Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Seandainya

13 Agustus 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Benedict R.O.G. Anderson

  • Peneliti

    KETIKA datang pertama kali ke Indonesia menjelang akhir 1961, harus diakui bahwa saya tidak terlalu peduli pada masa Demokrasi Liberal/Konstitusional yang sudah lewat beberapa tahun. Anak ingusan, memang. Tetapi mungkin juga karena saya merasa bahwa Demokrasi Terpimpin dalam prakteknya—paling sedikit di Jakarta—tidak terlalu terpimpin. Meminjam perkataan seorang Marxis Austria yang pasti jahanam, demokrasi jenis ini adalah Absolutisme gemildert durch Schlamperei (Keotoriteran yang dibikin lembut oleh kesemrawutan). Sistem politik boleh berubah, tetapi masyarakat yang timbul dari saat-saat akhir kekuasaan negeri kecil di Eropa Utara bernama Belanda, lalu pendudukan si kate Jepang, dan dari masa revolusi (yang menurut Pramoedya Ananta Toer, akhirnya menjadi ”ikan yang terdampar”) justru tidak banyak berubah.

    Jakarta tetap satu kota yang bukan Kota Raya, tetapi segerobak kampung yang saban hari ujel-ujelan mencari nafkah. Belum dikotori gedung pencakar langit, belum dibikin jelek dengan Pondok Indah, belum ada perpisahan antara gedung orang berada dan gubuk orang miskin, becak belum dilarang di jalan raya, anak-anak kampung masih bermain sepak bola di depan HI, dengan satu pihak memakai celana pendek sedangkan lawannya telanjang bulat. Malam hari bisa main catur di pinggir jalan dengan siapa saja, dari tukang becak sampai sekretaris jenderal sebuah departemen. Saat itu pula, untuk pertama kalinya dalam hidup, saya melihat banci berkeliaran yang betul-betul cantik, bukan karikatural.

    Orang yang betul-betul kaya jarang ada, termasuk para menteri. Bahasa Indonesia masih bersifat merdeka, belum dikurung dalam bui menyeramkan yang disebut ”Bahasa yang baik dan benar”. Mudah sekali bertemu semua golongan: entah PNI, Masyumi, PKI, PSI, NU, pun apa yang belakangan disebut anak-anak muda yang marah sebagai ”laler ijo”. Mau nonton wayang di Istana Merdeka, nggak jadi masalah (Cakrabirawa ikut menonton dengan asyik) asal bisa tahan gigitan serangga yang berkeliaran pada tikar-tikar yang disediakan oleh Pemimpin Besar Revolusi.

    Memang, beberapa minggu setelah saya datang, kelompok Sutan Sjahrir ditahan. Tetapi, dugaan saya, suasananya relatif enak, tidak disiksa, boleh membaca buku dan mendengarkan radio, seperti nasib Tan Malaka yang diperlakukan serupa (1946–1948) oleh kabinet-kabinet pemerintah pimpinan Sutan Sjahrir, Amir Sjarifuddin, dan Bung Hatta. Jadi, Demokrasi Terpimpin dirasakan sebagai lanjutan wajar dari masa sebelumnya, belum sebagai ”pratanda” datangnya era Soeharto kelak yang sangat berlainan.

    Walaupun inflasi sudah mulai merangkak, belum terasa bahwa itu akan menjadi bom waktu yang akan menghancurkan semuanya pada 3–4 tahun selanjutnya. Ketika itu, saya menjadi fans berat wayang kulit yang saya rasakan sebagai dunia tersendiri yang amat elok dan sempurna.

    Baru pada usia tua sekarang ini, muncul dugaan saya bahwa daftar penghuni kahyangan sebenarnya tak lengkap. Mungkin karena dunia wayang dikontrol 100 persen oleh hukum karma, nasib, keputusan rapim para dewata. Tapi ada yang absen: seorang dewi cantik sekaligus mengerikan. Namanya Dewi Fortuna. Boleh juga dikatakan Dewi Kebetulan, Dewi ini, justru karena absen, tidak bisa disuguhi harumnya wangi kemenyan.

    ”Kebetulan” saya baru mewawancarai, secara imajiner, Dewi Kebetulan, yang dari bahasa blak-blakannya pasti dipengaruhi oleh gerakan emansipasi wanita. Inilah beberapa bagian kecil dari renungannya yang panjang lebar.

    Pertama, dengan tawa manis-sadis, dia bilang ”Elu kok masih yakin bahwa bangsa Indonesia baru bisa merdeka karena ada Revolusi? Yang benar ah! Coba pikir, elu percaya bahwa tanpa revolusi Indonesia akan tetap menjadi tanah jajahan sampai sekarang? Mana mungkin! Filipina ’merdeka’ pada 1946, Birma 1947, Malaysia 1957, dan hampir seluruh Afrika pada 1960-an. Semuanya tanpa revolusi. Setelah Perang Dunia ke–2 kolonialisme tak laku lagi. Kalau Indonesia sabar sedikit, mana mungkin si kecil Belanda akan tetap menguasai Indonesia sampai 2007? Cuma segelintir bangsa yang merasakan perlu melakukan revolusi: Vietnam, Aljazair, dan dua-tiga negara lagi. Revolusi Indonesia itu kebetulan saja! Seandainya Bung Karno-Bung Hatta, plus para pemuda bisa bersabar sedikit, kemerdekaan akan datang dengan sendirinya. Percayalah! Apalagi, seandainya imperialisme Jepang tidak berhasil menghancurkan kolonialisme Belanda dalam waktu 2–3 minggu, bagaimana akibatnya coba?”

    Kedua, menurut Dewi Fortuna adalah, ”Elu masih yakin bahwa sistem Demokrasi Parlementer ’dipilih’ oleh para pemimpin Indonesia karena terpukau Demokrasi Liberal ala Barat? Kamu ini lahir kapan?” katanya dengan senyum akrab-ironis. ”Ingat, pada saat penyerahan kedaulatan pada akhir 1949, republik ini masih sangat lemah. Bagian timur Indonesia selamanya di tangan Australia-Belanda, tak pernah ikut revolusi secara serius kecuali di Sulawesi Selatan. Tentara belum punya Angkatan Laut dan Angkatan Udara yang berarti. Anggaran belanja negara tidak banyak di atas anggaran elu punya unisex (maksudnya: universitas). Mau bikin negara sosialis, negara militeris-fasis, negara feodal hanya dengan lipstik? Mana mungkin! Pimpinan bangsa menganggap tidak ada alternatif dari negara demokrasi liberal yang federal, mengingat luasnya dan beraneka warnanya manusia.”

    ”Elu masih percaya bahwa sistem demokrasi liberal tidak mungkin di Indonesia, dan tidak cocok dengan kebudayaan Indonesia? Yang benar saja! Yang menghancurkan demokrasi liberal bukanlah masyarakat luas, tetapi ambisi dan kerakusan kuasa dari tentara, Bung Karno, dan sebagian elite politik lainnya. Seandainya mereka tidak begitu rakus, dan sebaliknya berpikiran sehat dan mau kompromi seperti Bung Hatta, sistem itu pasti akan tahan. Seandainya!”

    Ketiga, ”Elu juga masih percaya bahwa demokrasi liberal ditakdirkan akan anjlok karena bahaya PKI yang otoriter? Alah, ini bukanlah takdir lho! Coba lihat negara lain seperti India dan Italia. Di dua negara ini partai komunis menjadi bagian penting tetapi tidak menentukan dalam politik dalam negeri. Di Indonesia yang mahaluas ini, PKI tidak sampai mendapat dukungan lebih dari 25 persen pemilih. Itu mirip partai-partai besar lainnya yang sebetulnya cuma partai minoritas. Dan sampai sekarang masih demikian! Karena saya memang sayang dengan bangsa Indonesia, dulu saya masih sering terbang turun untuk mengawasi situasi. Yang mencolok mata adalah kemewahan hidup tokoh-tokoh PKI yang menjadi menteri di samping menteri-menteri lain, gubernur di antara gubernur-gubernur lain, wali kota di tengah wali-wali kota lain, dan seterusnya. Jadi, tak mengherankan kalau Kawan Ketua sempat didamprat oleh Pengemudi Mahabesar karena tidak cukup revolusioner.”

    ”Faktor keempat,” Dewi Fortuna masih saja bersemangat rupanya. ”Coba pikirkan satu kebetulan lagi yang menarik. Arus radikalisasi yang timbul di Indonesia pada akhir 1950-an sebagian besar dimotor oleh isu ’Irian Merdeka’. Ini muncul karena Belanda dengan kepala batu ingin mempertahankan Irian sebagai daerah jajahan tersendiri, dengan melanggar persetujuan Meja Bundar. Pemerintah pusat mengusir semua orang Belanda dan menyita hampir semua bisnis mereka yang ketika itu, di samping kongsi minyak Amerika Serikat dan Inggris, menjadi konglomerat terbesar di Nusantara.”

    ”Nasionalisasi ekonomi? Sama sekali bukan, karena semuanya dirampas tentara. Namun, akibat kurang berpengalaman berbisnis, mereka minta tolong calon konglomerat Tionghoa supaya ikut membantu. Dengan demikian ekonomi Indonesia cepat memburuk dan inflasi menjadi-jadi. Bah! Coba kalau kebetulan kabinet di Belanda punya otak sehat dan berpikiran panjang, yaitu berhitung bahwa kekayaannya di Indonesia jauh lebih penting dari Irian yang cuma menjadi beban finansial dan, toh, akhirnya tetap harus dilepaskan. Pasti jalan keluarnya akan jauh lebih bermanfaat. Tapi karena kebetulan politikus-tikus di Belanda ngotot terus, tidak mengherankan bahwa isu ’imperialisme/kolonialisme itu sangat berbahaya’ terasa sekali realitasnya. Sehingga mulai pecah perang, di mana Soeharto muncul lagi sebagai Panglima Komando Mandala setelah dipetieskan karena banyak korupsi.”

    ”Kelima,” Sang Dewi kini menarik napas panjang, ”Cukup banyak sejarawan yakin bahwa masalah pokok yang menghancurkan Demokrasi Konstitusional adalah yang disebut Pemberontakan PRRI plus Permesta. Mau tidak mau, pemberontakan ini harus ditumpas demi keselamatan Republik Kesatuan dan Masa Depan bangsa tercinta. Akibatnya, Angkatan Darat semakin sentral peranan politiknya. Dari sisi personel, semakin dikuasai perwira Jawa, lalu dibuntuti perwira Sunda. Apakah memang begitu takdirnya?”

    ”Ketidakpuasan di beberapa daerah yang makmur atas beleid sentralisasi dan penjambretan kekayaan demi kepentingan pusat memang sudah berakar dan walaupun di sana-sini mendapat sokongan dari segelintir warlord, tidak menjadi ’perang saudara’ yang bisa didagangsapikan, kalau mau. Ketidakpuasan daerah dipakai untuk menjatuhkan Bung Karno di Jakarta, dengan digantikan oleh PRRI yang, syukur-syukur, bisa nongkrong di atas empuknya takhta Jakarta pada gilirannya. Untuk keperluan itu, maka dicarilah tokoh nasional seperti mantan perdana menteri Mohammad Natsir. Beliau akhirnya melarikan diri ke Sumatera atas derasnya telepon-telepon anonim yang mengancam keselamatan jiwanya, dan pelemparan batu terhadap rumahnya pada malam hari. Ini adalah pekerjaan CIA yang malih menjadi pentolan... PKI!”

    Tapi seandainya Presiden Eisenhower lebih mendengar saran Pentagon daripada John Foster plus Allen Dulles, apa yang akan terjadi? ”Kalau elu kurang ingat sejarah masa itu sehingga nggak terlalu yakin,” katanya dengan nada keibuan. ”Cobalah bayangkan, seandainya tidak terjadi tsunami di ujung utara Sumatera, elu kira bahwa sekarang Aceh lagi damai dan gubernurnya adalah eks GAM yang setia kepada Republik?”

    Mendengar argumen yang dikemukakan Sang Dewi, kagum juga saya dibuatnya. Tapi mengingat saya termasuk kelompok ”ayam jantan yang mati-matian menjaga gengsi”, tentu saja saya tak menerima penjelasannya dengan mudah. Dengan lincah saya cari jurus ala Kho Ping Hoo yang saya sebut sendiri sebagai Naga Gigit Ekornya Sendiri. ”Dewi Fortuna yang saya hormati,” kataku membuka percakapan, ”bukankah hampir semua filsuf bilang bahwa sejarah manusia bukanlah satu chaos terbuat dari segala macam kebetulan yang digodok dengan 1.001 macam kebodohan? Mereka menunjukkan bahwa di belakang apa yang disebut ’maya’, yaitu ilusi keseharian, selalu ada ’sistem’, ’arus kemajuan’, ’hukum alamiah’, ’faktor struktural’, dan lain sebagainya?

    Namun, Dewi Cantik itu cuma tersenyum. Jurus yang kuanggap hebat itu tak bisa menerobos dinding pertahanannya. Terpaksa saya terapkan jurus lain yang namanya ”Babi Hutan Kayu Tusuk Kompas” yang terkenal ampuh. ”Bagaimanapun,” saya mulai peragakan jurus itu dengan penuh semangat, ”jika anda memegang terus ’Seandainya’, berarti tidak pernah terjadi. Kegoblokan Belanda dalam hal Irian bukan soal kebetulan, tetapi akibat logis dari sebab-sebab sebelumnya, yaitu rasa keki karena harus melepaskan jajahan besarnya, hasil lobi orang-orang Indo dan veteran perang, sokongan Amerika Serikat dan lain-lain negeri bule penjajah, dan sebagainya. Jadi, kegoblokan itu sebetulnya bisa diramalkan sejak awal,” ujar saya bersemangat. Karena ia terdiam, yang saya tafsirkan sebagai mendengarkan perkataan saya, maka saya lanjutkan.

    ”Kalau tentara mendongkel Bung Karno juga jelas bukan satu kebetulan, karena pada dasawarsa 1957–1967, banyak sekali negara yang dipimpin oleh tokoh-tokoh utama pergerakan untuk kemerdekaan juga didongkel oleh tentara sendiri seperti di Burma, Laos, Aljazair, Ghana, Nigeria, Mesir, dan sebagainya. Negara-negara ini tidak punya industri militer dan tingkat profesionalismenya rendah sehingga mereka terpaksa mohon pertolongan senjata, dana, dan pendidikan dari Amerika Serikat, Inggris, Uni Soviet, dan Prancis, akhirnya menjadi kekuatan yang bermuka dua. Di satu pihak menjadi kelompok kuat dalam negeri yang sulit dilawan, tetapi di lain pihak sangat bergantung pada tuan-tuan mereka di luar negeri.”

    ”Kalau PKI ambil ’jalan Parlementer’, itu bisa dimengerti mengingat kehancuran militer partai itu di Peristiwa Madiun, dan luasnya Indonesia di mana bergerilya juga sulit dilakukan. Sebab, tidak mungkin ada gerilya di tengah ombak dua samudra. Pokoknya selalu ada sebab, dan di belakang sebab itu ada sebab-sebab lainnya lagi. Sehingga, kalau Demokrasi Konstitusional amblas 50 tahun yang lalu, jelas ada faktor-faktor ekonomi, sosial, kebudayaan, psikologi, atau politik yang mendalam, yang menakdirkan seperti itu. Jika Dewi Fortuna yang saya hormati bersedia membuka lagi buku besar karya almarhum Herbert Feith, pasti tidak akan ketemu kata ’kebetulan’ di sana, bahkan meski hanya untuk sekali.”

    Dewi Fortuna terlihat merenung sebentar. Lantas beliau menutupi wawancara aneh ini dengan caranya sendiri. ”Elu seperti banyak intelektual dan sarjana, mungkin bisa untuk mencari segala penyebab terhadap kejadian apa pun, dengan rentetan kejadian yang mungkin baru berakhir pada zaman Pithecanthropus erectus. Tetapi kalian tidak bisa meramalkan siapa yang akan menjadi Presiden Amerika Serikat meski tinggal satu tahun lagi. Dengan ratusan ribu ’faktor menentukan’ yang berseliweran dalam ombak waktu, elu tidak bisa menakdirkan apa-apa. Selain itu, coba pikir sekali lagi, seandainya elu tidak dengan sangat kebetulan jalan-jalan ke Indonesia pada awal 1960-an, dan kebetulan dihormati secara gendheng sebagai Tuan Kulit Putih, apakah mungkin saat ini orang-orang Indonesia pada umumnya akan dengan sangat akrab-sengit memakai istilah ’orang bule’? Dan jangan lupa, setelah wafatnya tokoh besar Pujangga Baru, maka tidak ada lagi Takdir. Hah!”

    Dengan kalimat terakhirnya itu Dewi Fortuna lantas melompat terbang entah ke kahyangan. Tinggal saya sendirian berkeok-keok di salah satu pojok bumi. Ah, seandainya.

  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus