Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PEREMPUAN berambut biru itu menyusuri jalan setapak yang membelah makam-makam sambil menolehkan kepalanya ke arah sejumlah nisan. Dia memeluk tubuhnya sendiri yang terbalut jaket. Angin benar-benar sedang mengamuk dan musim dingin masih tersisa pada suatu siang awal Februari lalu itu. Fern Cooke, perempuan 23 tahun itu, berkereta dari Manchester pada paginya, turun di Stasiun Hebden Bridge, lalu mendaki bukit Heptonstall yang curam untuk menziarahi makam penulis favoritnya, Sylvia Plath, yang berada di puncak bukit itu. “Sudah lama saya ingin datang dan memberi hormat. Saya merasa tersambung dengan tulisan Sylvia,” kata Cooke.
Cooke kecewa karena hari itu kelewat dingin dan ia tak tahan berlama-lama duduk di samping makam Sylvia Plath. “Saya akan kembali lagi musim panas nanti,” ujarnya. Cooke adalah mahasiswa seni di Manchester School of Art yang membuat karya bertema tubuh perempuan dan kesehatan mental. Dia membaca The Bell Jar karya Plath pada usia 16 tahun dan merasa novel dengan tokoh sakit mental yang mengacu pada pengalaman personal Plath itu berbicara kepadanya. “Tak banyak penulis perempuan yang berbicara sangat terbuka tentang gangguan mental,” ucap Cooke.
Hari yang basah dan berangin itu tak menghalangi peziarah seperti Fern Cooke datang ke makam Sylvia Plath, yang wafat 55 tahun silam. Ada empat-lima peziarah lain datang pada waktu hampir bersamaan. Makam Plath telah menjadi atraksi turis dan hampir selalu ada pengunjung datang setiap hari ke Heptonstall. Heptonstall adalah desa kecil dengan jalan setapak berbatu di atas bukit yang menaungi Kota Hebden Bridge. Jalan menuju Heptonstall adalah tanjakan yang dipagari batu berlumut dan naungan pepohonan. Suami Sylvia Plath, Ted Hughes, lahir di Mytholmroyd, kota tetangga Hebden Bridge. Pasangan ini sering berkunjung ke lembah itu dan duduk di bar pinggir kanal. Hughes yang memutuskan Sylvia Plath dimakamkan di Heptonstall, dekat dengan permakaman keluarganya yang lain.
Ada dua kompleks permakaman di halaman Gereja St. Thomas A. Becket itu. Makam Sylvia Plath berada di kompleks yang lebih baru, di baris kedua dari gerbang masuk. Nisannya sederhana, dari batu granit yang melengkung di bagian puncaknya. Namun makam itu cukup mudah ditemukan karena ada karangan bunga warna-warni dan pena-pena tertancap di depannya. Hari itu juga ada tulip putih yang masih segar. Seorang pembaca sajak “Tulips” karya Plath barangkali menaruhnya baru-baru saja.
Di tubuh nisan, tertulis “In memory, Sylvia Plath Hughes 1932-1963” diikuti dua bait kalimat “Even amidst fierce flames, the Golden Lotus can be planted”. Kalimat itu bukan dari sajak karangan Plath. Ted Hughes memilihkan frasa dari literatur klasik Cina, Monkey: Journey to the West oleh Wu Cheng’en, untuk nisan Plath. Sebab, “Aku selalu membacakan kalimat itu untuk Sylvia saat dia sedang terpuruk,” tulis Hughes dalam surat yang dimuat The Guardian pada 20 April 1989.
Hughes pula yang memutuskan nama belakangnya turut disertakan dalam nisan. Namun nama Hughes telah tergerus begitu rupa dari nisan hingga hanya bisa dibaca bila kita datang mendekat. Kondisi itu boleh dibilang janggal karena nama Sylvia Plath masih cerlang dalam warna hitam dan terbaca jelas. Hilangnya nama Hughes menyimpan cerita tentang perseteruan Ted Hughes dan penggemar Sylvia Plath yang telah berlangsung selama puluhan tahun. “Nama Hughes memang sengaja dihilangkan oleh penggemar Sylvia karena dia suami yang buruk sekaligus penyebab kematian Sylvia,” kata Fern Cooke.
Maka, ketika Ted Hughes memutuskan menguburkan Sylvia Plath di kampung halamannya alih-alih di tempat kelahiran Plath dan membubuhkan pula namanya di nisan, para peziarah segera bertindak dan menggerus nama Hughes. Berkali-kali nisan itu diperbaiki oleh Hughes, berkali-kali pula namanya dihilangkan lagi.
Sylvia Plath lahir di Boston, Massachusetts, Amerika Serikat, pada 27 Oktober 1932. Dia penyair, novelis, penulis cerita pendek, dan esais terkemuka pada generasinya. Selain menulis novel yang fenomenal, The Bell Jar, Plath menghasilkan sejumlah puisi terkenal, antara lain “Daddy” dan “Lady Lazarus”. Tiga buku kumpulan puisi karyanya juga terkenal: The Colossus, Ariel, dan The Collected Poems. Kumpulan puisi The Collected Poems yang terbit pada 1981, sekitar 18 tahun setelah Plath wafat, mengantarkannya meraih Pulitzer Prize 1982 untuk kategori puisi.
Sylvia Plath dan Ted Hughes bertemu pada 1956 dalam sebuah pesta tak lama setelah Plath pindah ke Inggris untuk belajar di Cambridge. Hughes juga siswa Cambridge dan sudah dikenal sebagai penyair mapan asal Yorkshire. Mereka menikah empat bulan kemudian. Untuk sementara, pernikahan dua penyair itu terlihat amat ideal dan mereka kemudian sama-sama menghasilkan karya terbaik. Setelah dua anak mereka lahir, pernikahan itu memburuk. Begitu pula kondisi kejiwaan Sylvia Plath.
Plath bunuh diri pada usia 30 tahun, pada 11 Februari 1963. Pada malam musim dingin yang dikenang sebagai salah satu musim dingin terburuk dalam sejarah itu, Plath mengantar dua anaknya tidur, mengunci dan menyegel pintu dapur. Dia lalu menyorongkan kepalanya sendiri ke dalam oven dan menghirup gas hingga habis napas. Pada malam yang sama, dikabarkan Ted Hughes sedang bersama selingkuhannya, Assia Wevill. Penggemar Sylvia Plath menuding perselingkuhan Hughes memperburuk kondisi Plath yang sudah mengalami masalah mental selama bertahun-tahun hingga akhirnya memutuskan mengakhiri hidupnya sendiri.
Maka, ketika Ted Hughes memutuskan menguburkan Sylvia Plath di kampung halamannya alih-alih di tempat kelahiran Plath dan membubuhkan pula namanya di nisan, para peziarah segera bertindak dan menggerus nama Hughes. Berkali-kali nisan itu diperbaiki oleh Hughes, berkali-kali pula namanya dihilangkan lagi. Dalam suratnya kepada The Guardian, Hughes menyuarakan kekesalannya terhadap vandalisme itu.“Aku bisa saja menaruh nama Sylvia Hughes karena itu memang nama resminya. Tapi aku tetap memasukkan nama gadisnya karena menghormati dia,” tulis Hughes.
Hingga kematiannya sendiri pada 1998, Ted Hughes berkeras menyebutkan bahwa mereka tak pernah bercerai secara resmi sehingga nama belakangnya harus tetap disertakan pada nisan Sylvia Plath. Argumen yang tak mau diterima penggemar garis keras Plath. Sampai saat ini.
MOYANG KASIH DEWIMERDEKA
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo