Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BILA berkereta antara Leeds dan Manchester di perut Pulau Britania Besar, Inggris Raya, kita akan melewati Lembah Calder yang di tengahnya mengalir sungai bernama sama. Kota-kota kecil tumbuh di tengah lembah itu. Sebagian namanya terlalu rumit untuk dilafalkan lidah Indonesia, seperti Mytholmroyd dan Luddendenfoot. Kota-kota lembah itu tipikal kota pasar dengan pemandangan menawan ke arah pegunungan Pennine. Ada satu kota yang mencolok dibanding yang lain hingga disematkan gelar “kota terbaik di Eropa” oleh Academy of Urbanism: Hebden Bridge.
Siang pada awal Februari lalu, Tempo tiba di Stasiun Hebden Bridge. Suasana stasiun dengan peron sederhana beratap kayu itu cukup sepi. Tak banyak orang di dalam stasiun yang berjarak tempuh 50 menit berkereta dari Leeds atau 45 menit dari Manchester tersebut. Saat itu, hanya ada enam penumpang yang turun bareng Tempo di stasiun tersebut. Keluar dari stasiun, sebuah papan putih menyambut bertulisan “Selamat Datang di Hebden Bridge, 500 Tahun Kreativitas”. Belok kiri, terbentanglah kota dengan bangunan bertingkat simetris gaya Georgia yang berjejer rapi di lanskap lembah yang naik-turun. Sejumlah cerobong asap bulat dengan ujung menghitam menyembul tinggi di antara rumah-rumah berlantai empat atau lima.
Suasana kota Hebden Bridge. TEMPO/Robby Irfany Maqoma
Untuk berkeliling Hebden Bridge hanya membutuhkan waktu sekitar 30 menit berjalan kaki, meski di beberapa titik, napas akan tersengal karena jalanan yang mendaki. Terdapat dua kanal membelah kota dengan perahu-perahu mesin bersandar ke tepinya. Musim dingin pada Februari itu, jalanan Hebden Bridge ramai oleh kakek-nenek yang berjalan pelan bergandengan, ibu-ibu muda yang membawa bayi di kereta dorong, dan anak-anak bermain dengan kawanan merpati di tepi sungai. Hampir semua akan mengembangkan senyum ramah saat berserobok mata.
Menyusuri pusat kota yang berada di bibir kanal akan terasa bahwa kota kecil itu memang unik: dari alun-alun St. George hingga Market Street, berderet galeri seni, toko buku, kedai kopi independen, toko pakaian ramah lingkungan, dan kafe-kafe kecil yang menyajikan menu vegan. Banyak di antara toko itu berhias bendera kecil warna-warni di pintu atau jendela kaca. Panji-panji serupa terlihat di pagar yang membatasi kanal dan jembatan yang melintang di atasnya. Sebuah tanda terbuka untuk gerakan kaum lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT). “Hebden Bridge adalah kota penuh kreativitas yang menawarkan gaya hidup alternatif,” kata Jason Boom, pejabat kota yang kami temui di Balai Kota Hebden Bridge.
Bendera warna-warni menghias toko-toko independen di Hebden Bridge. TEMPO/Moyang Kasih
Hebden Bridge memang kota yang terbuka bagi berbagai macam kaum, termasuk kelompok yang berorientasi seksual sejenis. Pada 2002, BBC menjuluki Hebden Bridge sebagai ”ibu kota lesbian” di Inggris. Situs pemerintah lokal menyebutkan ada hampir 500 pasangan menikah sesama jenis yang tercatat di Hebden Bridge dan sekitarnya. Ini belum termasuk mereka yang tak mencatatkan diri. Populasi kota ini sendiri hanya sekitar 4.000 orang. Maka, secara proporsi, kelompok homoseksual yang menetap di Hebden Bridge mengalahkan populasi di kota-kota besar yang juga dikenal ramah LGBT, seperti London dan Brighton. “Banyak pasangan sesama jenis menggunakan aula balai kota untuk menikah dan tak ada yang berkeberatan,” ujar Rachel Leigh, sekretaris kota.
Salah satu pasangan lesbian yang sudah menetap lama di Hebden Bridge adalah Jo Bird dan Carmel. Jo asli London, tapi ia memutuskan pindah ke Hebden Bridge ketika usianya pertengahan 20 tahun. Jo dan Carmel kini mengurus rumah penginapan bergaya Victoria, Thorncliffe Bed & Breakfast. “Hebden Bridge memiliki energi positif,” kata Jo, yang berprofesi sebagai pemandu wisata jalan kaki di Hebden Bridge. “Bagi kami, ini adalah tempat terbaik untuk tinggal.”
Sejak tiga tahun lalu, kota ini bahkan menjadi tuan rumah bagi Happy Valley Pride Festival, sebuah festival tahunan inklusif selama sepekan untuk merayakan kebebasan ekspresi seksual. Tim Whitehead, ketua tim penyelenggara festival, mengatakan komunitas LGBT di Hebden Bridge adalah komunitas berkarakter unik karena terdiri atas mereka yang berlatar belakang seni, penulis, dan wirausaha kreatif. “Kami terkenal akan kreativitas dan keterbukaan kami. Hebden Bridge memungkinkan kami bersinar dengan identitas kami sendiri,” ujar Whitehead lewat situs Happy Valley Pride.
Keterbukaan Hebden Bridge tersebut tak lepas dari lahirnya gaya hidup bohemian di kota itu pada 1970-an. Jason Boom, yang mengepalai dewan kota, mengingat tahun-tahun tersebut sebagai titik balik perubahan terjadi di Hebden Bridge. Sebelum tahun itu, sejak era Revolusi Industri, Hebden Bridge adalah kota pabrik wol dan celana panjang. Puncak kejayaan Hebden Bridge sebagai kota industri adalah pada 1850 saat pengusaha lokal, William Barker, menemukan pasar untuk produk garmen Hebden Bridge. Barang-barang ini didistribusikan lewat kanal Rochdale di tengah kota menuju kota besar seperti Bradford, Leeds, dan Manchester.
Pada pengujung 1890-an, terjadi lonjakan populasi penduduk yang sekaligus menandai pembangunan pesat di Hebden Bridge. Cerobong-cerobong asap dan arsitektur bangunan bertingkat yang hingga kini masih bisa dilihat di sudut-sudut kota adalah sisa-sisa era tersebut. Namun pasar perlahan menjadi lesu. Memasuki 1960-an, industri Hebden Bridge pun bangkrut. Lebih dari setengah penduduk kota memutuskan meninggalkan Hebden Bridge. “Rumah-rumah dibiarkan kosong. Kota ini nyaris mati,” kata Boom.
Penyair Ted Hughes, yang lahir di pinggiran Hebden Bridge, menarasikan suramnya kondisi kota saat itu dalam puisinya, “Stubbing Wharfe”.
A gorge of ruined mills and abandoned chapels,
The fouled nest of the Industrial Revolution
That had flown. The windows glittered black.
Meski begitu, Hebden Bridge tetaplah kota indah di pelukan bukit Pennine yang mudah diakses lewat kereta ataupun bus dari kota-kota utama. Maka, ketika mendengar kota tersebut kosong dan harga propertinya telah turun drastis, kelompok hippies dari kota-kota di sekitar West Yorkshire pun berbondong-bondong datang dan membeli rumah dengan harga kelewat murah. Orang-orang bisa mendapatkan rumah tiga tingkat hanya seharga 300-400 pound sterling. “Saat datang ke sini, ibuku membeli rumah kami cukup dengan uang yang kebetulan ada di dompetnya,” ucap Rachel Leigh, mengenang.
Komposisi warga Hebden Bridge berubah menjadi setengah penduduk lokal dan setengah pendatang, yang sebagian besar adalah para bohemian. Kelompok pendatang itulah yang memberi warna baru bagi kota yang nyaris mati tersebut. Gaya hidup radikal pun tumbuh. Para pendatang mengenalkan cara berharmoni dengan alam, membuat kerajinan tangan, musik folk, hingga feminisme. “Sejak saat itu, kreativitas bersemi. Hebden jadi rumah bagi seni, musik, dan literatur,” ujar Boom.
Dengan tumbuhnya komunitas hippies yang terbuka, kelompok lesbian dan gay pun datang untuk bermukim di Hebden Bridge tanpa takut akan penghakiman warga. Menurut Leila Jancovich, dosen kebijakan dan partisipasi budaya di University of Leeds, kelompok LGBT sebenarnya sudah cukup lama singgah di Lembah Calder. Halifax, salah satu kota di lembah itu, adalah tujuan ziarah kelompok LGBT Inggris. Di kota itu terdapat makam Anne Lister (1791-1840), yang diingat sebagai lesbian modern pertama di Inggris. “Namun, sebelum 1970, warga lokal masih belum menerima kelompok LGBT,” tutur Jancovich, yang saat ini juga bermukim di Hebden Bridge.
TEMPO/Robby Irfany Maqoma
Baru setelah Hebden Bridge berubah menjadi komunitas terbuka, kelompok ini mulai berani menetap di sana. Hebden Bridge mengukuhkan diri sebagai rumah aman bagi bohemian, musikus, seniman, perajin, dan kaum LGBT. Kelompok pendatang dan warga asli Hebden Bridge juga mampu hidup berdampingan dengan rukun. “Warga lokal dan pendatang merasakan manfaat dari kehadiran satu sama lain,” kata Jancovich.
Saat ini, berdasarkan survei nasional Inggris, Hebden Bridge berada di peringkat keenam untuk urusan keberagaman. Ini ranking cukup tinggi mengingat Hebden Bridge hanyalah sebuah kota kecil di area pegunungan.
Komunitas terbuka itu membanggakan diri sebagai komunitas lekat. Mereka membangun forum Internet di situs resmi Hebden Bridge tempat semua warga dapat berdiskusi dan urun pendapat tentang kenyamanan kota. Di dekat alun-alun, terdapat pub The Fox and Goose, yang kepemilikannya ramai-ramai dibagi 262 warga Hebden Bridge. Warga kota tersebut bersepakat mengadopsi gaya hidup ramah lingkungan. Pada 2007, Hebden Bridge mengumumkan bahwa toko-toko di sana tak akan memberikan kantong plastik. Sumber daya yang menghidupi kota diambil dari energi hidro-elektrik yang dikembangkan di kanal. Menurut penilaian Academy of Urbanism, Hebden Bridge merupakan komunitas terbuka tempat setiap individu dapat mengajukan ide untuk kemajuan kota. Hal itu tentu tak terjadi bila bukan karena masa pencerahan setengah abad lalu di sana.
Suasana kota Hebden Bridge.
Dalam arsip “How the Hippies Changes Hebden Bridge”, Annie Fatet mengingat masa-masa awal renaisans terjadi di Hebden Bridge. Fatet, seorang perajin tanah liat, pindah pada 1975 dari London. Dia lalu tinggal di loteng The Bull, sebuah pub yang kemudian juga menjadi bengkel kerja seniman lokal. Fatet membidani lahirnya gerakan perempuan Hebden Bridge. Kelompok perempuan itu rutin berkumpul di The Bull dan mendiskusikan isu tentang tubuh dan kesehatan reproduksi. Kelompok itu juga mengadakan pameran kerajinan dan kelas menari. “Ada gedung kosong di Pitt Street yang biasa kami gunakan untuk memamerkan karya kami,” ujar Ness Parfit, salah satu anggota kelompok perempuan Hebden Bridge.
Para hippies yang tertarik pada garmen berkumpul di sebuah lumbung di Latham untuk merancang gaun dan mantel yang terinspirasi dari gaya hippies India dan Afganistan. Mereka bekerja sama dengan pengusaha wol lokal yang tersisa dan menjual baju-baju pada hari kedelapan di setiap bulan.
Musik tentu saja menjadi bagian tak terpisahkan dari budaya alternatif yang baru lahir tersebut. Segera setelah kedatangan kelompok hippies, sudut-sudut jalan, taman, pub, dan rumah-rumah di Hebden Bridge penuh dengan band yang bermain. Havana Lake menjadi salah satu band folk rock pertama dari Hebden Bridge yang merilis album Concrete Valley pada 1977.
Trades Club di Holme Street, Hebden Bridge.
Para pendatang baru juga menginisiasi berbagai macam gerakan sosial. Berbagai protes, seperti march anti-nuklir, anti-apartheid, dan kesetaraan gender, digelar di alun-alun kota sejak 1975. Trades Club di Holme Street menjadi salah satu pusat aktivis sosial Hebden Bridge untuk merancang kampanye mereka. Lantai satu klub berpintu merah itu menjadi markas kelompok sosialis independen. Adapun di lantai dua terdapat panggung pertunjukan yang telah didatangi antara lain oleh Patti Smith dan Mark Lanegan. Saat Tempo ke sana, Trades Club sedang menggelar pameran foto montase karya fotografer Cold War Steve. Pameran Steve menyuarakan protes atas keluarnya Inggris Raya dari Uni Eropa (Brexit).
Trades Club mengumumkan sebagai tempat yang tak memaklumi akan rasisme, seksisme, dan homofobia. Itu seakan-akan membuktikan keterbukaan mereka terhadap macam-macam kelompok. Saat melongok ke dapur Trades Club, kami kaget mendapati bahwa juru masak klub itu adalah orang Indonesia. Rostini asal Cirebon, Jawa Barat, menjadi koki tetap di Trades Club yang menyajikan hidangan nasi goreng, tempe balado, gulai ayam, dan rendang mulai pukul 4 sore hingga 8 malam setiap Senin-Kamis. “Jumat dan Sabtu adalah jadwal pertunjukan di klub, jadi saya libur,” kata Rostini, yang sudah tujuh tahun tinggal di Hebden Bridge dan menikah dengan musikus lokal.
Kini tinggal di Hebden Bridge tentu sudah tak murah lagi. Bahkan, dengan makin tertatanya kota tersebut, Hebden Bridge menjadi kota yang lebih mahal dibanding tetangganya. Rostini mengatakan ia membeli rumah kecil dua lantai di bukit seharga hampir 200 ribu pound sterling. Namun keunikan karakter Hebden Bridge dan komunitasnya belum akan hilang untuk waktu lama.
MOYANG KASIH DEWIMERDEKA, ROBBY IRFANY MAQOMA (HEBDEN BRIDGE)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo