Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SURAT itu muncul di rubrik "Permintaan" (Vragenbus) De Hollandsche Lelie, mingguan yang terbit di Belanda. Bunyinya: "Seorang perempuan muda Jawa yang terdidik akan sangat senang bila ada pelanggan di Holland yang bersedia berkirim surat dengannya, untuk bertukar pikiran dengan seorang perempuan muda yang berpendidikan."
De Hollandsche Lelie adalah majalah khusus wanita yang progresif, memperjuangkan hak-hak wanita. Redaksi menampilkan permintaan itu atas pesanan Kartini, yang mengenal majalah ini dari Marie Ovink-Soer, istri Asisten Residen Jepara. Asisten Residen Ovink bertugas di Jepara selama tujuh tahun sejak 1892 dan menganggap Kartini seperti anggota keluarganya sendiri.
Dalam sebuah tulisan untuk mengenang Kartini—sebagaimana dikutip Sitisoemandari Soeroto dalam bukunya, Kartini: Sebuah Biografi—Nyonya Ovink-Soer melukiskan Kartini sebagai seorang gadis yang, "Mau dengan gembira merebut tempatnya di hari depan supaya kelak dapat bekerja yang berguna bagi kaum wanita bangsanya."
Nyonya Ovink pula yang menyarankan Kartini untuk bersurat kepada redaksi De Lelie. Surat pendek itu muncul pada edisi 15 Maret 1899, setahun setelah Kartini lepas dari pingitan.
Dan, surat Kartini tak bertepuk sebelah tangan. Adalah Estelle "Stella" Zeehandelaar yang menanggapi iklan ini. Dr Joost Cote, yang menulis pengantar untuk edisi bahasa Inggris surat-surat Kartini dan Stella yang diberi judul On Feminism and Nationalism: Kartini's Letters to Stella Zeehandelaar 1899-1903 (1995), menduga Stella satu-satunya orang yang menanggapi iklan itu. Belakangan, antara lain melalui Stella, Kartini berkenalan dan saling bersurat dengan beberapa orang Belanda yang lain.
Stella ketika itu berusia 24 tahun—lima tahun lebih tua daripada Kartini. Dia bekerja di kantor pos dan telegram di Amsterdam. Sejak ayahnya meninggal, Stella diasuh oleh pamannya, seorang dokter.
Seperti Nyonya Ovink, Stella rajin menulis untuk jurnal-jurnal perempuan yang agresif. Dia, misalnya, menulis novel feminis Hilda van Suyerberg di De Lelie—kemudian menjadi bestseller—yang ternyata sudah berkali-kali dibaca oleh Kartini sebelum mengenal Stella.
Dalam surat pertamanya pada 25 Mei 1899, yang diterima Stella pada bulan Juni, Kartini menyinggung soal keikutsertaan Stella dalam Toynbee Work—gerakan yang memperjuangkan pendidikan bagi kelas pekerja. Gerakan ini diilhami oleh sejarawan ekonomi Inggris, Arnold Toynbee (1852-1883), yang merintis sekolah gratis bagi kelas pekerja di Whitechapel, London Timur, dan merintis pendirian serikat pekerja.
"Lain kali maukah kamu menceritakan salah satu dari pertemuan Toynbee itu kepadaku? Aku akan sangat senang dan belajar banyak tentang lembaga swadaya masyarakat ini daripada hanya tahu dari artikel koran-koran," tulis Kartini.
Selain menulis berbagai hal, dari soal kebudayaan Jawa, kegembiraan lepas dari pingitan, hingga kegelisahannya atas perdagangan opium, dalam surat pertama itu Kartini memperkenalkan diri dan keluarganya. Sepertinya ini menjawab pertanyaan Stella tentang bagaimana Kartini harus dipanggil mengingat ia keturunan ningrat Jawa. "Panggil saja aku Kartini, itu namaku," tulisnya.
Sejak itu, keduanya terus bersurat. Stella mengaku menerima setidaknya 25 surat, beberapa kartu pos, dan sebuah buku setebal 48 halaman dari Kartini. Tapi, ketika Jacques Abendanon mengajaknya bekerja sama menerbitkan surat-surat Kartini pada 1909, Stella hanya menyerahkan 14 surat.
Surat-surat yang akhirnya diterbitkan pada 1911 dengan judul Door Duisternis tot Licht itu pun sudah diedit Stella dan Abendanon di beberapa bagian. Alasan Stella, dia ragu apakah pantas membuka korespondensi pribadinya dengan Kartini kepada publik. "Dia selalu jujur sampai hal yang sekecil-kecilnya," tulisnya dalam sebuah surat kepada Abendanon pada 1909.
Sayang, hingga saat ini hanya surat-surat yang pernah ditulis Kartini yang terungkap. Surat-surat yang pernah diterima Kartini dari Stella tak pernah ditemukan.
Kepada Stella, Kartini umumnya berbicara soal kegelisahan dan gagasannya menyangkut budaya Jawa, penjajahan, pendidikan wanita, serta keinginan dia dan adik-adik perempuannya—Roekmini dan Kardinah—belajar di Belanda. Kartini juga banyak bercerita tentang perasaan dan pengalamannya sehari-hari.
Saling memanggil dengan sebutan "pasangan jiwa", Kartini tidak ragu menyatakan pikiran-pikiran liarnya kepada Stella. Misalnya, dalam surat tertanggal 17 Mei 1902, dia menulis tentang prasangka-prasangkanya terkait hubungannya dengan pria Eropa dan pria Jawa. "(A)ku, tidak peduli berjalan di hall yang hanya dipenuhi oleh laki-laki Eropa, tapi aku akan benar-benar merasa kikuk jika harus menerima laki-laki Jawa yang tidak kukenal walaupun sederajat denganku dan bujangan."
Perkenalan Kartini dengan Jacques Abendanon dan istrinya, Rosa Abendanon-Mandri, dia ceritakan dalam surat bertanggal 23 Agustus 1990. Ketika itu, Abendanon menjabat Direktur Pendidikan, Agama, dan Industri. Kartini memuji Rosa sebagai "perempuan modern dan terkenal, seperti Stella-ku".
Kartini juga mengemukakan impiannya untuk bisa belajar di Belanda. Dan, kemudian diketahui, Stella berhasil mencarikan beasiswa bagi Kartini untuk belajar di Negeri Kincir Angin.
Aktif dalam gerakan sosialis, Stella, yang pada 1900 akhirnya menikah dengan Willem Petrus Hartshalt, mengenal banyak politikus kiri. Beasiswa untuk Kartini antara lain diupayakan Stella dengan bantuan Henri Hubertus van Kol dan Van Overvelt, yang dikenal sebagai anggota parlemen radikal di Belanda. Sayang, belakangan Kartini urung ke Belanda.
Pembatalan keberangkatan ke Belanda ini disampaikan Kartini dalam surat terakhirnya kepada Stella tertanggal 25 April 1903—sekitar enam bulan sebelum dia menikah dengan Bupati Rembang Raden Adipati Djojoadiningrat. Kartini meminta maaf karena telah menyia-nyiakan upaya sang sahabat. "Stella, Stella, tetaplah mencintaiku sedikit saja; demi besarnya cinta yang pernah kauberikan padaku."
Stella kecewa. Terlebih manakala mendengar berita kematian Kartini tak lama kemudian. Kepada Henry van Kol, melalui surat, Stella mengatakan pernikahan telah merenggut segala-galanya dari hidup Kartini. "Pernikahannya dengan seorang laki-laki, yang menurut tradisi Jawa baru ditemuinya di hari pernikahan, merupakan akhir dari segala sesuatu baginya, lepas dari betapa baiknya laki-laki itu."
Dari Van Overvelt, Stella mendapat cerita batalnya Kartini ke Belanda untuk belajar merupakan bagian dari strategi pemerintah Hindia Belanda. Ini membuat Stella begitu marah kepada pemerintah kolonial. "Sungguh sakit rasanya berpikir bahwa kehidupan yang begitu indah dan menjanjikan ini dikorbankan hanya demi kepentingan yang egoistis," tulisnya kepada Van Kol.
Kartini meninggal pada 17 September 1904, empat hari setelah melahirkan Raden Mas Soesalit. Pada November tahun itu, Stella menulis obituari Kartini di jurnal perempuan Belang en Recht.
"Mungkin hanya beberapa orang yang pernah mendengar nama tersebut," tulisnya di alinea pembuka. "Saat masih hidup, dia merancang sebuah rencana untuk menulis tentang bangsanya yang sangat ia cintai. Tapi, karena beberapa alasan, dia tak mampu mewujudkannya. Karena itulah saya melakukan tugas yang menyedihkan ini dengan menceritakan kepada Anda sekalian tentang sesuatu mengenai orang ini, yang dalam hidupnya yang singkat penuh gagasan dan rencana, tapi sayang penuh penderitaan."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo