleskop, masing-masing berlensa obyektif dengan
garis tengah 60 cm, tercakup dalam satu tabung bergaris tengah
1,66 m, dengan panjang 11 m. Benda raksasa itu ditempatkan di
bawah kubah, yang bergaris tengah 15 m, yang dapat berputar ke
segala jurusan. "Baru kali ini saya saksikan konstruksi seperti
ini," ujar Dr. Morris Aizeman penuh kagum. Kepala Divisi Ilmu
Astronomi dari National Science Foundation di AS serta ketua Tim
AS untuk mengamati gerhana matahari, mengucapkan itu ketika ia
meninjau Observatorium Bosscha bersama TEMPO, atas ajakan
Bambang Hidayat.
Meski 3 Juni agak jauh dari tanggal ulang tahun peresmian
observatorium itu, hari itu juga dibuka Kolokia Internasional,
yang berlangsung hingga 7 Juni. Dan tanggal terakhir itu agaknya
berkenaan dengan tanggal peresmian pemakaian teleskop Zeiss
raksasa, yang berlangsung 7 Juni 1928, bersama dengan peresmian
pemakaian refraktor Bamberg-Schmidt. Akhirnya peringatan di awal
Juni itu tak terlalu janggal tampaknya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini