Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KEINGINAN Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin memperbaiki kotanya pada 1969 berujung kekecewaan. Gagasannya untuk memperbaiki kampung-kampung di kota itu mentok saat ia datang ke Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). Kepala Bappenas Widjojo Nitisastro menilai gagasan itu tidak memberikan manfaat ekonomi dan bukan program prioritas pemerintah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Saya kecewa. Tentu saja saya tidak habis pikir. Mengapa perbaikan kampung bukan prioritas pertama? Perbaikan kampung banyak efeknya,” katanya dalam buku Bang Ali: Demi Jakarta 1966-1977 yang ditulis Ramadhan K.H.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ali menilai perbaikan kampung akan menyulap wajah kota menjadi lebih bersih, bagus, dan sehat. Lingkungan yang sehat, dia menambahkan, akan membuat masyarakat bergerak. “Di mata saya, perbaikan kampung itu menyangkut juga perbaikan ekonominya. Saya jadi kecut melihat sikap dia begitu,” ujarnya.
Perbaikan kampung merupakan perwujudan Proyek Mohammad Hoesni Thamrin yang digagas Ali Sadikin selama memimpin Jakarta. Ia terinspirasi program perbaikan kampung (kampongverbetering) dari Dewan Kota Batavia, yang salah satu penggagasnya adalah Mohammad Hoesni Thamrin, anggota Dewan Kota pada 1920-an. Saat itu M.H Thamrin memperjuangkan adanya sanitasi, drainase, dan pasokan air bersih bagi masyarakat miskin Betawi.
“Proyek-proyek ini diteruskan Ali Sadikin. Ia ingin mengubah kampung karena, bagi dia, Jakarta bukan kota besar, tapi kampung besar, big village,” kata Candrian Attahiyyat, arkeolog dan anggota Tim Ahli Cagar Budaya DKI Jakarta, kepada Tempo pada Senin, 5 Agustus 2024.
Ali Sadikin saat peresmian proyek perbaikan kampung atau Proyek Mohammad Hoesni Thamrin di Kampung Angke, Jakarta, 1973./Dok.Tempo/DS Karma
Program perbaikan kampung Ali Sadikin meliputi perbaikan jalan yang berbentuk labirin di permukiman dan pembuangan air, pembuatan jembatan, pengaliran arus listrik, serta pembangunan kincir angin. Dia juga mendirikan sekolah dan klinik kesehatan serta sentra-sentra mandi, cuci, dan kakus.
“Orang Jakarta saat itu kampungan, norak banget. Sama Ali Sadikin dibikin norak sekalian, berlagak kota,” tutur Candrian. “Norak” di sini menjurus pada perubahan kultur. “Yang biasanya tidur beralas tanah, sekarang plesteran; sebelumnya harus berebut mandi di sumur yang tidak layak dan banyak, sekarang mandi dua kali sehari dengan air bersih.”
Candrian menerangkan, Ali juga membangun kincir angin terintegrasi dengan fasilitas mandi, cuci, dan kakus. Kincir angin yang disebut komet itu digunakan secara bersama-sama agar warga dapat mencuci bersama. Kincir itu berada di daerah Tanjung Priok serta kawasan di Jalan Hayam Wuruk dan Jalan Gajah Mada. “Komet ini bisa digunakan satu RT (rukun tetangga). Airnya bisa disalurkan ke beberapa tempat,” ujar Candrian.
Tidak ada kata menyerah bagi Ali Sadikin, meskipun gagasannya dikesampingkan pemerintah. Ia melobi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DKI dan meminta permakluman mengenai tidak adanya ganti rugi bagi penduduk yang terkena proyek pelebaran jalan. Dananya dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
Pada tahap pertama, lima kampung di Menteng Wadas, Krendang, Kemayoran Kecil, Rawa Badak, dan Kayu Manis selesai diperbaiki dengan menghabiskan anggaran Rp 500 juta. Setahun kemudian, uang yang digelontorkan bertambah dua kali lipatnya, lalu Rp 1,4 miliar pada 1972.
Perubahan ini menarik perhatian Bank Dunia. Lembaga internasional itu bersedia membiayai proyek tersebut dengan memberikan pinjaman lunak. Ali memulai secara resmi program perbaikan kampung dengan nama Proyek Mohammad Hoesni Thamrin pada September 1973.
Separuh pinjaman dari bantuan Bank Dunia itu di antaranya digunakan untuk mempercepat perbaikan pada tahap berikutnya. Walhasil, proyek yang semula direncanakan berjalan 15 tahun itu dapat rampung lebih cepat. “Seharusnya selesai dalam 1969-1984, dipangkas bisa dalam sepuluh tahun,” ucap Candrian. Hingga 1976, proyek ini telah memperbaiki kampung-kampung seluas 4.694 hektare yang dihuni 1.965.000 penduduk Jakarta.
Dalam buku karya Yasmine Zaki Shahab, Mohammad Hoesni Thamrin: Merekam Prestasi Menguak Representasi, Ali mengganti nama proyek itu dari semula Proyek Perbaikan Kampung menjadi Proyek Mohammad Hoesni Thamrin. Perubahan ini menjadi bentuk penghargaan Ali terhadap tokoh Betawi yang telah menuntut perbaikan kondisi masyarakat berpenghasilan rendah pada masa pemerintahan kolonial tersebut. Ali menilai Thamrin sebagai pahlawan besar yang ditelantarkan.
Presiden Sukarno juga memberi penghargaan dengan menggunakan nama M.H. Thamrin pada Gang Timboel, jalan tembus kecil dari pertemuan Jalan Medan Merdeka Selatan dengan Jalan Budi Kemuliaan ke daerah Kebon Sirih, pada 1950. Perubahan nama itu berbarengan dengan pelebaran jalan kecil tersebut sepanjang 300 meter hingga ke Sarinah. Pemilihan nama Thamrin itu punya alasan khusus. “Jalan di situ prestisius. Yang ditempatkan di situ adalah orang yang punya jasa terhadap Jakarta,” tutur Candrian. Menurut Sukarno, Thamrin adalah tokoh yang berjasa memajukan Jakarta.
Sebelum penyelenggaraan Asian Games 1962, Sukarno membangun Bundaran Hotel Indonesia dan Tugu Selamat Datang. Dia juga memanjangkan Jalan M.H. Thamrin hingga ke tugu tersebut. Pembangunan jalan itu bertujuan memudahkan delegasi Asian Games dari berbagai negara menuju Senayan.
Jalan M.H. Thamrin semacam itu sebenarnya juga digagas pemerintah Hindia Belanda pada 1920-an. Peta Batavia pada tahun tersebut menunjukkan rencana pemerintah kolonial membangun jalan sepanjang 1,6 kilometer yang ditandai dengan garis putus-putus di kawasan yang sekarang menjadi Jalan M.H. Thamrin.
Peninggalan Mohammad Hoesni Thamrin yang lain adalah tekadnya membangun pers Indonesia. Pada masa pergerakan, Thamrin, yang aktif memimpin Partai Indonesia Raya (Parindra), rela menggelontorkan duitnya untuk membeli mesin cetak. Bersama teman-teman pergerakannya, Thamrin menerbitkan surat kabar Pemandangan. “Ini surat kabar besar papan atas di Batavia tahun 1930-an dan menjadi rujukan pergerakan nasional,” kata sejarawan JJ Rizal pada Senin, 5 Agustus 2024.
Koran Pemandangan tak hanya memuat isu-isu nasional. Thamrin, yang duduk di jajaran dewan redaksi, juga menggunakannya untuk menyajikan berita-berita perkembangan dunia. Hal ini membantunya dalam bernegosiasi dengan pemerintah kolonial.
Gubernur Jakarta Soemarmo menjelaskan maket pembangunan Jalan M.H. Thamrin kepada Presiden Sukarno, 15 Agustus 1962./Buku Karya Jaya: Kenang-kenangan Lima Kepala Daerah Jakarta 1945-1966
Menurut Rizal, Pemandangan terkenal sangat radikal. Ini terlihat dari sikap editorialnya sangat keras terhadap pemerintah penjajahan. “Hoesni Thamrin memanfaatkan surat kabar itu sebagai medium berbagi gagasannya.”
Bob Hering, dalam M.H. Thamrin: Membangun Nasionalisme Indonesia, menulis bahwa Parindra juga mempunyai sejumlah surat kabar dan majalah sendiri, seperti Soeara Oemoem, Bangoen, Soeara Parindra, dan Soeara Soerja. Surat-surat kabar ini menjadi mesin propaganda kaum pergerakan yang gaungnya lebih kuat dibanding partai-partai politik saat itu, seperti Partai Nasional Indonesia dan Partai Pendidikan Nasional Indonesia.
Menurut Bob Hering, Thamrin ingin wartawan hidup sejahtera. Ia sedih melihat banyak wartawan lokal yang harus meliput berita tapi berjibaku dengan kemiskinan. Karena itu, Thamrin bekerja sama dengan sejumlah tokoh pergerakan, seperti Agoes Salim, Amir Sjarifuddin, dan Douwes Dekker, untuk menyokong para jurnalis.
Kiprah Thamrin di bidang pers inilah yang mendorong lahirnya Anugerah Jurnalistik Mohammad Hoesni Thamrin pada 1974. Penghargaan pers yang diinisiasi Persatuan Wartawan Indonesia Provinsi DKI Jakarta dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta itu kini sudah berusia 50 tahun dan terus berlangsung.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Agar Kampung Jakarta Tak Kumuh Lagi"