Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Empat Masa ’Persoalan Cina’

13 Agustus 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Thung Ju Lan

  • Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia

    Penuh keraguan dan ketidakpercayaan. Inilah sikap elite politik ”pribumi” terhadap komunitas etnis Cina (Tionghoa), yang bisa kita temukan sejak Republik berdiri. Tentu saja tak bisa dimungkiri, ada pula pihak yang bersahabat dan melihat kekuatan komunitas Tionghoa sebagai salah satu pilar penunjang masyarakat Indonesia.

    Kita bisa melihat sikap tersebut mulai dari masa awal kemerdekaan, ketika periode itu–khususnya 1952-1957–masih diwarnai semangat nasionalisme dan demokrasi yang tinggi. Dalam periode yang oleh para sejarawan disebut masa Demokrasi Liberal, munculnya ketidakpercayaan tersebut tak lepas dari kondisi sebelum kemerdekaan. Ketika itu, komunitas etnis Cina dinilai cenderung ”mendua” atau bahkan terbagi dalam tiga kelompok orientasi, yaitu kepada pemerintah kolonial Belanda, kepada pemerintah Cina, dan kepada pergerakan nasionalisme Indonesia (lihat Leo Suryadinata, 1997).

    Pada 1950-an itu, misalnya, muncul kelompok yang menelurkan Politik Benteng. Politik ini digagas untuk membendung atau membentengi kekuatan ekonomi warga Tionghoa dan lebih membantu pengusaha ”pribumi”. Mereka yang tergabung dalam kelompok ini menolak sistem kewarganegaraan ”pasif” bagi warga Tionghoa yang telah disetujui dalam Undang-Undang Kewarganegaraan Tahun 1946.

    Namun pada periode ini juga tercatat mereka yang bersahabat dan pernah bekerja sama dengan warga Tionghoa dalam pergerakan nasionalisme Indonesia. Ada pula mereka yang menyetujui ”pembauran” atau ”pribumisasi” warga Tionghoa melalui Islam dan PITI sebagai organisasi Tionghoa Islam. Buya Hamka (lihat tulisan-tulisan Junus Jahja) berada di jajaran ini. Kelompok inilah yang telah memberikan kesempatan dan dukungan pada warga Tionghoa untuk membuktikan bahwa mereka ingin dan mau berusaha menjadi warga negara Indonesia yang ”baik”.

    Beberapa tokoh Tionghoa pun berusaha keras mendorong ”kembalinya” warga Tionghoa ke pangkuan Republik. Yap Thiam Hien, pengacara yang terkenal berjiwa nasionalis Indonesia, misalnya, mendirikan Baperki (Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia) pada 1954. Organisasi ini dihajatkan sebagai wadah untuk ”mewarganegarakan warga Tionghoa”, khususnya mereka yang semula berorientasi kepada pemerintah Belanda dan kepada pemerintah Cina. Dapat dicatat, peran dan kontribusi Baperki ini cukup besar dalam mendorong perjanjian dwikewarganegaraan dengan Republik Rakyat Cina. Lembaga ini juga berjasa menyusun Undang-Undang Kewarganegaraan Tahun 1958 yang diimplemantasikan pada awal 1960-an.

    Sayangnya, garis politik yang diambil beberapa pimpinan Baperki–khususnya pada masa Demokrasi Terpimpin (1957-1965)—yang cenderung lebih memihak kepada ”aliran kiri” (Soekarno dan komunisme) keliru. Garis politik mereka menjadi ”pilihan yang salah” ketika situasi politik Indonesia mengalami perubahan pada 1965-1967 melalui kemenangan ”aliran kanan” (militer). Militer mengambil alih tampuk pemerintahan dan menamakan periode kepemimpinan mereka sebagai Orde Baru untuk membedakan dirinya dari rezim Soekarno.

    Sejak saat itu, kedudukan warga Tionghoa menjadi kelompok yang disisihkan dan selalu dicurigai sebagai ”koloni kelima” dari RRC yang berideologi komunisme (lihat Coppel, 1983). Kondisi ini berlanjut sepanjang masa Orde Baru dan baru berubah setelah kejatuhan Soeharto yang diikuti dengan tragedi berdarah Mei 1998. Pada periode kepemimpinan Abdurrahman Wahid dan Megawati Soekarnoputri (1999-2004), warga Tionghoa baru mulai dilihat dengan kaca mata yang lebih ”ramah”, bahwa mereka juga bagian yang integral dari bangsa Indonesia.

    Pada periode ini warga Tionghoa mulai dapat mengekspresikan diri sebagai warga Tionghoa-Indonesia, walau tak dapat dimungkiri masih ada kelompok ”pribumi” yang belum sepenuhnya mempercayai warga Tionghoa. Ini tercermin dari ucapan-ucapan mereka yang cenderung bersifat menyerang warga Tionghoa. Namun perlu dicatat bahwa serangan fisik terhadap warga Tionghoa dan harta milik mereka selama 10 tahun terakhir ini sudah jauh berkurang dibanding pada masa Orde Baru.

    Dari sini kita bisa membandingkan ”persoalan Cina” pada masa Demokrasi Liberal, Demokrasi Terpimpin, Orde Baru, dan masa reformasi saat ini. Jelas bahwa faktor yang mempengaruhi posisi warga Tionghoa di mata warga ”pribumi” adalah persepsi tentang masa lalu, konteks politik dan ekonomi pada periode waktu tertentu, dan sikap warga Tionghoa sendiri terhadap hubungan mereka dengan negara-bangsa Indonesia. Ini semua sangat menentukan tingkat kepercayaan warga ”pribumi” terhadap warga Tionghoa, kebijakan elite politik ”pribumi” terhadap komunitas Tionghoa, serta bentuk dan pola hubungan warga Tionghoa dengan warga ”pribumi” di bidang sosial, budaya, politik, ekonomi, dan keamanan.

    Ada dua persepsi masa lalu yang sampai saat ini masih selalu menghantui hubungan warga Tionghoa dan warga Indonesia lain. Persepsi itu adalah tentang sikap warga Tionghoa pada masa kolonial Belanda yang dinilai pro-Belanda, dan pilihan politik elite politik warga Tionghoa pada masa Soekarno yang cenderung ”kiri” dan dianggap sebagai prokomunisme. Tak gampang mengubah persepsi ini. Terbukti dari waktu ke waktu permasalahan ini selalu muncul kembali, terutama pada waktu situasi politik dan ekonomi Indonesia tak stabil akibat terjadinya perubahan sistem dan kekuatan sosial-politik, atau karena krisis ekonomi.

    Namun tak berarti hanya persoalan masa lalu yang menjadi faktor penentu status sosial-politik warga Tionghoa-Indonesia. Seperti telah disebutkan, itu juga ditentukan oleh sikap yang diambil warga Tionghoa sendiri. Karena itu, penting bagi warga Tionghoa untuk bersikap proaktif dan asertif dalam menentukan posisinya dalam masyarakat Indonesia, baik secara legal-politik maupun secara sosial-kultural. Memang tak bisa disangkal bahwa kesediaan warga ”pribumi” untuk menerima warga Tionghoa juga harus diperhitungkan sebagai salah satu faktor penentu status warga Tionghoa. Semangat kooperatif hanya bisa muncul kalau dari kedua belah pihak mau mewujudkannya.

    Tetapi kita juga harus realistis bahwa sulit mensyaratkan kesediaan seratus persen dari kedua belah pihak sebagai prakondisi untuk kerja sama di antara keduanya. Ini terutama bila kita mempertimbangkan keanekaragaman latar belakang dan pendapat, baik di kalangan warga Tionghoa maupun di antara warga ”pribumi”.

    Karena itu, tetap diperlukan suatu perubahan politik ke arah yang lebih demokratis. Sejarah telah menunjukkannya. Bangsa ini tetap membutuhkan, entah dari kalangan ”pribumi” atau warga Tionghoa, orang-orang yang senantiasa mengusung nilai-nilai demokrasi dan hak asasi manusia sebagai nilai dasar kemanusiaan Indonesia yang adil dan beradab.

  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus