Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
LAPANGAN sepak bola bersejarah itu kini nyaris tak dikenali lagi. Papan petunjuk bertulisan “Stadion VIJ” dari pemerintah DKI Jakarta di Jalan Biak, Kelurahan Cideng, Jakarta Pusat, tak langsung mengarah ke lapangan yang pernah menjadi tempat bermain sepak bola M.H. Thamrin, Sukarno, dan Otto Iskandar Dinata itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Stadion itu telah terjepit berbagai bangunan di sekitarnya. Di halaman stadion, deretan mobil penduduk setempat terparkir di atas jalan beraspal yang sudah rusak. Di sisi utara, beberapa bangunan menempel pada tembok pagar stadion selebar 70 meter. Beberapa sisi tembok tampak pecah. Di sisi barat, tembok terluar stadion hanya berjarak 3-4 meter dari hunian padat penduduk. Di sisi timur, tembok stadion sudah menyatu dengan bangunan tinggi pertokoan yang jendela belakangnya berterali besi. Pandangan dari tribun tak seluas seperti gambaran dalam foto-foto pada masa lapangan itu dipakai Voetbalbond Indonesia Jacatra (VIJ) pada 1930-an.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rumput di lapangannya sudah kering. Beberapa petugas tampak memangkasnya dengan dua alat potong rumput gendong dan dorong pada Kamis, 8 Agustus 2024. Lapangan bagian tengah dan depan gawang gundul. Rumput jepang dan rumput gajah tak lagi berbatas. Tak ada garis putih layaknya lapangan sepak bola, apalagi titik putih tempat pertandingan biasa dimulai. “Orang-orang yang main di sini sudah hafal batasnya,” kata Sahala Urung Sinaga, pelaksana tugas Kepala Stadion VIJ.
Stadion ini adalah jejak perjuangan M.H. Thamrin di ranah sepak bola. Melalui stadion inilah lahir VIJ, yang nantinya menjadi Perserikatan Sepak Bola Seluruh Indonesia Jakarta atau Persija Jakarta.
Semuanya bermula dari diskriminasi Belanda terhadap pemain sepak bola pribumi di Batavia pada 1920-an. Pada masa itu sudah muncul beberapa klub pribumi, seperti Ster, Setiaki, Cahaya Kwitang, Rukun Setia, Setia Utama, dan Gang Solitude. Namun mereka tak dapat bermain di lapangan yang sudah dikuasai klub-klub Belanda. Voetbalbond Batavia en Omstreken (VBO), perserikatan sepak bola Belanda di Batavia, juga menolak kaum pribumi berkompetisi dengan mereka karena dianggap tidak sekelas.
Stadion Voetbalbond Indonesische Jacatra atau VIJ di Petojo, Gambir, Jakarta Pusat, 8 Agustus 2024. TEMPO/M Taufan Rengganis
Pada 1927, terjadi kebakaran besar di Gang Bunder, Pasar Baru, Batavia. Ster dan Setiaki berencana menggelar pertandingan amal untuk membantu korban kebakaran. Masalah muncul karena mereka tidak punya lapangan untuk bertanding.
Mereka lalu mencoba meminjam lapangan Deca Park, yang kini menjadi Lapangan Monumen Nasional atau Monas. Lapangan tersebut milik Hercules, anggota VBO dan salah satu klub sepak bola terkemuka saat itu. Menurut Ario Yosia dkk dalam Gue Persija (2014), rasa kemanusiaan Hercules terketuk dan dia mengizinkan mereka memakai lapangan itu, meskipun mendapat peringatan keras dari VBO.
Pentolan klub Ster dan Setiaki lalu mendatangi lapangan itu. Seorang penjaga lapangan hanya meminta mereka membaca pengumuman di pintu masuk lapangan yang berbunyi “Verboden voor Inlander en Honden” (pribumi dan anjing dilarang masuk).
Pada tahun itu, Thamrin baru masuk Volksraad menggantikan Soetomo. Namun, “Ia sudah melihat pribumi susah kalau main bola. Thamrin mulai melihat sepak bola sebagai medium yang efektif untuk menghimpun pemuda sekaligus menyemai semangat kebangsaan,” kata sejarawan Erwien Kusuma pada Jumat, 9 Agustus 2024.
Kongres Pemuda pada 28 Oktober 1928 menjadi momentum bagi gerakan pemuda di ranah sepak bola. Alie Soebrata, Ketua Ster, dan Soeri, Ketua Setiaki, serta sejumlah petinggi klub lokal pribumi lain, seperti Hamid dan Asra, bersepakat bahwa perserikatan sepak bola bisa menjadi saluran untuk menyuarakan semangat persatuan dan terlibat dalam pergerakan nasional. Sebulan seusai Kongres, terbentuklah Voetbalbond Boemipoetra (VBB).
Usia VBB tak lama karena banyak perbedaan pendapat setelah sejumlah klub ikut bergabung. Pada 30 Juni 1929, VBB berganti nama menjadi Voetbalbond Indonesia Jacatra. Nama “Indonesia” dan bendera Merah Putih digunakan untuk memperkuat nasionalisme organisasi ini. Persatuan Medan Sport, satu-satunya anggota yang tak setuju terhadap penggunaan nama “Indonesia”, memutuskan keluar dari VIJ.
Menurut artikel “Riwayat 10 Tahun VIJ” di surat kabar Pemandangan edisi 20 September 1938, sejumlah pengurus VIJ berkeinginan serikat-serikat sepak bola terbentuk di seluruh Indonesia, seperti di Bandung, Mataram, Solo, dan Surabaya. Pandangan progresif ini menarik perhatian Soeratin Sosrosoegondo, yang sedang menggagas pendirian Persatoean Sepakraga Seloeroeh Indonesia (PSSI).
Soeratin dan para tokoh sepak bola Yogyakarta lain datang ke Batavia untuk menemui pengurus VIJ pada awal Maret 1930. Namun Thamrin tidak ada. Soeratin hanya bertemu dengan beberapa pengurus VIJ, seperti Soeri dan Soekardi, di hotel kecil Binnenhof di Jalan Kramat 17 dan berhasil meyakinkan mereka untuk terlibat dalam pendirian PSSI.
PSSI akhirnya berdiri dalam pertemuan di Societeit Hande Projo, Yogyakarta, pada 19 April 1930. Selain VIJ, enam perserikatan sepak bola bergabung, seperti Bandoengsche Indonesische Voetbalbond, Indonesische Voetbalbond Magelang, Madioensche Voetbalbond, Soerabajasche Indonesische Voetbalbond, Vorstenlandsche Voetbalbond Soerakarta, dan Persatuan Sepakbola Mataram Yogyakarta. Mata-mata kepolisian Belanda (PID) mengawasi pertemuan itu dan mencurigainya sebagai gerakan politik menentang pemerintah Hindia Belanda.
Sementara itu, kompetisi antar-klub pribumi di Batavia mulai muncul. Thamrin sering hadir dalam sesi latihan dan kompetisi sepanjang 1928-1930 di Lapangan Brandweerkazerne, Cideng. Sebagai anggota Dewan Kota Batavia dan kemudian Volksraad, Thamrin banyak berbicara tentang gerakan Soeratin dan rencana pembentukan PSSI serta diskriminasi terhadap kaum pribumi dalam sepak bola, termasuk pemecatan pemain VIJ oleh perusahaan Belanda karena mengikuti kompetisi sepak bola pribumi. Namun suaranya tak didengarkan.
Thamrin geram. Ia menerima permintaan VIJ membuat lapangan sendiri. Dalam peringatan ulang tahun VIJ pada Oktober 1930, ia mengumumkan pembelian tanah di kawasan Cideng dengan merogoh kocek senilai 2.000 gulden. Tanah yang berjarak sekitar 3 kilometer dari Lapangan Monas itu digunakan untuk membangun stadion yang layak dan menjadi tempat latihan VIJ.
Thamrin masuk jajaran Dewan Direksi VIJ. Ia bekerja sama dengan S. Sastroamidjojo, Soewandi, dan Iskandar Brata. Dalam kepengurusan, ada Soeri, Soekardi, Soerodjo, Alie, Sujadi, Asra, Hendro, dan Moh. Sani. Posisi Thamrin sebagai pelindung membuat hubungan VIJ dengan pergerakan nasional makin kuat.
Ketika VIJ mulai menggulirkan kompetisi di tingkat lokal, Soeratin dan PSSI mulai memiliki kesadaran bahwa kompetisi bisa menjadi senjata untuk membuka mata Nederlandsch Indische Voetbalbond (NIVB), induk organisasi sepak bola Hindia Belanda yang menjadi anggota Federasi Asosiasi Sepak Bola Internasional (FIFA) pada 24 Mei 1924. Namun tidak mudah menggelar kompetisi di zaman penjajahan.
Dari catatan yang tertuang dalam buku Soeratin Sosrosoegondo: Menentang Penjajahan Belanda dengan Sepak Bola Kebangsaan (2014) karangan Eddi Elison, PSSI harus meminta semua perserikatan yang menjadi anggota menggelar kompetisi internal dulu. Setelah terbentuk tim, masalah baru muncul ketika PSSI melihat tak semua anggotanya memiliki lapangan. Arena yang sudah berdiri di kota-kota besar, seperti Batavia, Bandung, dan Solo, dikuasai Belanda sehingga PSSI tidak mungkin menggelar kompetisi di sana.
Kendala lain adalah banyaknya pemain pribumi yang terlibat dalam klub Belanda dan berkompetisi di bawah NIVB. Jika pemain NIVB itu ikut bertanding dalam kompetisi PSSI, mereka mesti siap-siap dipecat. “Penguasa saat itu mulai khawatir terhadap kesadaran orang-orang pribumi yang mulai muncul lewat olahraga, terutama sepak bola,” ujar Erwien Kusuma.
NIVB juga berkoar-koar bahwa PSSI adalah organisasi yang amburadul, tidak teratur, dan pengurusnya tidak mampu berorganisasi. Di tengah tekanan semacam itu, PSSI tetap menggelar kompetisi pertamanya di Kota Solo sebagai jalan tengah atas masalah keuangan yang mendera klub-klub anggotanya. Laga tidak berlangsung di stadion, melainkan di alun-alun kota pada 1931.
VIJ mendapat giliran menjadi tuan rumah kompetisi pada tahun berikutnya. NIVB melarang pemain-pemainnya turun di kompetisi tersebut. Tim Batavia, Madiun, dan Yogyakarta tampil di babak final yang berlangsung di Stadion VIJ.
Tiga pertandingan digelar pada 14-16 Mei 1932 di Stadion VIJ. Laporan Pandji Poestaka edisi 24 Mei 1932 merekam keterlibatan sejumlah tokoh nasional di sana. Sukarno, yang baru bebas dari penjara Sukamiskin, membuka pertandingan antara VIJ dan Persatuan Sepakbola Mataram. Ia dibawa Thamrin untuk menyiasati tuduhan ikut berpolitik lagi. Namun kehadirannya justru membuat masyarakat mengetahui bahwa Sukarno telah kembali.
“Thamrin ingin menunjukkan kepada Sukarno bahwa ada massa yang mendukung pergerakan. Rakyat juga tahu Sukarno sudah kembali. Thamrin cerdik sekali karena dia melihat pergerakannya bisa menjadi efektif lewat sepak bola,” tutur Erwien.
Seusai laga tim Semarang melawan tim Madiun dan tim Mataram versus tim Batavia, Thamrin dan sejumlah tokoh pergerakan turun dalam pertandingan persahabatan. Pandji Poestaka menyebutnya pertandingan “jago-jago kolot”. Laga ini disebut-sebut berlangsung atas inisiatif Thamrin.
Thamrin berada di kesebelasan A bersama Abdoelrachman, Dachlan Abdoellah, dr Kajadoe, A. Yi Soeradi, Mokoginta, I. Brata, Moehyidin, Hadi, L. Djajadiningrat, dan Soewandi. Kesebelasan B diisi Otto Iskandar Dinata, dr Soeratmo, dr Boentaran, K. Atmadja, Oto Soebroto, Saeroen, Parada Harahap, Moeh. Jatim, Soedono, I. Wiriatmadja, dan Soetardjo.
Ketika mereka masuk ke gelanggang, ribuan penonton menyambut dengan tepuk tangan meriah, sorak-sorai, dan tawa tiada henti. Duel dua kesebelasan ini justru terlihat sebagai pertandingan inti. Menurut Pandji Poestaka, masyarakat yang tadinya belum pernah melihat orang bermain sepak bola pada hari itu sengaja datang buat melihat mereka.
Pertandingan berlangsung hanya 15 menit dan hasilnya imbang tanpa gol. Setelah sama-sama berlaga, para “jago kolot” itu meriung sambil menyelonjorkan kaki di lapangan.
Diennaryati Tjokrosuprihatono, cucu Thamrin, bercerita bahwa di Stadion VIJ ada ruangan yang juga digunakan untuk melakukan pertemuan selepas pertandingan sepak bola. Menurut dia, Thamrin kerap memakai ruangan itu untuk berunding dan mengatur strategi pergerakan sehingga tak terpantau mata-mata Hindia Belanda. “Kalau orang biasanya main golf, dia main bola. Makanya orang enggak curiga, padahal dia mengatur strategi pergerakan,” kata Diennaryati, yang biasa disapa Dieny Tjokro.
Pertandingan para “jago kolot” itu, menurut sejarawan JJ Rizal, menjadi tradisi. Ada yang menyebutnya “perserikatan sepak bola elite politik” yang beranggotakan dua klub, yaitu Si Kurus yang dipimpin Otto Iskandar Dinata dan Si Gemuk di bawah Thamrin. Otto, sahabat Thamrin di Volksraad dan di awal pembentukan VIJ, adalah representasi sepak bola Bandung, sementara Thamrin mewakili sepak bola Batavia. “Grup ini selalu bermain seperti tim bintang di pembukaan turnamen sepak bola,” ucap Rizal.
Kesuksesan PSSI menggelar kompetisi di Batavia membuat antusiasme perserikatan di daerah meninggi. Pada 1933, kompetisi musim ketiga berlangsung di Kota Surabaya. Soeratin berhasil membuat J.C.J. Mastenbroek, pengurus NIVB dan kenalan lamanya, tak habis pikir. VIJ, yang diisi pemain pribumi dan binaan PSSI, mampu menjadi juara dengan menyisihkan tim Surabaya dan Bandung, dua tim yang diperkuat banyak pemain berkulit putih binaan NIVB. Mastenbroek terpukul oleh fakta itu, tapi secara sportif mengakui kemajuan PSSI dalam menggelar kompetisi dan membina pemain muda.
Bagi Rizal, Thamrin berhasil membangun sepak bola modern di Indonesia. Ia juga berperan penting dalam pergerakan lewat usahanya membentuk VIJ. VIJ menjadi perkumpulan sepak bola pertama yang menggunakan nama “Jakarta”, bukan “Batavia”, dan memakai kata “Indonesia”, yang saat itu bisa mengundang represi dari pemerintah Hindia Belanda. “VIJ bisa mendorong dibentuknya perkumpulan sepak bola yang bersifat nasional. Visinya bukan sekadar olahraga, tapi alat perjuangan nasional,” ujarnya. Hasilnya, VIJ pada akhirnya memang memantik kelahiran perkumpulan sepak bola di daerah hingga pembentukan PSSI.
Jejak sejarah itu kini nyaris sirna bersamaan dengan hampir lenyapnya Stadion VIJ. Stadion itu kini telah menjadi cagar budaya. Unit Pengelola Gelanggang Jakarta Pusat Dinas Pemuda dan Olahraga DKI Jakarta menjadi pengelola stadion dengan panjang 110 meter dan lebar 70 meter ini. Lebar itu berkurang seiring dengan pembangunan rumah-rumah toko di sisi timur.
Meskipun demikian, lapangan ini masih dibuka bagi warga yang ingin bermain sepak bola dengan biaya sewa Rp 400 ribu per satu setengah jam. “Masyarakat juga sering meminjam untuk acara seperti 17 Agustus,” tutur Sahala Urung Sinaga, pengurus stadion ini.
Alih-alih menampilkan sejarah VIJ sebagai cikal bakal Persija, bagian depan stadion justru dihinggapi bangunan semipermanen dengan logo Irvida FC yang sudah kosong. Sebagai cagar budaya, stadion ini tak punya petunjuk sejarah apa pun.
“Tidak ada tanda apa pun bahwa Sukarno pernah datang untuk melakukan kickoff. Tidak ada petunjuk itu adalah stadion berstandar internasional pertama di Jakarta,” ucap JJ Rizal. “Peran Thamrin penting untuk mewujudkan gagasan Sukarno yang mau semua orang terlibat dalam pergerakan, termasuk dari olahraga.”
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Gerilya di Lapangan Sepak Bola"