ENAM belas ekor sapi telah disembelih - pada Idul Adha yang baru lalu di Lorong 10, Kelurahan Bantan, Medan Denai. Ini sangat mencengangkan. Penduduk di lorong tersebut bukanlah orang yang kaya raya. Sebagian besar mereka hidup di sektor informal, seperti tukang becak, penjual es cendol, penjual bakso, atau buruh cuci. Hanya satu dua yang pegawai negeri - itu pun paling tinggi golongan II A. Sapi yang disembelih untuk kurban ternyata dibeli secara patungan. Sekitar 112 kepala keluarga yang bermukim di situ sepakat menyumbang Rp 150 per hari. Uang tadi disetor kepada Rajamin, bendaharawan gerakan berkurban itu, yang segera pula menyetorkannya ke BRI. Bila jumlahnya sudah Rp 1 juta, uang diambil dari bank dan diberikan kepada Haji Sayuti Batubara, saudagar sapi. Dalam setahun, tabungan kolektif itu mencapai hampir Rp 5 juta. Cukup untuk membeli 16 ekor sapi (harga seekor sekitar Rp 280 ribu). "Ibadat kurban memang bukan monopoli orang kaya," tutur Rajamin. Kepala Lorong 10, Hasyim, menilai semangat berkurban warganya tinggi sekali. Hal itu sudah dimulai sejak 1970. Ketika itu jumlah sapi yang disembelih hanya dua ekor. Dari tahun ke tahun, meski harga sapi terus meningkat, jumlah yang bisa disembelih malah lebih banyak. Minah, 34, istri penarik becak, merasa enteng saja dikutip Rp 150 sehari. Kebetulan, ibu lima anak ini punya penghasilan Rp 15 ribu sebulan, sebagai buruh cuci. "Upahku itu uang keringat yang halal. Agar semakin berkah, aku ikut berkurban," katanya. Adalah Juraedin, 53, yang mula-mula mencetuskan gagasan itu. Meski gerakan bernapas keagamaan itu mendapat sambutan luas, warga Lorong 10 sendiri tak pernah gembar-gembor. "Kami takut menjadi riya, beramal hanya untuk dipuji," tutur mereka.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini