Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Teka-teki Mayat Dalam Bagasi

Komarudin, 26, tewas ditembak tunggul, dimasukkan ke dalam bagasi mobil, dibawa keliling kota sebelum diantar ke kantor polisi. Motifnya belum jelas. Bermula dari urusan jasa calon haji. (krim)

7 September 1985 | 00.00 WIB

Teka-teki Mayat Dalam Bagasi
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
JAM menunjukkan pukul 20.00 ketika sebuah sedan merah tiba-tiba 'nyelonong masuk ke halaman Polres Jakarta Timur. Dua pria yang duduk di depan terdengar bertengkar dan berebut kunci mobil. Rupanya, ada yang tak beres. Perwira piket malam itu, Letda Sobri Effendi, bersama beberapa petugas lain berusaha mendekat untuk mengetahui apa yang terjadi. Ketika itulah, pria yang duduk di belakang kemudi mengulurkan kedua tangannya, minta diborgol. Ia, yang belakangan diketahui bernama Amos alias Polman, sekaligus memberi tahu bahwa dalam bagasi mobil B 1946 WZ itu ada sesosok mayat korban pembunuhan. Malam itu juga, Jumat 23 Agustus lalu, Amos dan temannya, Tunggul, ditangkap. Sayang, seorang penumpang yang duduk di belakang keburu kabur. Itulah mula cerita kasus pembunuhan yang penuh diliputi tanda tanya ini. Identitas korban memang sudah diketahui. Ia bujangan, asal Bogor, bernama Komarudin dan berusia 26 tahun ia tewas akibat sebuah luka tembak di atas telinga kanan yang tembus ke bawah mata kiri. Luka itu diduga diakibatkan oleh peluru pistol FN 46, milik Tunggul, seorang oknum ABRI yang tugasnya di Serang, Jawa Barat. Tapi, mengapa ia ditembak dan dengan maksud apa mayatnya ditaruh di bagasi serta dibawa kian kemari, sejauh ini jawabannya masih samar-samar. Berdasarkan pemeriksaan sementara, Tunggul mengaku bahwa dialah yang menembak korban. Penembakan terjadi, kata sumber TEMPO, di daerah Kranji, sekitar pukul 02.00 hari Kamis - atau 18 jam sebelum mayatnya dibawa ke Polres. Pemeriksaan sementara juga menyimpulkan bahwa Amos, satpam di Perumtel dan pelatih bela diri, mungkin tak terlibat. "Ia mengaku baru dijemput Tunggul Jumat pukul 17.30, atau 15 1/2 jam setelah pembunuhan terjadi," kata sumber itu. Amos, agaknya, juga tak mengenal korban, yang pernah menjadi mahasiswa di Universitas Jayabaya, Jakarta. Tapi Tunggul, menurut keluarga korban, jelas mengenal Komar - paling tidak dalam dua minggu terakhir. Dan bahkan Tunggul, yang menurut sebuah sumber sejak dua bulan sebelumnya melakukan desersi, pernah datang dan menginap di rumah Rafe'i, paman korban, pemilik mobil B 1946 WZ itu. "Tunggul itu 'ngakunya bernama Tony," tutur kerabat korban. Perkenalan korban dengan Tunggul, alias Tony, terjadi di PT Transa 84, biro jasa yang sering mengurus pemberangkatan calon haji atau umroh milik H. Satia. Tak tahu karena apa, setelah mengantungi uang dari sekitar 70 orang (seorang membayar sekitar Rp 2,5 juta), Satia menghilang dari kediamannya di kompleks Paswalpres Kota Batu, Bogor. Rumah itu bukan rumah Satia, melainkan kediaman ayahnya, yang memang anggota Paswalpres. Tunggul dikabarkan mendapat mandat dari tiga calon haji asal Serang untuk mengurus ganti rugi pembayaran yang telah disetor. Sedangkan Komar, menurut ayahnya, H. Kosasih, dimintai tolong oleh empat orang yang masih-ada hubungan famili dengan korban untuk mendapatkan uangnya kembali. Entah dari mana, Komar berhasil memperoleh tujuh tiket ke Arab dari Satia. Para korban, rupanya, berniat menguangkan saja tiket tadi. Namun, PT Ayuberga General South Agent, agen tunggal maskapai penerbangan Arab Saudi, hanya mau menerima bila yang menguangkan H. Satia sendiri. Diam-diam, Satia rupanya muncul menguangkan tiket tadi senilai Rp 8 juta lebih. Tapi, kabarnya, uang itu tak pernah diberikan kepada siapa pun. Sejak itulah, entah karena apa, Komar tampak sering bersama Tunggul. Pada tanggal 20 Agustus, misalnya, keduanya bersama seorang petugas dari Ditjen Haji dan seorang lain lagi mendatangi rumah Satia yang sudah ditinggalkan penghuninya di Kota Batu. Menurut Karsi, kepala desa, mereka menanyakan harta H. Satia yang kira-kira bisa dijual untuk ganti rugi. "Komar saya lihat gemetar ketakutan saat disuruh mengetik surat karena dimarahi oleh utusan Ditjen Haji," kata Karsi. Dan hari itu juga Komar pergi bersama Tunggul ke Jakarta, menemui seseorang. Di rumah orang itu, Tunggul menelepon entah siapa, dan berkata, "Hari ini Om nggak pulang, ada obyekan besar. Kalau beres, nanti Om belikan mainan." Tunggul juga menelepon ke Surabaya, yang tak diketahui isinya karena ia berbicara dalam bahasa Batak. Dua hari kemudian, Kamis 22 Agustus, Komar kembali berdua dengan Tunggul. Hari itu, ia dimintai tolong Haji Rafe'i untuk mengambilkan sedannya yang dititipkan di suatu tempat karena beberapa hari sebelumnya bertabrakan dengan sepeda motor. Sedangkan Tunggul, yang malam itu menginap di rumah Rafe'i, dimintai tolong mengurus SIM dan STNK yang ditahan di Polsek Tambora. Sejak itu, Komar tak pernah kembali kerumah Rafe'i. Petang hari, ia memang sempat ke Bogor bersama Tunggul dan dua orang lainnya yang tak dikenal. Mereka, lagi-lagi, ke rumah Satia, dan menjelang malam baru mereka pergi dari sana. Bisa jadi, sejak itu - entah dengan alasan apa - Komar berada dalam cengkeraman Tunggul dan kawan-kawan. Buktinya, pada pukul 21.00, adik korban menenma telepon yang menyebutkan bahwa korban malam itu tidak pulang karena ada urusan di Jakarta. "Si penelepon mengaku interlokal dari Jakarta. Tapi saya yakin, ia menelepon dari Bogor karena suaranya jelas sekali," tutur adik korban. Kata sumber TEMPO, dari Bogor mereka ke kompleks pelacuran di Bekasi. Dari sana menuju Jakarta. Pada pukul 02.00, Jumat 23 Agustus, korban, yang memegang setir, mengatakan mau buang air kecil. Mobil diberhentikan dan ia melangkah ke luar. Pada saat itulah korban ditembak. Mayatnya dimasukkan ke dalam bagasi, dan ditaburi bubuk kopi - mungkin untuk menghilangkan bau tak sedap. Dimasukkannya korban ke bagasi cukup mengherankan, "Kalau si pelaku ingin menguasai mobil, mengapa korban tak dibuang saja? Bahwa ia dibawa ke mana-mana, tampaknya ada maksud tertentu," tutur sebuah sumber. Dan, andai kata Amos tidak membelokkan kendaraan ke Polres Jakarta Timur, kasus pembunuhan itu mungkin tak segera diketahui. Amos tahu bahwa dalam bagasi ada mayat setelah mendengar cerita Tunggul. Juga karena saat duduk di belakang kemudi joknya terasa basah - yang setelah diperiksa ternyata darah. Andai kata tersangka yang satu lagi - menurut Amos, orang itu adik Tunggul, tapi sumber lain mengatakan bahwa ia seorang residivis - tidak keburu lari, mungkin ia bisa ditanyai hingga kasus ini jelas duduk soalnya. Tapi, kata Sobri, malam itu ia tak segera mengejar karena, "Kami belum tahu persis apa yang sebenarnya terjadi." Surasono Laporan Bunga Surawijaya (Jakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus