Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Hiroshima, 43 detik sesudah jam nol

Kisah orang yang selamat dari ledakan bom atom di hiroshima tanggal 6 agustus 1945 yang dijatuhkan pesawat pengebom as b-29 enola gay, sebagai pemungkas perang dunia ke-2. (sel)

10 Agustus 1985 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SENIN, 6 Agustus 1945. Pesawat pengebom Amerika Serikat B-29 Enola Gay terbang rendah di atas Hiroshima. Menukik 60, dengan kelokan 158 ke arah kanan, dan sampai pada jam nol. Itu berarti pukul 8.15 waktu setempat. Tombol bom di antara dua jari tangan ditekan. Waktu pun menghitung lambat: 1 detik, 2 detik, 3 detik, 43 detik - dan awak Enola Gay melihat kilatan di atas noktah merah sasaran. Misi berhasil. Pengebom seberat 4.500 kg itu memutar haluan, kembali ke pangkalannya di Pulau Tinian, utara Marianas 1.600 mil arah selatan. Dan, di bawah, sebuah neraka menyeruak di permukaan bumi. Sebuah kota, dengan penduduk 250.000 jiwa, ambruk semua bangunannya total runtuh, dan sebuah lingkaran api raksasa dengan panas 3.000C menggantikan lingkaran batas kota. Korban terkapar: 60.000 tewas dalam sekejap, 100.000 lebih luka berat, sisanya terbujur tanpa daya. Termasuk diantaranya 40.000 pasukan infanteri di Markas Besar Angkatan Darat Chugoku. Jepang bertekuk lutut. Perang Dunia II pun usai. Selasa 6 Agustus 1985, pekan ini, peristiwa lama itu kembali menjadi monumen. Pada peringatannya yang ke-40, berbagai seruan dan propaganda diuar-uarkan: mala petaka seperti itu, dengan pertimbangan strategis apa pun, hendaknya jangan lagi disentuh. Masyarakat Amerika Serikat sendiri, dari negara yang menciptakan neraka itu, dengan lantang menyokong kecemasan umum. "Lihatlah apa yang telah kita lakukan," majalah terkenal Time mementang tema pada kulit depan edisinya, minggu lalu. Sebab, akhirnya manusia jua - dengan lingkarannya yang kecil - yang harus menjadi bulan-bulanan satuan strategi perang. Sebuah pandangan klise, memang, tapi tak bisa lain. Kesadaran itu sudah diembuskan segera setelah Hiroshima menciut dalam kabung yang dalam, sementara negara-negara Sekutu merayakan kemenangan. Mei 1946. Belum setahun neraka Hiroshima berlalu, majalah New Yorker mengirim wartawannya, John Hersey, ke kota itu untuk mengumpulkan kisah. Wartawan yang juga sastrawan itu berhasil menemukan sejumlah korban yang selamat, yang mampu merekam keadaan ketika Hiroshima dibikin lumat oleh cahaya yang hampir tak bersuara. Memang terlampau dini mengatakan orang-orang yang diwawancarai itu "selamat" - dalam jangka waktu baru setahun. Radiasi yang turun bersama bungkah bom dari perut Enola Gay mampu mengubah substansi semua benda, termasuk manusia - merusakkan asam amino pada spiral DNA, bagian inti sel, dan membuahkan cedera genetik. Kini saja, 40 tahun berselang, masih tercatat sekitar 300.000 korban akibat ledakan bom nuklir pertama itu. Agustus 1946 laporan Hersey muncul di New Yorker. Kendati berhati-hati, karena sikap anti Jepang di AS masih tegar, kesimpulan Hersey tak jauh dari tema Time 40 tahun kemudian: "Lihatlah apa yang telah kita lakukan." Tentunya lebih basah dengan emosi dan gejolak perasaan, dan tanpa semangat propaganda. Dan, laporan sepanjang 30.000 kata itu ternyata mengejutkan masyarakat Amerika dan dunia. Sampai-sampai New Yorker mencetak ulang edisinya yang memuat laporan itu - yang tak lama kemudian muncul sebagai buku, dengan judul sederhana, Hiroshima. Buku ini mengalami cetak ulang terus menerus - sampai di tahun 60-an. Laporan Hersey bukan dokumen statistik kerugian yang dialami Hiroshima atau berapa korban yang telah ditelan dengan "berhasil" oleh malapetaka itu. Kisah wartawan itu adalah perihal lingkaran kecil manusia yang tertatih-tatih, dan yang tanpa mereka sadari - dengan pengorbanan maha besar - menjadi pengunci Perang Dunia. Dalam kisah itu tampak bagaimana Masakazu Fujii, Hatsuyo Nakamura, Terufumi Sasaki, dan Kiyoshi Tanimoto bertarung melawan bencana, menanggung beban ambisi negara mereka, bagai serangga-serangga menyusup ke sana ke sini, tapi yang datang adalah kilatan tanpa suara yang membongkar semua ikhtiar mereka, dan sesudah itu penyelamatan apa pun sia-sia. Senin 6 Agustus 1945 itu adalah hari paling laknat dalam hidup mereka. * * * Pagi itu Kiyoshi Tanimoto bangun pukul lima. Pendeta Gereja Metodis itu terlongong-longong sendiri di ruang kediaman pendeta, yang terletak di sisi gereja. Istrinya, bersama anaknya yang berumur setahun, beberapa hari terakhir sudah mengungsi ke Ushida, kawasan pinggiran di utara Hiroshima. Itu lebih baik, pikir Kiyoshi, karena belakangan ini ia senantiasa diburu kecemasan. Hiroshima dan Kyoto adalah kota-kota sisa yang belum lagi dilalui formasi B-san - julukan bagi pengebom B-29, yang kendati sekilas terdengar bersahabat (san berarti sahabat) terasa - sudah tentu - mengandung konflik dan kebencian. Seperti juga tetangganya, hari ke hari Kiyoshi mengikuti dengan cermat berita radio yang mengumumkan pengeboman sejumlah kota penting di sekitar Hiroshima. Kure rusak berat. Iwakuni hancur. Tokuyama nyaris musnah. Dan jalur B-san kian lama terasa kian dekat. Kiyoshi sadar, lingkaran target sedang bergeser ke Hiroshima. Ia bahkan yakin, kota ini akan mendapat bagiannya tidak lama lagi. Malam-malam terakhir dilalui Kiyoshi dengan tidur yang gelisah dan letih. Tanda bahaya udara meraung beberapa kali tiap malam, membuatnya terpontang-panting - dan sesudah itu tidur pun tak pernah lagi bisa penuh. Terhitung sejak awal Agustus itu Hiroshima memang senantiasa terguncang sirene, khususnya sejak skuadron B-29 menggunakan Danau Biwa di timur laut kota sebagai titik membentuk formasi ke mana pun operasi pengeboman dilakukan. Ini semacam permainan yang sangat menegangkan urat saraf: sekerap tanda bahaya mengaum, sekerap itu pula penduduk Hiroshima terkulai lemas - karena tak terjadi suatu apa. Ketegangan ini membuahkan kesimpulan umum: Amerika Serikat sedang menyiapkan sebuah pengeboman istimewa bagi Hiroshima. Dan semua penduduk seperti menantikannya. Juga Kiyoshi. Setelah mengirim istri dan anaknya ke kediaman keluarga di Ushida, ia sendiri berusaha sebisanya mengungsikan sejumlah peralatan gereja - semua yang bisa dipikulnya sedikit-sedikit atau dimuatkannya ke kereta dorong - ke Distrik Nagaragawa di pedalaman Koi, dua mil dari pusat kota. Di situ, di daerah yang rimbun dengan pepohonan - hingga aman dari pengamatan udara - sebuah kawasan memang dibuka untuk pengungsian. Seorang tetangganya, Matsuo, membantunya menggusur benda-benda yang agak besar. Terakhir adalah piano dan altar. Sebaliknya, Kiyoshi berjanji membantu tetangga itu mengungsikan harta benda. Karena itulah Senin 6 Agustus itu Kiyoshi Tanimoto bangun pagi-pagi: ia akan membantu Matsuo menggotong lemari putrinya. Kiyoshi memasak sendiri makan - paginya dan menelannya dengan sedikit paksa. Ia letih. Kerja menggusur piano dan tidur yang buruk telah menyerap hampir seluruh tenaganya yang tersisa. Tapi bahkan tenaga yang paling akhir pun harus direlakannya: harus membantu Matsuo, juga tetangga lain. Tugas itu tak dapat ditolaknya karena jabatan tonarigumi (ketua RT) yang dipegangnya itu memang dimintanya - untuk memperbaiki citranya di lingkungan tetangga. Masa perang membuat kehidupan Kiyoshi tak berjalan mulus. Pria bertubuh kecil dan perasa itu tak segera diterima lingkungannya. Sebagai lulusan Sekolah Teologi Emory College Atlanta, Georgia, AS, yang lancar berbahasa Inggris dan berpakaian ala Amerika, ia dicurigai. Seorang tokoh masyarakat yang konon anti-Kristen mencapnya sebagai mata-mata. Paling tidak, orang yang tak bisa dipercaya. Polisi pun datang menjemput Kiyoshi yang bertampang kanak-kanak dan biasanya bergerak serabutan itu, yang mudah bingung, mudah tertawa, dan mudah menangis pula. Ia diinterogasi. Syukur, tak ditemukan sesuatu. Pagi itu, pukul 6 tepat, Kiyoshi berangkat ke rumah Matsuo. Di sana ia temukan benda yang harus diungsikan: sebuah tansu, lemari kabinet tradisional Jepang yang besar. Cukup berat, apalagi penuh pakaian dan peralatan lain. Keduanya sepakat memindahkan perangkat rumah tangga itu dengan kereta dorong. Dua penggotong tansu bergerak perlahan menelusuri jalan-jalan Hiroshima yang masih lengang. Udara cerah, dan tak begitu dingin, seolah menjanjikan suatu hari yang bakal menyenangkan. Cahaya remang dan kehangatan membuat jalan-jalan Hiroshima yang berbatu itu tampak rapi, indah, dan terencana baik. Hiroshima memang kota yang dibentuk dengan cermat. Berdiri di atas enam pulau kecilkecil, masing-masing dipisahkan oleh anak-anak Sungai Ota. Hampir seluruh sisi delta dikelilingi pegunungan, dan di situ berjajar permukiman yang merayap di lereng-lereng. Kawasan industri terletak di sisi datar selatan kota, tempat pelabuhan udara dan dermaga dibangun. Hiroshima kota niaga dan industri yang cukup ramai. Pusat perdagangan, seluas empat hektar, terletak di tengah kota dan merupakan areal yang dibanggakan. Ketika Kiyoshi dan Matsuo melalui pusat perdagangan itulah sirene bahaya udara menggelegar. Bahaya lagi, sepagi ini - pikir dua pendorong kereta itu. Namun, tanda itu hanya berlangsung semenit, dan berhenti. Kiyoshi memberanikan diri menengadah dari tempat persembunyian - dan tampaklah sebuah pesawat udara pengukur cuaca Amerika Serikat memintas udara Hiroshima. Pagi kemudian kembali tenang. Perjalanan meletihkan ke Koi pun dilanjutkan. Rumah-rumah di sisi jalan - yang tak begitu lebar terlihat masih sepi, kendati denyut di dalamnya mestinya jauh lebih semarak: semua orang sibuk bersiap menantikan hujan bom yang katanya akan "istimewa". Toh wajah-wajah rumah kayu Jepang dengan teritisnya yang lebar masih mengekspresikan ketenangan yang ayem. Dekat batas kota, Kiyoshi dan Matsuo memutuskan untuk istirahat di sisi sebuah rumah kayu yang punya taman sangat indah: pasir batu membentang, tumbuhan rimbun berkeliling, dan batu-batu karang tersusun rapi bergerombol di tempat-tempat yang teratur. Jam menunjuk pukul 8.15. Jam Nol misi Enola Gay. Dan tiba-tiba Kiyoshi merasakan sebuah cahaya maha terang berkilat. Berkas sinar yang sulit digambarkan, bergerak dari timur ke barat, dari arah kota ke pegunungan. Kiyoshi dan Matsuo meloncat dalam teror (mereka berada 3.200 m dari pusat ledakan) tapi beruntung reaksinya masih sehat. Matsuo meloncat ke dalam rumah yang ternyata kosong, menyusup ke gunungan kasur yang tampaknya akan diungsikan. Kiyoshi meloncat ke sisi lain, ke taman di sebelah rumah itu dan terdampar di sela dua karang dengan muka ke bawah kepala dibenamkannya makin dalam, dan ia tak melihat apa-apa lagi. Kiyoshi merasakan tekanan maha besar menimpa punggungnya, dan mendengar bangunan runtuh tapi tak merasakan ledakan bom atau sejenis itu. Entah berapa lama sesudah itu, Kiyoshi baru memberanikan diri mengangkat kepala. Pertama yang dilihatnya: bangunan di sisinya, tempat Matsuo bersembunyi, ambruk. Rumah itu nyaris rata, hingga Kiyoshi menyangka sebuah bom telah jatuh tepat di situ. Tapi aneh, sedekat itu, dan ia tak mendengar apa-apa! Kiyoshi memburu ke jalan - berlari dalam panik - tanpa arah. Shu Jesusu, aweremi tamai! (Tuhan Yesus, kasihanilah kami!) - cuma itu kalimat yang diingatnya. Antara sadar dan tidak, ia melihat segerombolan tentara - yang tak pernah dilihatnya sebelumnya - keluar dari lubang persembunyian Markas Besar Angkatan Darat Chugoku. Kian lama kian banyak. Tubuh mereka berdarah. Dengan lambat gerombolan itu merayap ke arah kaki bukit. Merayap. Langkah mereka gontai, terguncang-guncang, dan rubuh satu per satu. Drama itu berlangsung tanpa suara. Tak ada jerit. Tak ada erangan. Tak terdengar keluhan. Sebuah kesenyapan yang mencekam dan aneh. Sementara itu, gumpalan debu mengepul ke atas di selatan kota, dan udara cerah Hiroshima berubah menjadi abu-abu. Lalu gelap. Kian lama kian gelap. * * * Dinihari, lepas tengah malam sebelum mala petaka itu terjadi, siaran radio mengumumkan 200 pengebom B-29 telah memintas Honsu, tak jauh dari Hiroshima. Karenanya, radio itu bilang, pemerintah menyarankan penduduk Hiroshima mencari perlindungan dan tinggal pada tempat-tempat yang aman. Itu bukan instruksi baru. Sudah hampir seminggu Hatsuyo Nakamura, seorang janda anggota Pasukan Kaisar, bersama ketiga anaknya bolak-balik dari rumah mereka di Distrik Nobori-cho ke Lapangan Parade Timur di timur laut kota, tempat yang dinilai aman dari serangan bom. Hampir setiap malam, dengan atau tanpa sirene, Hatsuyo dan ketiga anaknya - Toshio, anak lelaki sepuluh tahun, Yaeko, gadis delapan tahun, dan Myeko, gadis lima tahun - tidur di lapangan terbuka itu, berperang dengan dingin dalam buntalan kasur. Tidur yang meletihkan dan tegang. Pagi itu Hatsuyo tak tahan. Pukul dua ia sudah membangunkan anak-anaknya yang terlelap, dan memboyong mereka meninggalkan lapangan untuk pulang. Rombongan ibu dan anak-anak itu menembus dinihari yang senyap menuju rumah mereka di Noboricho. Sekitar setengah jam kemudian mereka sampai. Dan yang dilakukan Hatsuyo adalah memonitor berita. Ia mendengar imbauan yang membosankan itu: penduduk Hiroshima hendaknya mencari tempat yang aman . . . dan seterusnya. Untuk kesekian kali dan tak sesuatu pun terjadi. Hatsuyo menoleh kepada ketiga anaknya yang segera terlelap lagi dalam gulungan kasur wajah mereka sengsara. Rasa enggan memaksa seorang ibu membuahkan semacam kesimpulan nekat: memutuskan untuk tidak mengungsi hari itu, apa pun imbauan radio. Sungguh tak masuk akal, pikirnya, baru saja lapangan parade itu ditinggalkan harus didatangi kembali. Dan ia tak sendirian, ternyata. Sejumlah tetangganya berpikiran sama: memutuskan untuk tinggal saja di rumah. Hatsuyo memeriksa sekali lagi buntalan berisi anaka-naknya yang lena, kemudian merebahkan tubuhnya di sisi mereka. Penat membuat ia tertidur dalam sekejap. Sekitar satu jam ia terbenam dalam istirahat yang gelisah, dan terloncat bangun pada pukul tiga ketika sirene mengaum memecah dinihari: sebuah pesawat tak dikenal memintas Hiroshima. Lagi-lagi, tak terjadi suatu apa. Tapi pukul tujuh sirene kembali menggelegar. Dan kali ini Hatsuyo cemas. Ia berlari ke rumah tonarigumi, menanyakan apa yang harus dilakukannya: mengungsi? Hatsuyo tak mendapat jawaban pasti. Dengan datar ketua RT itu bilang, teoretis penduduk seharusnya tidak tinggal di rumah, karena tidak aman. Itu justru kenyataan yang ditawar Hatsuyo: ia enggan berletih-letih ke Lapangan Parade Timur bila keadaan tak sungguh-sungguh mendesak. Hatsuyo pulang dengan keputusan, tetap tak akan meninggalkan Nobori-cho hari itu. Jam menunjukkan pukul 7.15. Ibu tiga anak itu memulai kegiatan rutinnya: menyalakan tungku untuk memasak makan pagi. Anak-anaknya bangun satu per satu, menanyakan apa sudah waktu sarapan. Hatsuyo memerintahkan mereka tetap bergulung dalam kasur: bahaya udara belum berakhir. Dan sarapan pun berlangsung di antara onggokan kasur dengan kepala-kepala kecil menyembul keluar. Makan pagi yang sangat sederhana: segenggam kacang tanah dimasak agak lunak. Ketika itu Hatsuyo mendengar suara bising di luar. Ia melongok dan melihat tetangganya membongkar papan-papan rumah, lalu membuangnya terpencar. "Ada apa?" Hatsuyo bertanya. Tetangga itu balik bertanya apakah ia tidak mendengar pengumuman agar penduduk membongkar papan-papan rumah, agar tidak terjadi kebakaran bila hujan bom tiba? Hatsuyo memang tak mendengarnya: radio, sejak imbauan pukul dua pagi, tak lagi bersuara di dapurnya. Ia kembali ke lingkaran anak-anaknya. Tapi tiba-tiba hatinya diserang rasa duka. Rumahnya. Ia harus membongkar rumahnya. Rumah tempat suaminya pernah membuka usaha menjahit dengan sukses sebelum masuk tentara. Tidak, ia tak akan mengusik rumah tempat ketiga anaknya lahir, rumah papan sederhana dengan sekat-sekat kertas di dalamnya. Ia tak peduli sikap itu egoistis: Bukankah rumahnya akan menjadi sumber kebakaran, yang bisa menjadi tanda untuk para pengebom dari udara? Sudah terlampau banyak persoalan yang tak dimengertinya menuntut pengorbanan. Kali ini ia akan bertahan. Lima tahun terakhir itu kehidupan Hatsuyo tak mudah. Sebelumnya, bersama suaminya, Isawa Nakamura, penjahit ulung, ia mengalami saat-saat yang baik. Tapi perang memaksa ketenangan berubah. Ketika Myeko, anak bungsunya, lahir, Isawa terpanggil ikut bertempur dalam jajaran Pasukan Kaisar. Awal Maret 1942 Hatsuyo menerima telegram: "suami Nyonya gugur secara terhormat di Singapura, 15 Februari". Janda itu segera sadar, kehidupan anak-anaknya kini menjadi bebannya. Itulah perjuangannya kini. Dengan modal mesin jahit Sankoku peninggalan suami, dibantu anak sulungnya, ia meneruskan usaha yang dirintis suaminya. Tapi semuanya tak berjalan lancar - masa perang memang memburukkan banyak hal. Hatsuyo harus menjalani kehidupan yang papa. Gempuran palu menghantam dinding-dinding papan terdengar tajam di telinganya. Degup jantungnya mengencang, dan dukanya terpompa lebih ke dalam. Matanya, yang melamun menatap kesibukan para tetangga, membasah menjawab kesedihannya. Ia menangis tanpa isakan. Ketika itulah Enola Gay terbang rendah di atas Hiroshima. Menukik 60, dengan kelokan 158 ke arah kanan. Dan Hatsuyo merasa pandangannya memutih - putih paling putih dari yang pernah dilihatnya. Ia tak tahu apa yang sedang berlangsung: lamunannya membuat ia tak melihat apa yang terjadi pada para tetangganya yang barusan menohok-nohok dinding itu. Reaksinya yang pertama adalah reaksi seorang ibu: menghambur ke arah anak-anaknya. Tapi langkah pertamanya tercegat: sebuah tekanan maha besar meniupnya ke arah berlawanan tubuhnya terembus ke ruang sebelah dan menabrak sekat-sekat kertas. (la berada 1.235 m dari pusat ledakan). Lalu, papan-papan rumah berjatuhan menimpa dadanya - rumah kenangan Hatsuyo runtuh juga, akhirnya. Udara sudah menggelap ketika Hatsuyo bangkit dari kubur kepingan papan dan lantai. Antara sadar dan tidak ia mendengar ratapan kanak-kanak. Ia panik: itu ratapan Myeko! Bagai gila ia merayapi gundukan puing mencari sumber suara. Lalu menggali, menggali dengan tangannya, memilah-milah perabotan rumah, menghantam papan dan menggaruk tanah sampai suara Myeko semakin jelas. "Myeko, Myeko," jeritnya bagai kehilangan kesadaran, mengharap anak itu tetap menangis memperdengarkan suara. Sampai akhirnya ia berhasil merenggut anak itu dari bumi. Myeko selamat. Udara semakin gelap ketika Hatsuyo melanjutkan perjuangannya. Mendekap Myeko di dadanya, ia merangkak di antara puing-puing memanggil nama anak-anaknya yang lain. Darah mengucur di lutut dan jari-jari tangannya, tapi rangkaknya tak putus. "Toshio, Yaeko," ia menjerit berulang. Tak ada suara. Haruskah anak-anak itu mati, haruskah semuanya mati, setelah Isawa meninggalkan mereka? * * * Dr. Masakazu Fujii termasuk orang kaya di Hiroshima - dan juga hedonik. Pada hari-hari biasa ia tak pernah merasa perlu bangun pagi-pagi paling cepat pukul sembilan ia baru bangkit dari matras tatami. Berbeda dengan pagi itu, Senin 6 Agustus. Ia bangun pukul enam karena harus mengantarkan seorang kawan ke stasiun. Pagi yang cerah belum sepenuhnya terang ketika dokter itu berjalan bersama sahabatnya. Suasana lengang tak memberi tanda bencana akan datang. Benar, setiap orang di Hiroshima lagi bersiap menunggu ramalan mala petaka akan menjadi kenyataan, tapi penantian senantiasa bergeser - ah, bukan hari ini, mungkin besok. Sepanjang perjalanan ke stasiun, dan kembalinya, Masakazu Fujii tak menyaksikan suatu kegiatan khusus. Ia tiba di rumah sekitar pukul tujuh ketika sirene tanda bahaya mengaum. Karena pembawaannya yang tenang, dokter itu tak mempercepat langkahnya. Sirene macam itu, yang memang sudah berulang kali memecahkan kesunyian, tak lagi mampu menggugah kecemasannya. Ia masuk seperti biasa ke dalam rumahnya yang indah di tepi Sungai Kyo, dan makan pagi. Rumah Fujii yang separuh menggantung di tepi sungai itu - disangga balok-balok kayu yang dikonstruksikan - termasuk paling indah di Hiroshima. Kombinasi bangunan luas itu dengan taman di sekelilingnya bagai rumah peristirahatan yang sangat nyaman. Namun, kompleks itu bukan vila, melainkan rumah sakit pribadi Dr. Masakazu Fujii - yang dikenal sebagai "rumah sakit di tepi Jembatan Kyo". Di sana Fujii memeriksa dan merawat pasiennya. Di ruang prakteknya ia memiliki hampir segala peralatan modern yang diperlukan, sampai-sampai peralatan X-ray. Ada 30 ruang berbentuk pavilyun dilengkapi dapur sederhana, dengan daya tampung seluruhnya 60-90 orang. Menurut kebiasaan Jepang, seorang pasien yang mondok senantiasa ditemani satu-dua orang anggota keluarga yang bertugas merawat, memandi kan pasien, menghibur, dan memasak makanan. Perawat rumah sakit bertugas hanya di sisi medisnya - memeriksa perkembangan dan memberikan obat. Pada hari-hari biasa rumah sakit di tepi Jembatan Kyo itu hampir tak pernah sepi tapi sejak Juli, Fujii mulai menolak dan mengungsikan para pasiennya. Ia, seperti juga penduduk Hiroshima yang lain, percaya bahwa kota mereka itu dalam waktu dekat akan dikunjungi formasi B-san - dan sesudah itu sudah bisa diduga. Fujii tak mampu membayangkan apa yang harus dilakukannya dengan 60 jiwa di belakang rumahnya bila keadaan itu terjadi. Senin 6 Agustus itu di rumah sakitnya tercatat hanya dua pasien yang dirawat keduanya cedera karena pengeboman di kota lain dan terlampau parah untuk diungsikan. Tetapi di samping mereka enam perawat masih tinggal, juga dua pelayan, dan satu keponakan wanita. Istri dan seorang putranya telah lama diungsikannya ke Osaka. Seorang putranya lagi, dan dua putri, mengungsi ke pedalaman Kyushu. Fujii duduk bersila di ruang depan yang merupakan bagian yang berjuntai di atas sungai. Menghadapi sarapan, ia membaca surat kabar terbitan Osaka, Asahi - ia berlangganan surat kabar itu baru sejak istrinya berada di Osaka. Pada saat itulah tombol bom di antara dua jari di tangkai penembak Enola Gay ditekan. Dan beberapa saat kemudian Fujii merasakan cahaya luar biasa menyambar. Karena ia menghadapi surat kabar, cahaya itu berwarna kuning terang. Secara refleks ia bangkit. Namun, pada waktu yang berbarengan, lantai rumah yang dipijaknya berguncang bersama suara robekan yang dahsyat. Hampir semua bagian bangunan yang bisa dilihatnya runtuh ke arah ia terduduk - persisnya rubuh ke arah sungai. Balok-balok konstruksi menghantam keras tubuhnya (ia berada 1.417 m dari pusat ledakan). Fujii tak ingat lagi apa yang terjadi. Sekejap ia mengira dirinya sudah mati, tapi segera ia sadar masih hidup - dan, ternyata, sedang mengambang di permukaan sungai. Kepalanya tersangkut pada balok konstruksi bersilang, karena itu ia tak tenggelam. Beberapa saat ia tak mampu bergerak lengan kirinya terasa sakit sekali. Diam dalam pasrah, Fujii menyaksikan warna abu-abu mulai menutupi langit Hiroshima. Lalu hari jadi gelap. Dan makin gelap. * * * Beberapa jam sebelum Jam Nol, ketika formasi Enola Gay lagi disiapkan di Pulau Tinian, kereta api pagi dari Mukaihara ke Hiroshima berjalan seperti biasa. Di gerbong ketiga, dr. Terufumi Sasaki duduk termenung, agak gelisah. Dokter berusia 25 tahun itu baru saja melalui tidur yang tak tenang. Mimpi buruk telah menambah ketegangan yang dialaminya semenjak ia pulang ke Jepang. Mimpi itu membuat ia bangun lebih pagi, Senin 6 Agustus itu, dan dalam kegelisahan Terufumi memutuskan untuk berangkat saja ke rumah sakit. Dalam kereta api ia masih larut dalam mimpinya yang tak menyenangkan. Mimpi itu sangat dekat dengan kenyataan yang dialaminya: sebuah konflik yang tak terselesaikan. Terufumi seorang idealis: ingin berbuat banyak bagi masyarakat pedalaman Mukaihara, tempat kelahirannya dan tempat ibunya tinggal. Tapi, birokrasi yang kaku dan kode etik kedokteran yang tak bisa berkompromi seolah tak mau melihat kenyataan. Ia dihambat untuk menolong orang - apa orang-orang itu sudah gila, pikirnya. Terufumi berusaha keras untuk tabah, tapi lama-lama tak tahan. Dalam mimpinya, ia diseret polisi keti ka sedang menolong seorang petani yang luka. Lalu di sebuah ruang tertutup, ketika ia sedang diinterogasi, dokter atasannya menghambur masuk, menyeretnya ke luar, dan menghajarnya habis-habisan. Ia pun meloncat - dan bangun, dengan napas memburu. Di kereta api itu Terufumi mulai mempertimbangkan akan melepaskan saja niatnya menolong masyarakat pedalaman di tempat kelahirannya dan berhenti bekerja di rumah sakit Mukaihara. Selanjutnya memusatkan diri pada rumah sakit Palang Merah di Hiroshima, tempat kerjanya yang resmi. Terufumi Sasaki memang dokter Palang Merah Hiroshima. Ia baru saja lulus dari Fakultas Kedokteran Tsingtao, Cina. Masa perang segera mengundang tekadnya untuk menolong bangsanya. Karena itu, ia bergabung ke rumah sakit Palang Merah. Namun, di Mukaihara, kawasan pedalaman 30 mil dari Hiroshima, Terufumi menemukan banyak korban pengeboman dari daerah sekitar yang tak tertolong. Ia terpanggil, dan sudah siap merelakan seluruh hidupnya dengan bekerja di dua rumah sakit. Tapi tak mudah terwujud. Dokter muda idealis itu kecewa dan sangat marah. Setelah dua jam perjalanan, pukul 7.45 Terufumi Sasaki tiba di Hiroshima. Masih digigit konfliknya, ia masuk rumah sakit Palang Merah dan segera memulai tugasnya: melapor kepada ahli bedah kepala dan menuju ruang kerja di lantai dua. Pukul 8.15 Terufumi naik ke tingkat tiga untuk mengetes darah. Dengan botol darah di tangan, ia mendaki tangga dengan lesu. Ketika itulah, lepas Jam Nol, awak Enola Gay menghitung 43 ketukan. Dan pada hitungan terakhir Terufumi merasakan berkas cahaya sangat benderang menerangi seluruh rumah sakit bagai nyala lampu kilat alat pemotret raksasa. Dokter itu, yang berada satu langkah dari jendela, merasakan tekanan sangat besar mendobrak jendela kaca dan meniup botol darah di tangannya, mengempaskannya pada tembok yang terletak beberapa meter dari sana. Ia merasa lepas dari sandal yang digunakannya - dan melayang ke bordes tangga di bawah (Terufumi berada 1.509 m dari pusat ledakan). Dokter itu tak tahu persis apa yang terjadi, tapi ia segera berlutut - bagai samurai - lalu menundukkan kepala, mengencangkan dua kepalan tangannya, dan menjerit membangun semangatnya: "Sasaki, gambare!" (Sasaki, tabahlah ! ). Lalu, di tengah deru aneh, ia berlari panik di sisa-sisa koridor yang masih bisa dikenalinya.Ia mendobrak pintu ruangan ahli bedah kepala dan menemukan atasannya itu tewas dalam keadaan yang mengerikan: pecahan kaca menancap di tubuhnya yang separuh terkelupas. Ia berlari lagi, dan menemukan pasien yang baru ditinggalkannya mati terkapar tertimpa balok-balok beton. Rumah sakit Palang Merah Hiroshima nyaris runtuh total - membuat Terufumi mengira sebuah bom telah jatuh tepat di situ. Di antara puing-puingnya, sejumlah pasien kucar-kacir dalam panik. Sejumlah lagi terkapar, atau tergantung mati. Terufumi berusaha mati-matian mengatasi keadaan, tapi sia-sia: ia satu-satunya tenaga medis yang masih hidup, sementara semua perawat dan dokter di situ ternyata tewas. Ketika udara mulai menggelap, di jalan raya Terufumi menyaksikan sejumlah korban menyeret-nyeret tubuh mereka mendekati puing-puing rumah sakit - yang barangkali tak banyak lagi artinya. Terufumi sudah melupakan mimpi - buruknya semalam - kini ia menghadapi ikhwal buruk yang sebenar-benarnya. * * * Enola Gay, si pengebom B-29 seberat 4.500 kg, memutar haluan kembali ke pangkalannya di Pulau Tinian, utara Marianas, 1.600 mil arah selatan. Kala itu awan tebal berbentuk jamur membubung dari Hiroshima yang ditinggalkan, miring sekitar 10 dari aksis, melebar, dan semakin tebal. Di bawahnya udara menggelap: api sepanas 3.000 Celcius sudah berhasil membakar hampir seluruh bagian kota - api, di mana-mana hanya api, kini. Lalu udara mendingin. Dan angin mulai menderu - dari semua arah. Kiyoshi Tanimoto, pendeta berusia 35 tahun itu, berlari dan berlari kendati kepanikan mulai surut di dadanya. Ia tak lagi mendaki bukit, sebaliknya berlari menuju pusat kota. Tak sampai 200 m, ia mulai sadar bahwa mala petaka yang dialaminya di batas kota ternyata sebuah bencana yang maha dahsyat. Di sepanjang jalan ia melihat penduduk berseliweran dalam panik, dan sejumlah besar korban terkapar di mana-mana dengan luka bakar menganga. Hati Kiyoshi berdebar keras sebagai pendeta yang perasa ia segera merasa iba, tapi sebagai orang Jepang sebuah rasa bersalah memburunya karena merasa satu-satunya orang yang tak cedera. Shu Jesusu, awaremi tamai, gumamnya - dan mulai menolong secara serabutan. Digotongnya seorang wanita tua yang seluruh tubuhnya berdarah, mengikuti arus korban lain menuju sebuah sekolah tak jauh dari batas kota. Di tengah jalan ia masih pula membantu seorang anak yang menyeret-nyeret kakinya, dengan sebelah tangan. Beringsut-ingsut rombongan korban sampai ke tujuan. Dan ditempat penampungan itu Kiyoshi terkejut begitu banyak orang bergelimpangan tak lagi dapat dibedakan mana yang masih hidup dan mana yang sudah mati. Kiyoshi Tanimoto tak dapat memasukkan kenyataan itu ke dalam kepalanya: Seberapa besarkah bencana yang telah terjadi? Hujan bom macam apa yang telah diturunkan? Rasa ingin tahu membuat Kiyoshi balik berlari ke kaki bukit. Dari sana, pikirnya, ia dapat memastikan berapa besar kerusakan telah menjarah Koi. Dari kaki bukit ia mendaki, mencari tempat yang tinggi, agar seluruh Koi bisa dilihat. Dan di situlah Kiyoshi menyaksikan: bukan cuma Koi - tapi seluruh wilayah Hiroshima lumat sudah. Dari situ pula ia melihat awan tebal mengerikan tumbuh dari muka bumi. Kini panik memburunya lagi: Apa yang terjadi pada gerejanya, rumahnya, tetangganya, istrinya di Ushida? Dalam teror ia mulai lagi berlari menuruni bukit. Berlari. Berlari. Saat itu Hatsuyo Nakamura sedang merangkak putus asa di antara puing-puing rumahnya, mencari kedua anaknya yang masih terbenam. Jerit histeris nya terdengar dengan tetap dan berkepanjangan. "Tatsukete! Tatsukete!" (Tolong! Tolong!) terdengar samar suara anak 10 tahun di antara reruntuhan. "Toshiooo!" Hatsuyo membalas jeritan itu, merangkak sejadi-jadinya menuju sumber suara. Lalu mulai menggali bagai orang gila. Satu bungkah disisihkannya, dua bilah papan disingkirkannya, dan ia menggaruk. Dari lekukan itu tampak sebuah gerak lemah: Toshio, anaknya, rupanya mulai pula menyisihkan reruntuhan dari bawah. Sebuah tangan menyembul. Lalu yang lain. Dab akhirnya wajah dan tubuh yang penuh debu. Juga sebuah tangan lain. "Yaeko! " Hatsuyo memanggil. Tapi tak ada jawaban. Kembali ibu itu menggaruk tanah bersama anaknya yang sulung. Pada lekukan yang makin dalam, terlihat Yaeko terbaring. "Itai!" (sakit!) seru adik Toshio itu, sambil menunjuk kakinya, ketika Hatsuyo mulai menariknya: sebuah balok kayu menyilang di sana. Kepanikan Hatsuyo menurun. Tak satu pun anaknya kena cedera berat, ternyata, dan kini ia memulai perjuangan untuk survive. Ia menggiring anak-anaknya ke jalan. Di sana rombongan korban lain sudah bergerak ke jalan raya. Tetapi arus korban belum lagi mencapai jalan besar ketika badai dan angin dingin membubarkan mereka. Sejumlah korban lagi terkapar mati, yang lain lintang-pukang tak menentu. Badai dingin yang menderu itu menyambar pula dr. Masakazu Fujii di Jembatan Kyo. Ia berhasil selamat, di kaki jembatan, dan memanjat ke atas. Waktu itulah angin dingin berembus. Fujii berusaha bertahan dengan merangkul sisa-sisa jembatan yang separuhnya telah runtuh - sampai tiupan agak mereda. Di situ pula Fujii bertemu dengan seorang dokter lain, Machii. Keduanya segera menuruni jembatan, dan menemukan sejumlah besar korban bergelimpangan bagai daging mentah tercecer di mana-mana. "Apa yang sebenarnya terjadi ?" tanya Fujii. Machii berpendapat, mungkin sekali molotoffano hanakago (keranjang molotov) dijatuhkan dalam jumlah banyak dari udara. Namun, keduanya masih juga bertanya-tanya, kerusakan dan luka bakar yang terjadi tampaknya bukan cuma akibat api. Mereka tentunya tak tahu sama sekali - bahkan tak membayangkannya - bahwa bom yang menimbulkan bencana itu adalah bom atom yang berkekuatan 20.000 ton TNT dan memiliki radiasi yang menghancurkan sel-sel tubuh, bahkan benda-benda keras. Dalam waktu tak berapa lama, Fujii dan Machii bergabung dengan dr. Terufumi Sasaki di puing-puing rumah sakit Palang Merah. Tapi tak banyak yang dapat mereka lakukan - tiga dokter di tengah korban yang menggunung. Memang. Dari 150 dokter di Hiroshima, 60 orang mati seketika, sisanya terkapar tak berdaya. Dari 1.780 perawat, 1.654 tewas dalam tugas . * * * "Tak seorang pun dari mereka mengerti mengapa mereka selamat," tulis John Hersey pada laporannya 40 tahun yang lalu itu. Tanda tanya itu berlaku panjang. Kiyoshi Tanimoto, Terufumi Sasaki, Hatsuyo Nakamura bersama anak-anaknya, dan Masakazu Fujii belum tentu pula selamat dalam arti permanen. Radiasi nuklir cukup sabar menggerogoti tubuh dari dalam sebelum merenggut seluruh kemenangannya. Dan cukup rela untuk membiarkan satu dua wawancara dilangsungkan terlebih dahulu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus