PESTA perkawinan di rumah Partodikromo, 65, meriah bukan main. Dari kampung-kampung tetangga, yang berjarak 10 kilometer, orang berduyun dengan berjalan kaki untuk menyaksikan kesenian tayuban - semacam ronggeng. Di Desa Poleng, Sragen, Jawa Tengah, yang tandus dan miskin, hiburan begitu belum tentu terjadi satu kali tiga tahun. Maka, orang boleh berterima kasih kepada Parto, yang Juli lalu mengawinkan anak bungsunya, Mulyono, 25, dengan Semi, 22. Tetapi para tetangga juga merasa heran dan bertanya-tanya, "Bagaimana mungkin kakek tiga cucu yang miskin bisa menyelenggarakan pesta?" Parto, seperti umumnya penduduk desa terpencil itu, memang miskin. Rumahnya hanya berukuran sekitar 15 m2, berlantai tanah, dindingnya dari anyaman bambu. Ada, memang, tanahnya seluas dua hektar. Tapi tanah itu sedemikian tandus dan berkapur rumput pun enggan tumbuh di situ. Untuk menyambung hidup keluarganya, Parto biasa pergi ke Pasar Sragen-yang berjarak sekitar 25 kilometer. Menjelang malam, baru ia tiba di rumah. Di pasar, menurut beberapa tetangganya yang menjadi pedagang, Parto biasa mengemis. Ia bermodalkan celana pendek dan kaus rombeng, bungkusan plastik, serta sebuah tutup kepala. "Kalau berpapasan dengan kami, dia melengos - malu," tutur Carik, tetangganya. Menurut Suhadi, pemilik warung, Parto selama ini menitipkan uang hasil "usaha"nya itu kepada para pedagang. Sejak beberapa bulan lalu ia mulai meminta uangnya itu - dengan sedikit bunga - sehingga jumlahnya cukup untuk membiayai sebuah perhelatan besar. Parto sendiri, ketika ditanya, tak menjelaskan apa sebenarnya pekerjaannya. Hanya, katanya, perkawinan itu dibiayai dari hasil tabungannya selama dua tahun, yang disimpan dalam ruas bambu, di rumahnya. Padahal, kata istrinya, Parto tidak pernah punya tabungan di bagian mana pun di rumah itu. "Dia bilang, duitnya hasil menjual sapi," katanya. Entah, "sapi" milik siapa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini