MAU menikah, atau bercerai? Boleh-boleh saja. Syaratnya: sediakan buntut tikus. Kalau tidak, jangan harap pak penghulu mau menyambungkan atau memutus aliran cinta. Ketentuan itu diberlakukan bagi semua penduduk Desa Wirakanan, Indramayu, sejak awal bulan lalu. Wajib setor itu diundangkan karena hama tikus kian tak terbendung. Dalam musim panen lalu, ibaratnya padi lebih banyak yang dimakan tikus ketimbang yang bisa dibawa pulang. Betapa lucunya. Musyawarah desa segera diadakan, dan wajib setor buntut tikus pun dikeluarkan. Pasangan yang mau menikah wajib menyediakan 10 ekor. Yang mau cerai - mungkin dengan maksud agar tak sering terjadi-dua kali lipat: 20 ekor. Adapun penduduk yang mau hajatan diwajibkan menyetor 30 ekor. Sedangkan bila ada acara, HUT Proklamasi Kemerdekaan RI misalnya, tiap kepala keluarga wajib memburu 10 tikus dan menyerahkan buntutnya ke Balai Desa. Sambutan penduduk ternyata cukup baik. Tepat satu bulan sejak undang-undang pertikusan diberlakukan, menurut Endang Subagdjo, sekretaris desa, telah terkumpul (baca: terbunuh) 7.000 ekor tikus. Durpadi, 20, yang hendak menikah dengan Tulyadi, 17, menganggap kewajiban memburu tikus itu positif: untuk membebashamakan desa sendiri, bukan? Menjelang hari pernikahan, setiap hari ia "menabung" barang 2-3 ekor tikus yang dapat ditangkap. Kadinah, 22, yang baru saja menceraikan istrinya, Tasmen, 18, juga tak menganggap ketentuan itu sebagai beban. "Besar manfaatnya," ia berkata. Lagi pula, "Bebek saya menjadi gemuk." Begini: tikus yang bisa diburu, ekornya disetorkan, sedangkan bagian tubuhnya yang lain ia cincang dan sodorkan kepada para bebek.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini