Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Hatta: Serigala, Rasuna Said: Kucing Garong

13 Agustus 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Mengamati kartun editorial koran Jakarta tahun lima puluhan seakan menikmati pesta-pora kebebasan pers. Koran dan kartun melempar kritik, cercaan, bahkan tuduhan secara terbuka. Kartun sendiri sudah lama tampil di koran sebagai taman visual pelepas lelah dari membaca teks yang ketat linear. Tapi, pada era demokrasi parlementer, kartun sangat vokal dimanfaatkan sebagai alat menjatuhkan citra lawan politik. Kartun dengan bebas menyerang lawan, baik kebijakan maupun tokohnya.

Masa itu trial by the press seakan hal lumrah. Lelucon politik lewat kartun dieksplorasi dengan penuh semangat. Berkias (metafora) lewat gambar yang umumnya dipercaya sebagai upaya menghaluskan (sofistikasi) ungkapan, malah sering dipakai untuk memperkerasnya menjadi kasar.

Suasana kritik terbuka ini tak lepas dari peran partai-partai dan ideologi yang setelah usai perang kemerdekaan berebut pengaruh menentukan jalannya haluan negara. Baik nasionalis, sosialis, komunis, maupun golongan agama merasa punya hak sama dalam mengisi kemerdekaan. Partai berebut posisi untuk duduk dalam kabinet. Koalisi antar partai dan golongan dilakukan untuk menjatuhkan kabinet yang rata-rata umurnya tak lebih dari setahun. Konflik tak hanya terjadi antar partai, tapi juga antara tokoh senior dan anggota muda separtai.

Di tengah persaingan ini, tentara pun mau ikut mengatur karena merasa berjasa merebut kemerdekaan. Sementara itu, masalah internal tentara antara panglima pusat dan daerah tak kunjung selesai. Masa yang sangat dinamis dengan kekuatan berbagai pihak yang berimbang mengakibatkan situasi tak pernah stabil dan penuh perseteruan.

Berbagai masalah yang muncul di negara muda menjadi bahan pertikaian antargolongan. Perubahan dari negara serikat menjadi negara kesatuan jadi masalah pertama, terjadi penolakan dari pemimpin negara bagian. Janji pengembalian Irian Barat tak kunjung terlaksana. Pemilihan umum tertunda-tunda. Rencana pakta pertahanan dengan Amerika (Mutual Security Act) ditentang banyak pihak yang anti-Barat. Niat Angkatan Darat membubarkan parlemen pada 17 Oktober 1952 digagalkan Presiden. Pemberontakan muncul di berbagai daerah. Inflasi melambung, banjir barang impor ditambah harga kebutuhan pokok makin mencekik. Korupsi dan kolusi merajalela, sementara kemiskinan terjadi di mana-mana.

Peristiwa demi peristiwa tumpang-tindih tak terselesaikan. Berbagai isu negatif ini dijadikan senjata para oposan di parlemen untuk menjatuhkan kabinet melalui mosi tidak percaya. Silih berganti diangkat perdana menteri dan menteri-menteri baru. Dalam waktu tujuh tahun, tujuh kali pula kabinet berpindah tangan.

Untuk bersaing merebut opini, setiap golongan memanfaatkan koran sebagai media menyebarkan paham dan pendapat. Sejak masa penjajahan, koran memang telah menjadi alat perjuangan melawan penjajah. Sikap demikian juga menonjol pada koran masa revolusi. Tahun lima puluhan, koran digunakan pula sebagai alat kampanye partai atau koran partisan, misalnya Suluh Indonesia menyuarakan aspirasi PNI, Harian Rakjat dan Bintang Timur mewakili golongan kiri, dan Abadi sebagai suara golongan Islam. Beberapa koran mencoba bersikap independen, seperti Pedoman dan Merdeka, meski kadang cenderung ke salah satu pihak. Indonesia Raja bersikap antikiri dan kritis terhadap pemerintah, terutama Soekarno.

Melalui koranlah kartun editorial berkiprah mengomentari berbagai kejadian, sesuai dengan misi dan ideologi redaksi. Kartun mendapat kedudukan penting karena bahasa gambar lebih cepat ditangkap pembaca dibanding artikel tertulis. Beberapa koran meletakkan kartun pada halaman pertama atau setidaknya halaman tiga. Harian Rakjat hampir tiap hari menayangkan kartun. Teknik gambar dengan kuas lebih banyak ditampilkan daripada dengan pena, kadang juga krayon hitam dipakai untuk nada tengah. Kartun dicetak hitam-putih sesuai dengan kemampuan teknologi koran masa itu.

Kartunis editorial yang menonjol antara lain Ramelan (Suluh Indonesia), Sibarani (Bintang Timur), Mieke Sd. (Abadi), dan S. Soeharto (Indonesia Raja). Abdul Salam dan Dukut Hendronoto (Ooq), yang berkartun pada masa revolusi, tak banyak berperan dalam perang koran Jakarta masa itu. Abdul Salam mengisi koran Kedaulatan Rakjat di Yogya, Dukut Hendronoto berkarya di majalah Angkatan Darat. Melalui koran-koran, kartunis secara terbuka mengomentari situasi sesuai dengan pandangan korannya. Seorang tokoh politik dapat diopinikan sebagai pahlawan di satu koran, sekaligus pecundang di koran lawannya. Burhanuddin Harahap bisa menjadi pahlawan pemberantas korupsi di Indonesia Raja, sementara di Suluh Indonesia diolok habis selayak pesakitan.

Gaya gambar kartun editorial yang muncul kebanyakan realistis mendekati ketepatan obyek, baik manusia maupun kelengkapan sekitarnya. Sibarani sering lebih bebas tak terlalu taat anatomi lewat garis kontur spontan pena saja. Gaya garis demikian kemudian dikembangkan banyak kartunis editorial di era Orde Baru. Beberapa idiom kartun, seperti tubuh besar untuk yang berkuasa dan tubuh kecil mewakili rakyat, orang gendut sebagai koruptor, bersarung untuk golongan muslim, dan hidung panjang untuk orang Barat, telah digunakan masa itu.

Stereotipe demikian masih kita jumpai pula dalam kartun masa kini. Yang menarik, secara umum, kartunis masa itu menampilkan profil wajah Indonesia dengan baik. Profil lokal juga sangat umum tampak pada gambar serta ilustrasi buku, majalah, koran, dan iklan masa itu. Sepertinya para penggambar masa itu lebih pede pada ras sendiri daripada perupa masa kini.

Menggunakan binatang sebagai kiasan pun bebas dilakukan. Golongan Islam sebagai unta, nasionalis banteng, komunis beruang, politikus dibrongsong seperti anjing, Simbolon berwajah monyet, Rasuna Said kucing garong, Wilopo menyembunyikan kepala seperti burung unta, dan Hatta dimisalkan sebagai serigala induk Romulus Remus pendiri Kota Roma. Padahal, bagi orang Indonesia, menggambarkan tokoh sebagai binatang dianggap penghinaan. Tapi menyamakan golongan dengan binatang masih bisa diterima, seperti halnya di Amerika keledai mewakili Demokrat dan gajah mewakili Liberal. Perbedaan masa itu dengan masa kini adalah penggambaran koruptor sebagai kucing, bukan tikus. Mungkin ini karena koruptor masa itu terlihat manis seperti kucing. Boleh jadi koruptor sekarang lebih menjijikkan seperti tikus.

Untuk pemindahan situasi dalam berkias kadang dipilih budaya setempat yang dikenal, seperti lomba panjat pinang, perang partai jadi adu layang-layang, Hatta beradu silat dengan Aidit, kabinet Ali kehilangan muka, dan Bung Karno memukul tong kosong. Tapi banyak pula kartun yang menggunakan idiom global, seperti pelintiran poster film Hollywood, lagu Barat yang sedang populer, Don Quischot de la BH, tiup lilin ulang tahun, dan bicara bahasa Belanda atau Inggris.

Harian Rakjat dan Bintang Timur yang kiri pun kartunnya menggunakan idiom kota: Gone with the wind, kuda Troya, pesta dansa-dansi PSI, serigala dan tiga babi kecil dari Walt Disney, misalnya. Pembaca diharapkan dapat menangkap kiasan budaya global tersebut. Ini menunjukkan bahwa permainan kartun ditujukan untuk golongan yang tinggal di perkotaan dan berpendidikan baik. Yang menonjol pada masa itu, berkias digunakan untuk memperkeras olokan. Sikap demikian berbeda dengan kartun masa matang Orde Baru, yang umumnya lebih sembunyi-sembunyi, elipsis, metafora samar, dan eufemisme. Sindiran kartun masa demokrasi parlementer sangat terbuka, tunjuk hidung, dan sering kali sinis.

Setelah pemilihan umum, suasana makin panas. Masyumi, yang sementara dianggap kekuatan terbesar, hanya mendapat peringkat kedua, di bawah PNI, karena ditinggalkan NU. PSI, yang banyak berkiprah sebelumnya, cuma di peringkat kedelapan. Sementara itu, kabinet makin tak mesra dengan tentara. Pembelotan militer daerah kian marak, dibarengi penyelundupan melalui pelabuhan di luar Jawa.

Dengan dukungan A.H. Nasution, Soekarno mengumumkan keadaan darurat perang (SOB) pada 14 Maret 1957. Sejak itu, praktis kekuasaan negara berada di tangan Presiden, dan surutlah kekuatan para penentangnya. Kaum nasionalis dan kiri terus mendesakkan tuduhan kepada golongan sosialis dan Masyumi sebagai musuh negara--keadaan makin tak berimbang.

Kartun editorial menjadi sangat sarkastis dan sepihak digunakan untuk memukul lawan politik Soekarno, pemimpin besar revolusi. Sejak dekrit presiden 5 Juli 1959, Indonesia memasuki era otoriter Demokrasi Terpimpin hingga tahun enam puluh lima.

Priyanto Sunarto, kartunis

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus