Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SELAMA tiga jam, ruang rapat di lantai dua gedung Departemen Keuangan terlihat sibuk, Rabu malam pekan lalu. Direktur Jenderal Perbendaharaan Negara, Mulia P. Nasution, bersama timnya berkutat membahas sebuah rancangan kertas kerja (policy paper) yang disiapkan menjadi cikal-bakal peraturan peme-rintah.
Mulia memang sedang kejar tayang. Soalnya, perangkat aturan inilah yang kelak mengatur semua bentuk pengelolaan investasi pemerintah, termasuk investasi berbasis syariah. Tanpa ke-jelasan aturan ini, investasi asing yang diharapkan mengucur ke dalam negeri bisa-bisa kandas di tengah jalan.
Padahal, di depan puluhan miliarder- Arab, Presiden Susilo Bambang Yu-dhoyono sudah berpromosi. Dibentangkannya peluang investasi di Indonesia yang mencakup bidang infrastruktur, pengilangan minyak, perbankan, dan pembangunan kawasan ekonomi khusus.
Ajakan itu disampaikan Yudhoyono dalam lawat-an sembilan hari ke Arab Saudi, Kuwait, Qatar, Uni Emirat Arab, dan Yordania, tiga pekan lalu. Hasilnya? Qatar dan Kuwait tergerak memercikkan duitnya, masing-masing US$ 1 miliar (sekitar Rp 9 tri-liun), dengan membeli surat utang syariah.
Harapan Indonesia menadah kucuran dana investasi dari negara-negara Teluk cukup wa-jar. Sebagai produsen minyak, kawasan ini memang sedang ketiban rezeki nomplok berkat- melejitnya harga minyak dunia hingga US$ 72 per barel. Dengan harga minyak US$ 50-65 per barel saja, negara-negara pengekspor minyak (OPEC) diperkirakan menangguk berkah US$ 0,5 triliun —atau sekitar Rp 4.500 triliun.
Pusaran duit inilah yang kini dilirik Indonesia. Tapi, tampaknya dana investasi dari Timur Tengah itu tak serta-merta mengalir masuk. Sebab, seperti kata Muhammad Lutfi, Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal, para sohib berkantong tebal dari Timur Tengah itu lebih suka membenamkan duit-nya dalam bentuk investasi keuang-an, seperti pembelian saham atau surat utang.
”Investasi yang mereka lakukan itu dikelola oleh penasihat keuangan andal, seperti JP Morgan, Goldman Sachs, atau Citigroup,” kata Lutfi. Merekalah yang memberi nasihat: ke mana investasi ha-rus dilabuhkan agar menghasilkan keuntungan berlipat.
Indonesia juga belum sepenuhnya siap menampung investasi keuangan ber-basis- syariah dari negara-negara Arab. ”Dalam undang-undang tentang surat utang negara, misalnya, belum dikenal istilah bagi hasil,” kata Lutfi. Ini jelas batu sandungan. Jika tak segera dibenahi, kesepakatan yang sudah dicapai di tingkat kepala negara itu bisa-bisa cuma sebatas manis di bibir.
Lutfi menambahkan, in-strumen hukum yang da-pat mengakomodasi keuangan syariah juga masih harus diiringi dengan ke-cerdikan Indo-nesia da-lam mengemas paket investasi yang ditawarkan. ”Seperti memberikan kemudahan dalam hubungan bilateral atau multila-teral, yang terkait dengan investasi asing- dalam pembangunan kawasan ekonomi khusus,” katanya.
Menurut Ketua Kamar Dagang Indonesia (Kadin), M.S. Hidayat, keinginan para raja Timur Tengah untuk melakukan investasi baru dalam tahap pembicaraan awal. Itu sebabnya, menurut Hidayat, yang juga ikut dalam rombong-an Presiden ke Timur Tengah, Yudhoyo-no memberi waktu tiga bulan kepada para menterinya untuk menindaklanjuti. ”Termasuk mempersiapkan segala aturan yang mendukung.”
Semua persoalan ini sesungguhnya- bukan baru disadari oleh Departemen- Keuangan. Sebelum Yudhoyono ke Ti-mur Tengah, tim Lapangan Banteng—lokasi kantor Departemen Keuangan—sudah membahas rancangan peraturan pemerintah tentang pengelolaan investasi pada akhir tahun lalu.
Pembahasan dilakukan setelah Keputusan Presiden No. 67/2005 tentang Penyediaan Infrastruktur oleh Pemerintah dan Badan Usaha dikeluarkan. Saat itu Departemen Keuangan membentuk tim kecil yang dipimpin Agus Suprijanto, Direktur Pengelolaan Pinjaman dan Hibah Luar Negeri Departemen Keuangan.
Tim beranggotakan sembilan orang itu bertugas merumuskan rancangan kertas kerja yang menjadi landasan peraturan pemerintah. ”Tapi kami memang agak terlambat membuat rancangan itu,” kata Mulia. Padahal, tanpa perangkat hukum, kerja sama yang mengatur investasi tidak bisa ditindaklanjuti. Itu sebabnya tim kecil kini menggeber rapat tiga kali seminggu.
Sejauh ini sejumlah agenda dalam rancangan kertas kerja sudah dibahas-. Di antaranya mekanisme investasi, kerangka hukum dan kelembagaan in-ves-tasi, bentuk-bentuk kerja sama investasi, serta ketentuan yang terkait dengan pengelolaan infrastruktur pendanaan.
Mulia menargetkan, rancangan kertas kerja ini sudah bisa rampung pada akhir Juni mendatang. ”Sehingga peraturan pemerintah tentang pengelolaan investasi bisa keluar September,” kata-nya. Sebagai langkah awal, hasil bahas-an tim kecil rencananya dilaporkan- ke Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, pekan ini.
Dalam kertas kerja itu juga diusulkan pembentukan sebuah organisasi baru bernama Direktorat Pengelolaan Dana Investasi, yang akan dipimpin oleh pejabat eselon dua. ”Organisasi ini yang akan mengurus kebijakan dana investasi,” ujar Mulia.
Nantinya, organisasi ini juga yang mengatur pembentukan lumbung dana (trust fund) seperti yang ditawar-kan Qatar, atau pembentukan sebuah perusahaan khusus (special purpose vehicle) untuk membiayai proyek-proyek infrastruktur. Badan usaha ini pun, kata Mulia, bisa menerbitkan surat utang berbasis syariah untuk menarik investor lain.
Untuk sampai ke tahap itu, Departemen Keuangan kini tengah menggodok revisi Undang-Undang No. 24/2002 tentang Surat Utang Negara, yang selama ini hanya mengenal istilah bunga. ”Targetnya agar bisa dibahas oleh DPR tahun ini,” kata Mulia. Bila revisi disetujui, pemerintah dapat menerbitkan surat utang negara berprinsip syariah, de-ngan pola bagi hasil.
Seluruh aturan itu akan memudahkan investor Timur Tengah yang ingin memercikkan duitnya lewat obligasi negara syariah ke Indonesia. Apalagi, menurut Adiwarman Azwar Karim, pengamat ekonomi syariah, proyek-proyek yang ditawarkan Indonesia adalah proyek yang diminati investor Teluk.
Adiwarman, yang juga Presiden Direktur Karim Business Consulting (KBC), menambahkan para investor dari negara petrodolar juga tertarik masuk ke sektor perbankan dan pasar modal. ”Mereka akan membeli saham di beberapa bank dan perusahaan sekuritas di Indonesia, Oktober mendatang,” katanya.
Setelah investasinya meningkat, bank-bank itu akan dikonversi ke sistem syariah. Sedangkan kegiatan yang dilakukan di perusahaan sekuritas juga akan berdasarkan prinsip syariah. Namun, Adiwarman tak bisa menyebutkan secara rinci siapa investor yang dimaksud. Sebab, ”Beberapa dari mereka akan menjadi klien saya,” ujarnya.
Didik J. Rachbini, Ketua Komisi Perindustrian dan Perdagangan DPR, menilai aliran modal dari Timur Tengah yang berbentuk syariah merupakan pe-luang bagi Indonesia untuk memperbesar sistem keuangan syariah. Itu sebabnya, pemerintah dan DPR harus tanggap membuat aturan main dan payung- hu-kumnya.
Pendapat berbeda dikemukakan Chris- Kanter, Wakil Ketua Umum Kadin-. Menurut dia, sambutan wah yang diberikan negara-negara Timur Tengah kepada Indonesia tak istimewa-istimewa amat. ”Sambutan seperti itu juga diberikan ketika Malaysia berkunjung ke sana,” katanya.
Setelah kunjungan itu, Malaysia men-dapat suntikan US$ 2,7 miliar. Tapi, itu semua atas akumulasi upaya yang sudah begitu lama dijajaki Malaysia. Sedangkan Indonesia baru memulai ketuk pintu. ”Jadi, jangan terlalu berharap ba-nyak,” kata Chris.
Apalagi bila hanya mengandalkan sentimen sebagai sesama negara berpen-duduk muslim. Apa yang akan dilakukan para investor Timur Tengah, menurut Lutfi, tetap mengandalkan sisi komersial. ”Sesama muslim hanya perangsang awal. Tapi ujung-ujungnya duit.”
Yandhrie Arvian
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo