Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Hidup-Padam Asa Sang Putri

Abendanon berusaha membuka jalan pendidikan Kartini. Berbalik badan pada akhirnya.

21 April 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PERTEMUAN dengan keluarga Sosroningrat sangat mengesankan Jacques Henrij Abendanon, Direktur Departemen Pendidikan, Agama, dan Industri Hindia Belanda. Kepada Bupati Jepara itu, Abendanon menyatakan baru pertama kali menemui bupati yang terbuka, berpikiran maju, dengan menyekolahkan putri-putrinya.

Ketika itu, pada 8 Agustus 1900, Abendanon dalam tur keliling Jawa menjajaki pendirian sekolah percobaan bagi para gadis pribumi. Ditemani istrinya, Rosa Manuela Mandri, perempuan berkebangsaan Spanyol yang banyak membantunya menjalankan Politik Etis, ia juga merancang sekolah umum.

Atas saran Christiaan Snouck Hurgronje, penasihat pemerintah Hindia Belanda, Abendanon datang ke Jepara. Hurgronje tahu sepak terjang Kartini, putri Sosroningrat yang menghebohkan masyarakat di sekitarnya karena berani melanggar feodalisme Jawa. Kartini juga mempunyai ide pendidikan yang cocok dengan Politik Etis.

"Perkenalan dengan putri-putri suami-istri yang ramah membuat kami tercengang senang," kata Abendanon, mengungkapkan perjamuan hari itu dalam pengantar buku Door Duisternis tot Licht, yang terbit April 1911.

Rosa banyak berbincang dengan Kartini serta dua saudarinya, Roekmini dan Kardinah. Ia menceritakan tujuan suaminya datang. "Gagasan itu sungguh bagus sekali, Nyonya," Kartini menuturkan pertemuan itu dalam surat kepada Estelle "Stella" Zeehandelaar, sahabat penanya di Belanda. Menurut Sitisoemandari Soeroto, penulis buku Kartini: Sebuah Biografi, Abendanon benar-benar terpukau oleh keluarga itu.

Abendanon pun menerima tawaran bermalam di rumah Sosroningrat. Selepas makan malam, mereka mengobrol cukup lama. Mereka membahas banyak gagasan Kartini. Esoknya pasangan Abendanon kembali ke Jakarta. Mereka diantar sampai Stasiun Pecangan, 14 kilometer dari pusat Kota Jepara. Rosa berkali-kali mengundang Bupati untuk datang ke Batavia dan berjanji mengenalkan putri-putrinya kepada para pembesar agar bisa menyampaikan harapan mereka. "Kuatlah Kartini, jangan putus asa. Percayalah keadaan ini tidak bisa dibiarkan begitu saja," kata Rosa, melambungkan harapan Kartini.

Kartini kemudian saling berkirim surat dengan suami-istri Abendanon. Dia merasa begitu dekat. Kartini banyak mencurahkan pemikirannya, terutama kepada Rosa. Ia bahkan menyampaikan hal-hal pribadi. "Nyonya sayang, selama hati kami masih berdenyut, Nyonya berdua akan tetap terpaku dalam ingatan kami, dengan rasa terima kasih," Kartini menulis dalam surat pertamanya, kurang dari sepekan setelah pasangan Abendanon meninggalkan Jepara.

Sebulan kemudian, keluarga Sosroningrat memenuhi undangan Abendanon. Kartini dan dua saudaranya dikenalkan pada banyak tokoh Belanda, seperti Nona Van Loon, Direktur Hogere Burger School Wanita Batavia. Van Loon menjanjikan bantuan bila Kartini hendak melanjutkan pendidikan di sekolahnya. Dia lalu menuju Istana Buitenzorg untuk bertemu dengan istri Gubernur Jenderal Rooseboom. Sayang, pertemuan batal karena Gubernur ada acara lain.

Perjalanan ke Batavia membuka harapan Kartini. Dia melihat kesempatan meneruskan pendidikan lebih tinggi daripada Europeesche Lagere School. Kartini mulai bertanya-tanya kepada Abendanon soal kemungkinan masuk sekolah kedokteran, yang ketika itu hanya diisi laki-laki. Abendanon menyatakan sanggup membuka jalan.

Kartini juga mendekati ayahnya untuk meminta restu. Walau cukup progresif, Sosroningrat masih berat melepas putrinya. Ia menyatakan jalan perempuan Jawa menuju harapan itu penuh rintangan. Kata dia, baru 20 tahun lagi perempuan pribumi bisa masuk sekolah kedokteran. Tiga bulan kemudian Sosroningrat mengizinkan Kartini menjadi guru di sekolah percobaan.

Abendanon terus mencari jalan untuk Kartini dan adik-adiknya. Dari arsip di Departemen Pendidikan Batavia bertarikh 19 Maret 1901, Abendanon mengirim surat kepada Gubernur Jenderal. Isinya meminta pemerintah Hindia Belanda memberikan beasiswa pendidikan guru untuk putri-putri Sosroningrat. Caranya, mendatangkan guru yang memiliki akta guru kepala.

Dua pekan kemudian surat ini berbalas. Gubernur meminta penjelasan rinci, apakah putri-putri Bupati hanya akan dididik atau dipekerjakan setelah selesai. Abendanon menyampaikan tanggapan Gubernur kepada Sosroningrat. Ia mendapat jawaban mengecewakan: Sang Bupati menarik kembali permohonan beasiswa untuk Kartini.

Sitisoemandari menyatakan Abendanon terkejut menerima keputusan Sosroningrat. Begitu juga Kartini, yang sempat pingsan. Dalam surat-suratnya kepada Rosa Abendanon dan Stella, dia tak menyalahkan ayahnya. Kartini menimpakan kesalahan pada cita-citanya sendiri yang begitu tinggi.

Harapan Kartini kembali tumbuh ketika Henri Hubertus van Kol, anggota parlemen Belanda, datang pada 20 April 1902. Didampingi wartawan De Locomotief, Stoll, ia datang ke Jepara. Van Kol, yang sedianya menginap di hotel, menerima tawaran bermalam di rumah Bupati. Dia menggunakan kesempatan itu buat membicarakan beasiswa Kartini. Ia pun meminta Kartini segera membuat proposal.

Kartini menulis permohonan kepada Ratu Belanda lewat Van Kol pada 21 Juni 1902. Dalam surat itu, ia menceritakan sulitnya mendapatkan izin orang tuanya. Van Kol memperjuangkan beasiswa itu dalam sidang Tweede Kamer pada 26 November pada tahun yang sama. Sebagai orator ulung, suaranya amat didengar. Menteri Seberang Lautan A.W.F. Idenburg langsung setuju. Kartini dan Roekmini bersorak.

Penghalang datang dari politikus penentang Politik Etis dan feodal pribumi. Keluarga Abendanon pun menyatakan mendapat tekanan dari politikus. Mereka meminta Kartini mencabut permohonan beasiswa. Kepada putri Bupati, mereka beralasan perlindungan perempuan di Belanda belum baik.

Karena hormatnya, Kartini masih kerap berkirim surat kepada Abendanon hingga sepekan sebelum kematiannya, 17 September 1904. Di kemudian hari, diketahui ada surat-surat Kartini kepada Van Kol yang tidak pernah diterbitkan. "Surat untuk Van Kol tidak cocok dengan keseluruhan surat-suratnya yang lain," Jaap Anten, peneliti di KITLV, menjelaskan.

Pada 1905, Abendanon kembali ke Belanda. Dari sini, ia mengikuti perkembangan politik kolonial, terutama di bidang pendidikan. Rumahnya di Jan Van Nassaustraat 43, Den Haag, dijadikan tempat pertemuan para mahasiswa Indonesia. Sampai kini, rumah tiga lantai itu masih kokoh. Warnanya cokelat dengan garis putih di tiap sisi.

Tempo, yang mengunjungi rumah itu akhir bulan lalu, hanya menemui perempuan muda. Dia mengatakan menghuni rumah yang ruang depannya penuh peralatan lukis itu sejak enam tahun lalu. Ia menyatakan tak tahu Abendanon. Di buku telepon, rumah itu tercatat atas nama R. Prins.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
Ā© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus