Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Surabaya, 1955. Seseorang mencatat:
”Pagi itu saya keluar rumah, persis saat dibukanya pemungutan suara. Surabaya sudah dililit kesenyapan yang larut dan aneh yang amat mewarnai hari pemilihan....
Berjalan di Tunjungan, hanya kami yang melenggang di jalan besar yang biasanya bising dan hiruk oleh lalu lintas pada jam delapan. Hari itu tidak ada becak, tiada mobil, tiada orang beraktivitas. Toko-toko tutup dan ditinggal pemiliknya....”
Ini bukan sebuah keinginan yang melankolis. Saat itu, peneliti dari Amerika, Boyd R. Compton, baru berusia 30 tahun. Dia menulis catatan hariannya di Mojokerto pada 1955 setelah menyaksikan pemilu yang kelak bersejarah itu di Surabaya. Hari-hari itu, Compton mencoba mengerti arah perjalanan negeri ini.
Kini Boyd Compton sudah berusia 82 tahun. Ia telah lama meninggalkan Indonesia. Terakhir kali ia berada di sini adalah tahun 1956. Setelah itu, ia seolah hilang tanpa jejak. Tak banyak yang tahu jejak Compton. Kabar terakhir, ia bergerak dalam bidang lingkungan, mengembangkan energi angin, dan tak lagi berurusan dengan politik.
Ternyata Compton masih sehat. Dan pada usianya yang sepuh kini ia masih ingat bagaimana senyapnya jalan-jalan di Surabaya saat pemilu itu.
Dari New York, pekan lalu, ia menulis surat elektronik kepada Tempo:
”Saya ingat saat itu, konfrontasi dan konflik antarpartai pada kampanye mencapai titiknya yang paling ekstrem, tapi kemudian semua itu berakhir pada satu hari sunyi yang sangat menyeramkan dan aneh. Saya melihat ini sebagai tanda ketakutan mendalam, dan kegelisahan, bercampur dengan hasrat nasional....
Pemilihan Umum 1955 adalah sebuah keberhasilan jangka pendek. Tapi kemudian alat demokrasi tak berfungsi di tahun-tahun sesudahnya ketika terjadi pertumbuhan ekonomi dan sosial. Tahap ini memberi militer mengambil langkah yang lebih jauh....”
Indonesia pada 1950-an bagi Compton adalah sebuah titik tolak untuk membaca sejarah kontemporer kita. Compton lulusan Universitas Washington Jurusan Kebudayaan Cina yang kemudian jatuh cinta pada Indonesia. Ia tergetar melihat suasana demokrasi liberal yang berusaha mewujudkan demokrasi secara ideal tapi terpuruk dalam pertentangan-pertentangan. Ia pernah menyetir mobil dari Jakarta ke Medan untuk menyaksikan keresahan di daerah. Compton juga terpukau akan karisma Soekarno saat menenangkan kegusaran daerah di luar Jakarta.
Indonesia pada 1950-an agaknya juga suatu periode yang istimewa bagi (almarhum) Herbert Feith. Peneliti yang pernah ditahan Nazi pada 1939 ini tiba di Jakarta pada awal 1950-an sebagai sukarelawan Kementerian Penerangan, yang saat itu dipimpin Menteri Abdul Gani. Feith terpesona pada pilihan Indonesia, sebuah negara yang masih muda yang sedang bergulat mencari bentuk, yang dengan sadar menjalankan demokrasi model Barat.
”Saya datang pertama kali ke Indonesia bulan Juni 1951. Saya hanyut. Saya menemukan masa-masa indah dalam tahun-tahun itu. Saya jatuh cinta pada Indonesia ’periode liberal’. Perasaan itu terus berlanjut membentuk persepsi saya tentang Indonesia, masa-masa itu mempengaruhi saya membayangkan kecenderungan-kecenderungan jenis negeri Indonesia yang saya idamkan....”
Feith kemudian dengan tekun mengamati Indonesia. ”Pada waktu itu tidak banyak orang mencatat dan mengakumulasi informasi. Berkat dia, kita jadi tahu sejarah politik Indonesia 1950-an,” kata Prof Dr Mochtar Mas’oed. Disertasi Feith berjudul The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia (1962), yang kemudian diterbitkan menjadi sebuah buku—dan kelak menjadi buku pegangan para sejarawan dan pemikir politik Indonesia—menyebutkan sebuah perubahan. Dia menyatakan bahwa Indonesia mulai bergeser dari yang diidamkannya.
Feith gemar mengembara ke pelosok-pelosok dan menginap di rumah sahabat-sahabatnya di Jawa Tengah. Kebiasaan ini dilanjutkannya saat ia beranjak tua. Dr Ikhlasul Amal masih ingat bagaimana pada 1988 dia dan Feith berjalan di Kulon Progo. Saat melewati pematang sawah, mereka bertemu dengan petani yang begitu melarat. Tiba-tiba Feith menyerahkan sejumlah uang kepada petani itu. ”Jumlahnya sama sekali tak dihitung, diberikan begitu saja,” kata Amal.
Baju Feith jarang sekali terlihat bagus, bahkan cenderung kusam. Itu membuat pembantunya takut ketika hendak mencuci baju Feith, karena takut sobek. ”Tasnya juga begitu, banyak tambalan menutup lubang,” kata Amal. Di Jakarta, Feith pernah mengaku kepada Tempo bahwa dia tetap menggunakan ”selampe” (sapu tangan)-nya yang kumal itu karena dia tak ingin ikut menghabiskan hutan di Indonesia dengan membuang-buang tisu. Dia juga mengaku perhatiannya di akhir 1980-an memang jauh lebih banyak pada soal perdamaian dunia.
Yogyakarta bagi Feith adalah rumah kedua. Mahasiswa Universitas Gadjah Mada pada 1980-an kerap menyaksikan dia berjalan mengenakan sarung dan kaus singlet putih di Bulaksumur atau mengendarai sepeda onthel-nya. Ketika mahasiswa menyapa, ”Pak Feith...!” dan ia menoleh, sepedanya kerap oleng, terhuyung-huyung seperti tubuhnya yang tipis, hanya selembar.
Tahun 1950-an bagi Daniel S. Lev (almarhum) memberikan kesan khusus bagi diri dan istrinya, Arlene. Mereka datang ke Indonesia dengan menumpang sebuah kapal barang Denmark dalam perjalanan yang memakan waktu hampir satu bulan. Usia Lev saat itu masih 20-an tahun. Ia menyaksikan era transisi dari demokrasi liberal ke Demokrasi Terpimpin. Lev menyaksikan bagaimana saat Indonesia memasuki era Demokrasi Terpimpin itu serangkaian lembaga hukum berubah.
Mungkin karena kesaksiannya inilah Lev kemudian dikenal sebagai seorang peneliti yang sangat berjasa mendidik para ahli hukum dan politik Indonesia. Pak Dan, demikian panggilan akrabnya, meninggalkan sebuah manuskrip tentang biografi Yap Thiam Hien. Ia kagum kepada Yap Thiam Hien, sosok yang dinilainya konsisten dalam mengemban profesi advokat lebih dari 30 tahun. Sosok yang ”digodok” di era 1950-an dan tetap bertahan untuk idealis di zaman Demokrasi Terpimpin.
Kini sarjana dan peneliti asing yang sempat mengecap dan mengadakan penelitian era demokrasi liberal hanya tinggal segelintir. Boyd Compton—yang telah mengundurkan diri dari kegiatan penelitian itu—toh sampai saat ini masih berusaha mendengar peristiwa-peristiwa di Indonesia. Hatinya bergetar mendengar Indonesia bertubi-tubi digempur tsunami, longsor, gempa bumi.
”Saya sangat prihatin dengan banyaknya bencana yang saat ini menimpa rakyat Indonesia, tapi saya yakin bangsa Indonesia akan bisa bertahan dari semua itu. Sama ketika bangsa Indonesia bertahan sejak tahun 1955....”
Compton agaknya membayangkan wajah Indonesia kini dibanding Indonesia pada 1950-an. Makin mundur atau berjalan di tempatkah? Ia mungkin kangen lagi menyeduh kopi tubruk dan melahap durian seperti yang pernah ia lakukan saat pertama kali tinggal di asrama Universitas Indonesia pada 1952-1953. Inilah yang ditulisnya kepada Tempo:
”Saya memiliki kerinduan mendalam untuk kembali ke Indonesia dan melihat perkembangan yang terjadi di Indonesia periode saat ini.”
Ini bukan keinginan yang melankolis. Keinginan melihat Indonesia yang maju dan beradab adalah keinginan setiap orang yang mencintai negeri ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo