Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Karena aktivitas politik dan suara vokalnya di Volksraad, M.H. Thamrin dikucilkan Belanda.
Belanda mengerahkan pasukan polisi untuk menjaga rumah serta melarang semua orang keluar dari rumah dan menerima kunjungan.
Sambungan telepon rumah Thamrin saat itu diputus oleh pemerintah Hindia Belanda.
KAMIS sore, 8 Agustus 2024, jalan masuk Taman Pemakaman Umum Karet Bivak, Tanah Abang, Jakarta Pusat, di samping flyover Karet tak terlalu ramai. Dua-tiga petugas keamanan duduk di dekat pintu gerbang. Beberapa peziarah, warga, dan sejumlah pedagang melewati jalan itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tak sampai 100 meter dari pintu gerbang, terlihat sebuah kompleks kecil di antara permakaman besar dikelilingi tembok berkeramik putih setinggi sekitar 50 sentimeter. Terdapat 12 nisan dengan nama keluarga Thamrin, termasuk ayah Mohammad Hoesni Thamrin, Thamrin Mohammad Tabrie. Yang paling mencolok di antara 12 nisan tersebut adalah sebuah nisan berbentuk seperti tugu segi empat. Di atasnya terdapat sembilan batu berukuran sebesar kepala orang dewasa dan sebuah batu cukup besar di tengahnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di bagian dinding depan nisan tugu tertulis, “Di sini tempat beristirahat Mohammad Hoesni Thamrin”. Tak jauh dari tugu batu itu, sebuah plang bercat hijau bertulisan “Makam Pahlawan Hoesni Thamrin”. Di atas makam Hoesni Thamrin terlihat taburan bunga mawar merah. Entah siapa yang menziarahi makam ini sebelumnya. Tak jauh dari makam Thamrin, ada makam pahlawan lain, dr Mochtar Kusumaatmadja, Ketua Mahkamah Agung RI pertama.
Di tempat ini, tatkala M.H. Thamrin wafat, jenazahnya diantar ribuan orang. Bob Hering dalam buku M.H. Thamrin: Membangun Nasionalisme Indonesia menyebutkan jumlah pelayat yang mengantar jenazah Thamrin mencapai sekitar 20 ribu orang. Penguburan dengan puluhan ribu pelayat pada era itu seperti pemakaman seorang raja. Ahad pagi hingga siang hari, 12 Januari 1941, permakaman ini penuh sesak dengan para pelayat.
Surat kabar Keng Po menjadikan warta penguburan M.H. Thamrin sebagai berita kepala di halaman kedua edisi 13 Januari 1941 dengan judul “Pengoeboeran Djenazah Almarhoem Toan M.H. Thamrin”. Dua foto mewarnai halaman koran itu, yang memperlihatkan banyak orang terlihat mengacungkan tangan kanan ke depan—melakukan eere saluut saat peti jenazah hendak diberangkatkan dari depan rumah duka. Satu foto lagi memperlihatkan Ketua Volksraad atau Dewan Rakyat, Jan Anne Jonkman, dan beberapa anggota Volksraad menunggu di permakaman. Koran ini juga menuliskan berita kematian M.H. Thamrin pada hari ketika ia meninggal.
Dalam berita itu dituliskan rumah gedongan yang sederhana untuk orang sekelas M.H. Thamrin digambarkan penuh sesak dengan orang yang melayat dan mengantar jenazah. “...berjoebel-djoebel, sembari bertjoetjoeran keringat, sedeng aken bergerak poen soesah,” demikian ditulis Keng Po.
Jenazah M.H. Thamrin sebelum dimakamkan di Jakarta, 1941./KITLV
Tak jauh dari rumah duka, di trotoar jalan dekat jalur trem Bataviasche Verkeers Maatschappij atau BVM, juga banyak orang berdesak-desakan, tak mempedulikan panas matahari yang mulai naik pada pukul 07.30. Ribuan orang itu membuat daerah Sawah Besar yang jalannya begitu lebar menjadi sangat sesak. Lalu lintas terganggu sehingga diperlukan penjagaan polisi yang ketat. “…sesoeatu hal yang selama ini ampir tida pernah terdjadi. Toea-moeda lelaki-prampoean dari baji yang digendong sampe nenek-nenek ada disana.”
Satu dari puluhan ribu orang yang ikut melayat itu adalah ayah Yasmine Zaki Shahab, guru besar antropologi Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat. “Waktu itu ayah saya ikut berdesak-desakan melayat. Ada ribuan orang katanya. Tak putus orang dari Sawah Besar sampai Karet,” tutur Yasmine. Dia menceritakan ayahnya ikut melayat bersama ribuan orang menuju Karet. Rumah keluarganya di daerah Jalan Sumantri yang kini menjadi Jalan Mangga Besar IV, Jakarta Pusat, juga tak jauh dari rumah mendiang Thamrin.
Keng Po juga menuliskan semua tamu diterima oleh Slamet Soedibjo, Soetan Mohamad Sjah, dan Tuan Lesiangi. Jenazah Thamrin dibawa ke masjid untuk disalatkan. Jenazah dikeluarkan dari rumah, lalu pasukan Padvinders Surya Wirawan berbaris dari depan rumah hingga ke jalan besar sambil memberikan eere saluut yang diperintahkan pemimpin mereka. Kemudian orang-orang menirukannya. Beberapa dari mereka menangis tersedu-sedu hingga bercucuran air mata. Pada pukul 08.30, kereta berangkat dipimpin Tuan Soebekti melalui rute yang sudah ditentukan, dari Sawah Besar, Molenvliet Oost, Harmonie, Rijswijstraat, Tanah Abang W., Tanah Abang Heuvel, sampai Karet Weg.
Puluhan ribu orang tiada putus menyemut dari Sawah Besar hingga tempat peristirahatan terakhir tokoh bangsa itu. Kehilangan tokoh sekelas Thamrin tak hanya dirasakan orang Jakarta yang saat itu masih bernama Batavia. Menurut harian Keng Po, bus datang dari wilayah Jawa Barat, seperti Bogor, Sukabumi, Bandung, dan Cianjur. Mobil para tamu ikut mengantar jenazah yang dibawa dengan sebuah kereta yang ditarik dua ekor kuda. Rasa kehilangan juga ditunjukkan dengan banyaknya telegrammen, surat duka, dan 110 karangan bunga dari para teman dan kolega politiknya. Di antaranya dari perkumpulan pelajar di Kairo, Perpindo, dan kolega dari dalam dan luar negeri. Termasuk dari pimpinan Volksraad dan para anggota lembaga dewan rakyat itu.
Peti mati ditutup dengan bendera Partai Indonesia Raya (Parindra). Kereta kematian juga digambarkan penuh dengan bunga belasungkawa. Di belakang barisan anggota Parindra, beriringan keluarga Thamrin, autoritelten, barisan perempuan, dan mobil-mobil yang tidak sedikit jumlahnya. Bahkan warga Eropa pun ikut keluar menyaksikan penguburan itu. Satu di antaranya adalah Bob Hering, yang kelak menulis buku biografi M.H. Thamrin. Trem lin Tanah Abang penuh dengan orang. Saking banyaknya, semua penumpang digratiskan karena kondektur susah bergerak menagih bayaran. Rute tersebut bukan rute pendek. Menembus lautan manusia, kereta jenazah baru tiba di Karet pada pukul 11.15 dan sudah ditunggu ribuan orang.
•••
MENINGGALNYA Mohammad Hoesni Thamrin boleh dikatakan cukup mengejutkan banyak pihak. Sebelumnya, Thamrin diberitakan menjadi tahanan rumah oleh pemerintah Belanda. Sejumlah buku menyebutkan Thamrin mulai ditahan pada 6 Januari 1941. Tapi keterangan ini dibantah oleh cucu Mohammad Hoesni Thamrin, Diennaryati Tjokrosuprihatono dan Akbar Chasany. “Bukan tanggal 6, tapi mulai 9 Januari,” tutur Dieny—sapaan Diennaryati Tjokrosuprihatono—kepada Tempo. Dalam buku M.H. Thamrin: Membangun Nasionalisme Indonesia karya Bob Hering, pada halaman 394, dijelaskan bahwa Thamrin mengalami demam tinggi beberapa hari sebelum kematiannya.
Dieny menceritakan hal tersebut dari penuturan ibunya, Deetje Zubaidah, yang saat itu masih 13 tahun. Saat itu Belanda menahan Thamrin yang sudah merasa tidak enak badan. Meskipun Thamrin dalam keadaan sakit, kepolisian Belanda (TID) masih saja menggeledah rumahnya dan melarang semua orang keluar dari rumah.
“Kata Ibu dulu hanya seperti flu, masuk angin saja. Beliau juga masih bisa menegur, menghalangi polisi Belanda yang juga melarang Ibu pergi sekolah. Itu tanggal 10 Januari,” ucap Dieny. Jangka waktu Thamrin menjadi tahanan rumah hingga meninggal boleh dikatakan sangat singkat.
Keluarga M.H. Thamrin di sekitar jenazahnya: dr Marzuki Mahdi, Rusdi Thamrin, Supinah (istri Marzuki Thamrin), Sarah Thamrin (adik M.H. Thamrin), dr. Abdul Aziz Martam (anak Moeainoen Thamrin), Mansoer Thamrin, Otoh Arwati, Ma'mun Thamrin, dan H. Abdillah Thamrin, 1941./KITLV
Di buku Mohammad Hoesni Thamrin: Berjuang untuk Rakyat terbitan Dinas Museum dan Sejarah (1996), berdasarkan pengakuan Deetje Zubaidah, beberapa hari sebelum Thamrin meninggal, ia menjumpai ayahnya sepulang sekolah. Ayahnya tampak kurang sehat. Jika sedang di rumah, Thamrin akan menunggu putrinya di meja makan. Ayahnya tidak ke kantor hari itu karena kurang sehat. Ibunya mengambilkan makanan dan Deetje menyuapi sang ayah. Ayahnya mengatakan tak mau memanggil dokter Asikin, dokter keluarga mereka, karena sakitnya belum parah.
“Besok saja, katanya.” Hari itu, 10 Januari 1941, kira-kira pukul 03.00, rumah mereka digedor pasukan Belanda. Deetje kaget dan melompat dari tempat tidur. Mereka mengatasnamakan Ratu Wilhemina agar pintu dibuka. Masuklah mereka dengan bayonet terhunus.
Para polisi Belanda itu berkeras menggeledah rumah Thamrin. Mereka mengatakan hal itu harus dilakukan karena mendapat informasi bahwa Thamrin menjelek-jelekkan pemerintah Belanda. Semua isi rumah diaduk-aduk, dari ruang kerja hingga kamar stensilan. Isi lemari pakaian berserakan tak karuan. Semua diobrak-abrik tanpa ampun, tapi mereka tak menemukan apa yang dicari. Setelah itu, sebagian dari para polisi tersebut pergi, sebagian lagi tetap berjaga.
Tak seorang pun boleh keluar-masuk, kecuali pembantu. Deetje yang berusia 13 tahun juga tak diperbolehkan masuk sekolah. “Sampai Ayah benar-benar marah dan membentak mereka. ‘Ini anak tidak tahu apa-apa, dia masih kecil, dia harus sekolah’.” Satu-satunya alat komunikasi, telepon rumah, saat itu juga diputus. Padahal kondisi Thamrin sedang sakit.
Penahanan Thamrin diduga berkaitan dengan kekritisannya di Volksraad. Bisa dikatakan ia adalah duri dalam daging bagi Belanda. Thamrin adalah politikus intelek yang licin dan cukup kritis. Ia dengan pedas mengkritik kebijakan-kebijakan Belanda dan membuat gerah mereka. Ia juga cukup lantang mengusulkan kebijakan-kebijakan untuk rakyat Hindia Belanda.
Dalam Keng Po edisi 17 Januari 1941, pada lembaran halaman kedua, terdapat sebuah artikel berjudul “Volksraad Memperingetin Marhoem Thamrin”. Dalam tulisan itu, diceritakan Thamrin memasuki dunia politik pada 1927 hingga menjadi salah satu anggota Volksraad yang kritis. Pada 1935, dengan bantuan Boedi Oetomo, ia terpilih menjadi perwakilan Volksraad Jawa Barat dan pada 1939 terpilih lagi sebagai wakil dari Parindra. Di Volksraad, ia selalu menyulut perdebatan. Ia menjadi pemimpin karena bisa angkat bicara dengan terang. Dalam tiap pembahasan penting, ia selalu mengambil bagian. Jika ia tampil ke depan, semua orang terpaku mendengar tuturannya. Dalam buku Bob Hering, dituliskan anggota Indische Katolieke Partij, P.A. Kerstens, yang menjadi kolega Thamrin di Volksraad sejak 1935, pada 16 Januari 1941 memuji mendiang Thamrin dengan lebih murah hati.
Di luar Volksraad, pengaruh Thamrin juga makin besar lewat Parindra. Ia dikenal sebagai sosok yang cakap dan luar biasa karena mempunyai tujuan politik yang tajam dan semangat juang. Belanda juga curiga ia mulai melakukan kerja sama dengan pihak Jepang guna melawan mereka.
Makam Mohammad Hoesni Thamrin di Tempat Pemakaman Umum Karet Bivak, Jakarta, 8 Agustus 2024/Tempo/M Taufan Rengganis
Belum lagi ia juga punya jaringan internasional yang membuat Belanda kerepotan. “Kegerahan pemerintah Kolonial sudah lama, tapi dia boleh dikatakan licin, ya. Karena itu, Belanda mengerahkan TID untuk menyingkirkan tokoh-tokoh yang dianggap radikal. Thamrin ini posisinya kan kuat, tak mudah disingkirkan,” ujar sejarawan JJ Rizal. Telik sandi Belanda kemudian memanfaatkan konflik Thamrin dengan koleganya dan mereka dituduh merencanakan makar. “Ini bagian konspirasi TID,” ucapnya.
Dalam banyak buku literatur lain, disebutkan ada penyebab lain yang memicu kecurigaan Belanda ihwal dugaan makar Thamrin. Saat hari ulang tahun Ratu Belanda, semua warga diperintahkan mengibarkan bendera Belanda. Tapi saat itu Thamrin tidak mengibarkan bendera. Sebagian sejarawan berpendapat mungkin Thamrin tak mengibarkan bendera karena lupa. JJ Rizal, misalnya, mengatakan tak mungkin Thamrin sengaja mengabaikan peristiwa itu. Thamrin sangat menyadari bahwa dia adalah target TID.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Hari-hari Akhir Macan Volksraad"