Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Terapi dari Bilik-Bilik Pengap

Masih banyak orang yang mengira penyakit skizofrenia berasal dari setan. Si penderita pun terlambat dibawa ke dokter.

8 November 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BEGITU gembok dibuka dan daun pintu ditarik, tampaklah wajah tirus dua perempuan itu. Yang satu, sebut saja Hana, duduk bergeming sembari memilin-milin selembar kertas di tangan. Teman sekamarnya, sapa saja Ratih, spontan berdiri dari tempat tidurnya sambil membenahi sarungnya.

Sudah dua bulan kedua wanita kurus berusia sekitar 30 tahun itu menghuni bilik sempit berukuran 1,5 x 2 meter. Kamar ini hanya dilengkapi dua dipan yang terbuat dari bata yang disemen setinggi 30 sentimeter, tikar yang terbuat dari alang-alang kering, dan bantal tak bersarung. Ruangan sangat pengap karena tak berjendela, jika malam cuma diterangi lampu pijar 5 watt.

Baik Hana maupun Ratih tidak mungkin pergi dari sana karena pintu bilik itu selalu digembok. Lagi pula kaki mereka dirantai.

Jangan salah, keduanya bukanlah nara-pidana. Mereka adalah pasien penyakit jiwa yang ditempatkan di "ruang perawatan" milik Abah Obos Subandi, 102 tahun, yang berada di Kampung Purbasari, Desa Purbaratu, Sibeureum, Tasikmalaya. Kampung itu terletak sekitar dua kilometer dari pabrik bahan peledak milik PT Dahana di Tasikmalaya, Jawa Barat.

Cara pengobatannya amat sederhana. "Tak pakai jampi, hanya dibacakan ayat-ayat suci Al-Quran," kata Abah Obos saat ditemui Tempo pertengahan Oktober lalu. Penyembuhan seperti ini disebutnya berasal dari ajaran Tarekat, ajaran yang dikenal luas di Tasikmalaya. Ketika doa dibacakan, pasien harus diam di hadapan Abah.

Itulah yang berlangsung sampai sekarang. Orang lebih suka membawa anggota keluarganya yang terkena gangguan jiwa ke "orang pintar" atau dukun. Padahal umumnya mereka adalah penderita skizofrenia, sebuah penyakit gangguan jiwa yang cukup serius.

Akibatnya, para penderita skizofrenia kerap terlambat dideteksi secara medis. Menurut dr. Irmansyah dari Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia, sebuah survei di Jakarta menunjukkan pula hal ini. Umumnya penderita skizofrenia baru dibawa ke dokter rata-rata setelah dua tahun gejalanya muncul. Keterlambatan itu membuat pasien lebih sulit diobati karena sudah mengalami penurunan fungsi sosial yang berat (deteriorasi).

Dokter Irmansyah menyatakan setiap orang bisa menderita skizofrenia, kendati peluangnya kecil, hanya sekitar 1-3 persen. Di Indonesia, jumlah penderita penyakit ini diperkirakan 2 juta. Sekitar 10-12 persen penderita skizofrenia disebabkan oleh unsur genetik. "Penyebab lain misalnya tekanan hebat dalam kehidupan, atau terganggunya fungsi otak dan trauma otak," ujarnya.

Orang yang menderita skizofrenia akan mengalami sejumlah gejala awal. Antara lain penurunan kinerja, perubahan tingkah laku, adanya gangguan tidur, penurunan nafsu makan, emosi yang labil, mudah tegang, memiliki kepercayaan yang aneh, dan penurunan fungsi kognitif.

Pada tahap yang lebih parah lagi, penderita akan mengalami kekacauan pikiran. Mereka juga bisa mengamuk secara mendadak. Ini juga sering dialami oleh pasien Abah Obos. "Karena itu, mereka sengaja kami sekap dan kunci," kata Undang Rohimat, salah satu anak Abah Obos.

Lamanya pemasungan bergantung pada kondisi pasien. Jika mulai membaik, rantai dilepas. Lalu pasien dibaurkan dengan masyarakat, seperti diajak salat Jumat di masjid atau mengaji di madrasah dekat rumah Abah Obos.

Menurut Undang, sudah cukup banyak pasien yang disembuhkan. "Jumlahnya tak terhitung," ujarnya. Dia lalu menunjukkan sebuah buku pencatat pasien berisi deretan nama pasien yang keluar-masuk sejak 1991 sampai 2004. "Seorang perwira polisi yang anaknya sembuh membelikan buku tersebut," kata Undang, yang lulusan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Bakti Tuna Husada, Tasikmalaya.

Dia menuturkan, abahnya mengobati pasien dengan metode spiritual maupun medis. Katanya, psikiater dan dokter saraf dari RSUD Tasikmalaya juga dilibatkan sejak 1987. Hanya, bagian psikiatri maupun saraf RSUD Tasikmalaya membantahnya. "Saya belum pernah mendengar Abah Obos minta bantuan ke sini. Namanya pun saya baru dengar," kata dr. Arfan, ahli saraf di sana.

Layaknya sebuah klinik, pasien yang datang juga didata riwayat penyakitnya. Dari data ini, kata Undang, abahnya bisa menentukan apakah pasien harus diisolasi atau tidak. Pasien perempuan yang perlu disekap, seperti Hana dan Ratih, ditempatkan di depan rumah. Adapun pasien lain tinggal di bilik-bilik kecil di belakang rumah. Ketika Tempo diajak menengoknya, di sana ada seorang laki-laki berkaus putih yang kakinya juga dirantai. Ada juga pasien yang terdengar mengamuk di sebuah bilik. Lalu, di bilik lainnya lagi, lamat-lamat terdengar senandung memilukan.

Dilihat dari sisi medis, pengobatan dengan cara pemasungan semacam itu akan sulit menyembuhkan pasien. Hal ini juga dialami oleh seorang penderita skizofrenia, sebut saja Ahmad, 30 tahun. Tujuh tahun silam, lelaki ini pernah mendekam di salah satu bilik Abah Obos.

Menderita skizofrenia sejak 1991, ia mula-mula dirawat di RSPAD Gatot Subroto, Jakarta. Karena tak sembuh-sembuh juga, akhirnya Ahmad dibawa ke Abah Obos. "Kami tak sanggup lagi beli obat, makanya kami coba cara alternatif," kata Siti Fatimah, 70 tahun, ibu Ahmad, yang tinggal di kawasan Kalimalang, Bekasi.

Ternyata terapi ala Abah Obos tidak membuat kondisi Ahmad membaik. Penyakitnya justru semakin parah. "Dia sering memukul-mukul kepalanya sendiri, padahal tadinya tidak begitu," ujar Siti. Kalau ditanya siapa yang menyuruhnya, jebolan sekolah menengah pertama itu selalu menjawab sembarangan, "Suharto."

Akhirnya, Siti memindahkan anaknya ke dokter lagi. Ahmad dirawat di Rumah Sakit Ongkomulyo, Jakarta. Setelah membaik, ia dipindahkan lagi ke RSPAD Gatot Subroto dan terakhir dirawat di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), Jakarta. Kini kondisi Ahmad mulai bagus, meski harus menjalani rawat jalan.

Ingatannya mulai pulih. Dia bisa bercerita pengalamannya sewaktu disekap di tempat Abah Obos. "Dulu kaki saya dirantai dan kepala dipukul. Katanya pukulan petir supaya setan kabur. Setelah dipukul, saya pingsan," ujarnya. Ahmad juga mengaku pernah kabur dari biliknya. "Tapi kepergok dan ditangkap lagi. Waktu lari, kaki saya dibedil (ditembak)." Lalu ia memperlihatkan kaki kanannya, tapi tak ada bekas luka tembak. Maklum, Ahmad belum sepenuhnya sembuh.

Dokter Albert A. Maramis, psikiater yang menanganinya di RSCM, menjelaskan Ahmad kerap mengalami gangguan waham (delusi) dan halusinasi. Panca indranya menangkap sesuatu yang obyeknya tidak ada. Telinganya mendengar suara orang. Suara itu bisa saling bicara tentang dirinya, memerintah dan mengomentari perbuatannya. "Dia tidak bisa membedakan antara kenyataan dan bukan," ujar Albert.

Untuk meredam gejala gangguan waham dan halusinasi, penderita biasanya diberi obat antipsikotik. Menurut Albert, jika pasien mulai membaik, diperlukan terapi psikososial. Ini untuk membantu penderita mengenal tanda-tanda kekambuhan penyakitnya sendiri. Selain itu, juga dilakukan terapi dengan melibatkan keluarga dan kawan-kawannya. Tujuannya agar penderita merasa diterima kembali oleh lingkungannya.

Penderita skizofrenia sebetulnya punya kesempatan besar untuk sembuh. Berdasarkan penelitian, 40 persen penderita bisa sembuh, 30 persen sembuh dengan kontrol obat, dan sisanya harus dengan pengobatan intensif. John Forbes Nash Jr., ahli ekonomi dari Amerika Serikat yang meraih Nobel 1994, juga pernah menderita skizofrenia. Kini dia bisa sembuh total dan malah sanggup membimbing mahasiswanya.

Di Indonesia? Menurut Dokter Albert, masih banyak orang yang mengira penyakit itu berasal dari setan. "Itu sebabnya mereka perlu dibawa ke orang pintar," ujarnya. Inilah yang dialami oleh Hana dan Ratih. Dalam bilik kecil yang pengap, mereka selalu dirantai kakinya, entah sampai kapan.…

Eni Saeni, Ahmad Fikri (Tasikmalaya)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus