Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PULUHAN toko onderdil mobil berbaris di muka Wisma Sawah Besar, Jalan Sukarjo Wiryopranoto, Gambir, Jakarta Pusat, Senin, 5 Agustus 2024. Sekilas, suasana di gedung tiga lantai itu mirip pasar. Bedanya, barang yang dijajakan adalah suku cadang mobil.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Beragam onderdil, dari kepala lampu, lampu belakang, spion, sampai setir mobil, disajikan di kios-kios tersebut. Ada pula beberapa jenis suku cadang lain yang digantung di depan kios di atas tumpukan kardus.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut catatan sejarah, sebelum berdiri bangunan Wisma Sawah Besar atau Muzatek Jaya Building, lokasi itu dulu adalah kediaman Mohammad Hoesni Thamrin yang megah. Namun jejak bangunan bekas rumah M.H. Thamrin itu kini sudah tak ada lagi.
Kondisi bangunan di bekas lokasi rumah Thamrin itu pun sangat memprihatinkan. Lantai 2 dan 3 gedung itu sudah kosong. Tembok dan kacanya bolong-bolong. Pun pada lantai 3, sebagian atapnya sudah raib. Di belakang gedung, kerusakannya lebih parah. Sebagian besar temboknya sudah bolong-bolong.
Lalu beberapa bagian bangunan sudah ditumbuhi pohon, termasuk di bagian atapnya. Aspal jalan masuk di depan bangunan itu sudah terkelupas hingga berlubang-lubang menyisakan kerikil yang berserak.
Sebuah papan pengumuman berukuran sekitar 2 x 2 meter setinggi 4 meter tertancap di belakang lahan gedung. Isi pengumumannya, bangunan milik Muzatek Jaya ini telah disegel oleh Dinas Penataan Kota Provinsi DKI Jakarta sejak 1 Juli 2015 karena tidak memiliki sertifikat laik fungsi alias tidak layak huni.
Akmal, 64 tahun, warga setempat, menyebutkan lokasi Wisma Sawah Besar itu dulu rumah M.H. Thamrin yang luas dan megah. Menurut cerita orang tuanya, luas lahan dan bangunannya mencapai sekitar 6.000 meter persegi. “Katanya dulu bentuknya kayak rumah atau vila Belanda gitu. Besar sekali,” ucap Akmal mengenai gambaran rumah Thamrin yang diceritakan orang tuanya.
Cucu Mohammad Hoesni Thamrin, Diennaryati Tjokrosuprihatono, membenarkan penjelasan Akmal tersebut. Menurut cerita yang ia dapat dari ibunya, Deetje Zubaidah, lokasi Wisma Sawah Besar adalah rumah M.H. Thamrin ketika sudah menikah hingga tutup usia.
“Namun entah bagaimana rumah itu bisa beralih kepemilikan. Sangat disayangkan,” ujar Dieny—sapaan akrab Diennaryati—ketika ditemui Tempo di kediamannya di Kebon Jeruk, Jakarta Barat, Rabu, 24 Juli 2024.
Guru besar antropologi Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat, Yasmine Zaki Shahab, juga membenarkan informasi soal lokasi rumah M.H. Thamrin tersebut. Sebagai penulis buku Mohammad Hoesni Thamrin: Merekam Prestasi Menguak Representasi yang terbit pada 2018, Yasmine mengantongi sejumlah data dan jejak kehidupan Thamrin.
Muzatek Jaya Building di Jakarta, 9 Agustus 2024/TEMPO/Subekti.
Fakta lain, Yasmine menemukan cerita keberadaan rumah ayah M.H. Thamrin, Thamrin Mohammad Tabrie, yang tak jauh dari bangunan Wisma Sawah Besar itu. Rumah itu berada di seberang bangunan pasar onderdil tersebut. Tepatnya di Jalan Wedana.
“Rumahnya tepat di mulut gang. Sempat jadi rumah sakit bersalin, kini jadi ruko,” kata perempuan 75 tahun itu ketika berbincang dengan Tempo melalui aplikasi Zoom pada Selasa, 23 Juli 2024.
Yasmine menjelaskan, sejumlah pihak meyakini di rumah itulah M.H. Thamrin serta saudara-saudaranya lahir dan tumbuh. Pemberian nama Jalan Wedana bukan tanpa sebab. Dulu Thamrin Mohammad Tabrie sempat berkarier sebagai wedana di Batavia.
Wedana adalah sebuah jabatan dalam sistem administrasi di era kolonial Belanda. Posisi wedana/kawedanan berada di bawah bupati/kabupaten. Saat itu wedana adalah posisi tertinggi kedua yang bisa diisi oleh kaum pribumi. Cakap saja tak cukup untuk menduduki jabatan tersebut. Ia harus punya latar belakang keluarga yang terpandang.
Wedana Thamrin Mohammad Tabrie memang bukan orang sembarangan. Sebelum menjadi wedana, ia menjabat adjund hoofd djaksa atau wakil kepala jaksa di laandraad atau pengadilan untuk kaum pribumi.
Selain memiliki jabatan yang mentereng, Thamrin Mohammad Tabrie berasal dari keluarga berada. Secara biologis ia adalah anak seorang Residen Batavia asal Inggris bernama Schnell. Schnell kawin dengan perempuan pribumi bernama Nuraeni hingga lahirlah Thamrin Mohammad Tabrie di Batavia pada 10 September 1860.
Semula Schnell dan Nuraeni menamai anak lelaki mereka Thomson. Schnell punya niat besar memboyong putranya ke Inggris demi mendapat legalitas status anak. Namun impian itu buyar karena Schnell meninggal saat Thomson masih berusia 10 tahun.
Sejak saat itu, Thomson diasuh oleh pamannya, Mohammad Tabrie, yang kala itu bekerja sebagai jaksa untuk pengadilan kaum pribumi. Tabrie yang merupakan adik kandung Nuraeni lantas mengubah nama Thomson menjadi Thamrin.
Cucu M.H. Thamrin, Akbar Chasany, mengatakan Tabrie kala itu ingin menjadikan Thamrin sebagai “anak pancingan”. Sebab, saat itu Tabrie dan istrinya belum juga dikaruniai anak.
Setelah mengangkat Thamrin, Tabrie dan istrinya dikaruniai tiga anak bernama Murdan, Mohammad Sapri, dan Ain. Meski begitu, Tabrie masih memperlakukan Thamrin dengan sangat baik. “Termasuk mencantumkan namanya pada nama Thamrin menjadi Thamrin Mohammad Tabrie,” tutur pria yang kerap disapa Sany itu.
Siswa pribumi Koning Willem III Weltevreden tempat Mohammad Hoesni Thamrin bersekolah di Batavia tahun 1919 1920/Collectie Stichting Nationaal Museum van Wereldculturen
Setelah dewasa, Thamrin Mohammad Tabrie menikah dengan Noerhamah, anak pasangan Soeaib dan Aminah. Noerhamah juga bukan perempuan biasa. Sebab, Soeaib adalah anak Ort van Delden yang ketika itu menjadi salah satu orang kaya di Batavia. Ort adalah pengusaha mebel dan pemilik Hotel Ort di Jalan Raya Molenvliet, yang sekarang dikenal sebagai kawasan Petojo, Jakarta Pusat.
Thamrin Mohammad Tabrie dan Noerhamah kemudian dikaruniai 12 anak. Sayangnya, hanya tujuh yang bertahan hidup hingga dewasa. Ketujuh anak itu adalah Moeainoen binti Thamrin (1883-1908), Mohammad Ma’mun Thamrin (1892-1962), Sarah Thamrin (1893-1955), Mohammad Hoesni Thamrin (1894-1941), Abdillah Thamrin (1895-1964), Abdul Fatah Thamrin (1896-1969), dan Mohammad Mansoer Thamrin (1899-1971).
Thamrin Mohammad Tabrie dan Noerhamah membesarkan anak-anak mereka dengan standar priyai. Berkat sokongan warisan dari Schnell dan Ort van Delden, ditambah jabatan wedana, anak-anak Thamrin dan Noerhamah mendapat hak yang hampir setara dengan anak pejabat kolonial. Salah satunya dalam pendidikan.
Sebagai contoh, Mohammad Hoesni Thamrin yang lahir pada 16 Februari 1894 itu berkesempatan mengenyam pendidikan dari tingkat dasar seperti bijbelschool atau sekolah Injil hingga ke Koning Willem III yang setingkat dengan sekolah menengah umum. Sesuai dengan namanya, bijbelschool punya muatan agama Nasrani dalam pendidikannya.
Sayangnya, bangunan bijbelschool sudah tak bisa lagi ditemukan sekarang. Kabarnya, bangunan sekolah itu dulu berada di Jalan Pintu Besi, dekat Pasar Baru, Jakarta Pusat.
Hanya gedung Koning Willem III atau K.W. III yang masih berdiri di Jalan Salemba Raya, Jakarta Pusat. Gedung bersejarah itu masih dipakai dan dilestarikan oleh Perpustakaan Nasional. Bangunan berbentuk rumah khas arsitektur lawas Belanda itu memiliki barisan pilar kokoh dengan atap berupa genting berkelir merah mengkilap.
Karena M.H. Thamrin menimba ilmu di sekolah Belanda, gaya berpakaiannya pun identik dengan anak-anak kulit putih, seperti memakai dasi dan jas. Cara berkomunikasinya pun luwes dan berkelas lantaran dia bisa menggunakan bahasa Belanda, Inggris, dan Melayu.
Meski begitu, dia masih mampu menempatkan diri dalam kehidupan di luar sekolah. Menurut Yasmine Shahab, M.H. Thamrin kecil sanggup berbaur dengan anak-anak kampung Betawi di sekitar rumahnya. Yasmine menyebutkan Thamrin kecil masih sempat bermain dengan anak kampung, termasuk mandi di Sungai Ciliwung yang saat itu masih bersih.
Namun keistimewaan yang M.H. Thamrin dapatkan pernah menjadi bahan omongan anak-anak kampung. Thamrin antara lain mendapat julukan Anak Serani lantaran ia menempuh pendidikan di sekolah Injil. “Tapi itu hanya sebutan, karena saat itu masih dianggap tidak wajar orang muslim masuk ke sekolah Nasrani,” ucap Yasmine.
Tak hanya bermain bersama anak-anak kampung, Thamrin juga pergi mengaji ke surau ketika petang. Kala itu mengaji di saat petang menjadi kegiatan rutin anak-anak Betawi. Menurut Yasmine, aktivitas harian mengaji di waktu petang menjadi bukti bahwa Thamrin dan keluarganya mampu menyeimbangkan kehidupan Barat dan Betawi.
Mohammad Hoesni Thamrin bersama Otoh Arwati dan putri angkatnya Deetje Zubaidah saat berkunjung ke Sumatera, 1939. Dok Koleksi Museum M.H. Thamrin/Repro: Tempo/M. Taufan Rengganis
Buktinya, dalam penggalian bahan untuk bukunya, Yasmine mendapatkan fakta bahwa Thamrin kerap disapa Mat Seni oleh kawan dan sanak saudaranya. Dia menjelaskan, cara menyingkat nama sudah menjadi kebiasaan orang Betawi. Tujuannya agar lebih mudah dan akrab. “Seperti Mat Seni itu kependekan dari Mohammad Hoesni,” tutur Yasmine.
Setelah dewasa, Mohammad Hoesni Thamrin tercatat menikah lebih dari sekali. Dalam bukunya, Yasmine mencatat Thamrin menikah empat kali dengan istri bernama Ratu Intan, Noerain, Tjing Toto, dan Otoh Arwati. Namun, dari semua pernikahan tersebut, Thamrin tak mendapat keturunan.
Pada pernikahannya yang terakhir bersama Otoh Arwati, Hoesni Thamrin mengangkat anak perempuan yang diberi nama Deetje Zubaidah. Deetje lahir pada 1927 dan masih kerabat Thamrin. Ia adalah anak Abdul Khalik dan Tuti.
Adapun Tuti adalah putri Mohammad Ma’mun Thamrin, kakak kandung Mohammad Hoesni Thamrin. Deetje adalah ibu kandung Diennaryati Tjokrosuprihatono dan Akbar Chasany.
Menurut Diennaryati dan Akbar, ibunya sering bercerita tentang kasih sayang Thamrin kepadanya. Meski anak angkat, Deetje selalu diperlakukan dengan baik bak anak kandung.
Deetje juga sering bercerita tentang kondisi rumah besar Thamrin. Rumah mewah itu hanya dihuni empat orang, yakni Thamrin, Otoh Arwati, dan dirinya serta seorang pembantu laki-laki bernama Entong.
Meski begitu, rumah Thamrin selalu terbuka untuk orang-orang yang punya ide tentang kemerdekaan Indonesia. Termasuk Sukarno yang memang dikenal dekat dengan Thamrin.
Thamrin juga memberikan fasilitas mewah untuk Deetje, seperti bersekolah di sekolah Belanda. Karena itu pula Deetje mahir berbahasa Belanda sejak kecil. “Di rumah, bersama Opa Hoesni dan Oma Otoh, Mami Deetje berbicara dengan bahasa Belanda,” ujar Diennaryati, yang juga Duta Besar Indonesia untuk Ekuador 2017-2020.
Diennaryati menuturkan, ibunya mendapat fasilitas mewah lain. Dari pena mahal merek Parker sampai diantar dan dijemput sekolah dengan naik mobil sedan mewah tiga pintu pabrikan Cadillac.
Saat itu Hoesni Thamrin bekerja sebagai anggota Volksraad atau Dewan Rakyat. Namun, Diennaryati mengungkapkan, kekayaan tersebut tidak didapatkan kakeknya dari gaji anggota Dewan. Menurut cerita ibunya, kekayaan Hoesni Thamrin itu merupakan warisan dari Thamrin Mohammad Tabrie dan Noerhamah.
Mohammad Hoesni Thamrin (kedua dari kanan) bersama Otoh Arwati (kanan) dan Deetje Zubaida (ketiga dari kanan), sekitar tahun 1930an/Repro/TEMPO/Martin Yogi Pardamean
“Saat itu memang kaya banget. Harta dan tanahnya saja ada di mana-mana,” kata Wakil Rektor Bidang Kerjasama, Hukum, Humas dan Ventura Universitas Pancasila, Jakarta, tersebut.
Meski kaya bak sultan, Thamrin punya kepedulian besar kepada pribumi. Menurut cerita Deetje, ayah angkatnya itu mudah sekali memberikan bantuan kepada orang pribumi meski merogoh kocek sendiri. Salah satu yang diingat Deetje adalah ketika Thamrin membeli lahan dan kemudian membangun Stadion Vijveld atau VIJ di Petojo, Gambir, pada 1928.
Berdasarkan cerita yang didengar Diennaryati dari ibunya, saat itu kakeknya geram lantaran kaum pribumi tidak diizinkan memakai lapangan sepak bola yang dimiliki perkumpulan orang Belanda. Walhasil, Thamrin memilih mengucurkan duit pribadinya sekitar 2.000 gulden untuk membuat Stadion VIJ.
Belum lagi rumah yang dibeli Thamrin di Jalan Kenari 2, Jakarta Pusat, yang kini menjadi Museum M.H. Thamrin. Dulu gedung dengan luas lebih dari 3.000 meter persegi itu merupakan gudang milik pengusaha Belanda bernama Maneer de Haas.
Gudang itu dipakai menyimpan logistik dan bahan pangan untuk pejabat pemerintah kolonial dan orang-orang kaya di Batavia. Bahan pangan yang disimpan itu antara lain buah-buahan dan daging impor mewah dari Australia.
Pada 12 Maret 1927, Thamrin membeli gedung tersebut dan digunakan sebagai tempat pertemuan serta ruang kesenian untuk pribumi. Singkat cerita, rumah tersebut menjadi lokasi pertemuan dan rapat dalam pergerakan kemerdekaan.
Kedua cucu Thamrin itu menduga sifat kepedulian kakeknya tersebut lahir dari pengaruh sang kakek buyut, Thamrin Mohammad Tabrie. Sebab, keduanya pernah mendengar cerita Thamrin Mohammad Tabrie sering mengajak Hoesni Thamrin berbincang tentang nasib pribumi yang menyedihkan.
Yasmine Shahab menyebutkan Thamrin punya kedekatan luar biasa dengan sang ayah. Komunikasi keduanya terjalin dengan erat. “Sebab, jika tidak, tak akan mungkin Hoesni Thamrin bakal setuju diajak bapaknya masuk ke kancah politik dan komunitas Betawi,” tuturnya.
“Bapaknya memang membentuk dan memagangkan dia ke politik,” ujar Yasmine. “Kebetulan Thamrin tertarik karena ingin memperbaiki kehidupan masyarakat kecil.”
Dekan Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia Bondan Kanumoyoso juga menganggap Thamrin Mohammad Tabrie sebagai pembentuk jati diri M.H. Thamrin. Bondan memaparkan, ayah Hoesni Thamrin sejak awal ingin anaknya menjadi pegawai negeri pada pemerintahan kolonial Belanda.
Pembukaan Volksraad di Batavia oleh Gubernur Jenderal B.C. de Jonge, 1936/digitalcollections.universiteitleiden.nl
Alih-alih memihak pemerintah kolonial, Thamrin Mohammad Tabrie mengajari anaknya condong dan memihak kaum pribumi. “Ini yang menginspirasi Mohammad Hoesni Thamrin masuk ke politik sepenuhnya,” ucap Bondan.
Bondan juga menduga M.H. Thamrin terinspirasi sepak terjang tokoh pergerakan Soetomo. Maklum, pada saat Thamrin sibuk berkarier politik, tak banyak partai atau kelompok berpandangan politik di Batavia. “Yang ada saat itu hanya Muhammadiyah dan Sarekat Islam yang condongnya ke agama,” ujarnya.
Sayangnya, Bondan belum menemukan bukti kedekatan atau interaksi antara Thamrin dan Soetomo. Namun yang pasti ia yakin Thamrin mengenal Soetomo karena bergerak di periode yang hampir sama.
“Karena Soetomo ini orang yang kooperatif (dengan pemerintah kolonial Belanda). Jalan itu pula yang diambil Thamrin dalam perjuangannya,” tutur Bondan.*
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Dua Dunia Mat Seni"