Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
RAPAT di ruang pertemuan Gudang Unex Area Kargo Bandar Udara Soekarno-Hatta, Tangerang, dimulai menjelang isya, Selasa pekan lalu. Pesertanya berasal dari Kepolisian RI, Tentara Nasional Indonesia, dan Direktorat Jenderal Bea-Cukai.
Ada sekitar 20 orang di ruang itu, termasuk Kepala Korps Brigade Mobil Polri Inspektur Jenderal Murad Ismail dan Kepala Badan Intelijen Strategis TNI Mayor Jenderal Hartomo. Mereka meriung untuk membicarakan keberadaan 280 pucuk pelontar granat 40 x 46 milimeter Stand Alone Grenade Launcher (SAGL) dan 5.932 butir granat 40 x 46 mm RLV-HEFJ milik Brimob yang dibeslah di Gudang Unex.
Senjata dan amunisi buatan pabrik Arsenal di Bulgaria tersebut disita sesaat setelah pesawat kargo Ukraine Air Alliance yang membawanya dari Bandara Burgas, Bulgaria, mendarat di Bandara Soekarno-Hatta, Jumat tengah malam dua pekan lalu.
Hampir satu jam kemudian, peserta pertemuan beranjak ke gudang untuk mengecek senjata dan dokumen yang menyertainya. Mereka membongkar 28 kotak kayu pembungkus senjata dan 71 kotak penyimpan amunisi, menilik isinya, lalu membandingkannya dengan manifes. Empat puluh menit di dalam gudang, pemeriksaan diakhiri dengan penandatanganan berita acara oleh empat pihak: Bais, Brimob, Bea-Cukai, dan PT Mustika Dutamas sebagai pengimpor senjata tersebut.
Pengecekan senjata itu juga diumumkan Polri, mula-mula melalui akun Instagram resmi Divisi Hubungan Masyarakat Polri, @divisihumaspolri. Berdasarkan pengecekan, menurut akun tersebut, senjata dan amunisi sesuai dengan dokumen impornya. "Hasilnya akan disampaikan di Kemenkopolkam," kata juru bicara Polri, Inspektur Jenderal Setyo Wasisto, Rabu pekan lalu, membenarkan informasi yang diunggah akun itu. Belakangan, unggahan tersebut dihapus.
Jenis dan jumlah senjata serta amunisinya memang sesuai dengan dokumen. Tapi jenis amunisi tak sesuai dengan klaim Setyo dan Murad Ismail sebelumnya, yang menyatakan peluru tersebut untuk melumpuhkan, bukan mematikan. Hulu granat tersebut tajam-ciri peluru militer. Peluru yang punya daya jangkau hingga 400 meter ini pun memiliki enam ulir. Ini penanda bahwa dalam waktu kurang dari 14 detik setelah dilontarkan, peluru bakal meledak meski tak mengenai target.
Ledakannya pun tak main-main. Kode "HEFJ" dalam selongsong peluru kependekan dari high explosive fragmentation jump. Artinya, granat tersebut berdaya ledak tinggi dengan pecahan amunisi bertebaran. Granat diisi butiran logam, yang akan menyebar ke segala arah tatkala meledak.
Temuan ini dipaparkan dalam rapat di Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan pada Jumat pekan lalu. Itu sebabnya, pada akhir rapat, Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto menyatakan Polri tak boleh memiliki peluru tersebut. "Amunisi yang tajam itu dititipkan di Mabes TNI, sehingga setiap saat kalau memang dibutuhkan akan ada proses untuk mengeluarkannya," ujar Wiranto.
Adapun pelontar granat yang jumlahnya 280 pucuk boleh dimiliki Brimob setelah ada rekomendasi dari Panglima TNI. Brimob boleh menggunakan senjata tersebut asalkan pelurunya berisi gas air mata atau asap.
MENDARAT di Bandara Soekarno-Hatta menjelang tengah malam pada Jumat dua pekan lalu, pesawat kargo dengan nomor penerbangan UKL4024 hanya diizinkan singgah untuk menurunkan muatan. Pesawat asal Ukraina itu langsung terbang lagi, sedangkan muatannya seberat 5,2 ton dibawa ke Gudang Unex dengan pengawalan ketat personel Bais "Kamar 14"-kantor Bais di bandara-polisi, serta tentara Angkatan Darat dan Angkatan Udara.
Tibanya senjata tersebut seakan-akan mengukuhkan tudingan Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo sepekan sebelumnya, yang menyebutkan ada institusi di luar militer yang akan membeli 5.000 pucuk senjata militer ilegal. "Data-data kami, intelijen kami, akurat," kata Gatot.
Ia memang tak menyebut lembaganya. Polri disorot tatkala 280 pucuk pelontar granat beserta amunisinya mendarat pada Jumat dua pekan lalu. Sanggahan Wiranto bahwa pemesan senjata tersebut adalah Badan Intelijen Negara, yang mengorder 500 pucuk senapan nonmiliter dari PT Pindad, jadi sia-sia.
Sehari setelah senjata pesanan tiba dari Bulgaria, Setyo Wasisto dan Murad Ismail membenarkan kabar bahwa senjata tersebut milik Polri, yang akan digunakan untuk memelihara keamanan.
Sebagai penjaga keamanan, sesungguhnya polisi hanya diizinkan menggunakan senapan untuk melumpuhkan. Kaliber laras senapan harus di bawah 5,56 milimeter. Panjang selongsong peluru tak boleh melebihi 44 milimeter dengan hulu peluru tumpul. Beda halnya senjata militer yang tujuannya untuk membunuh musuh. Kaliber laras boleh di atas 5,56 milimeter. Pelurunya lancip dengan panjang selongsong 45 milimeter.
Tapi temuan di Gudang Unex bukan hanya soal spesifikasi senjata dan jenis pelurunya yang memang buat militer. Dokumennya pun ditengarai tak lengkap. Berdasarkan pemeriksaan TNI, tak ada izin impor dari Kementerian Pertahanan dan Bais. Walau begitu, Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu berkukuh mengatakan telah memberikan izin kepada Polri.
Menurut Wakil Ketua Tim Pelaksana Komite Kebijakan Industri Pertahanan (KKIP) Marsekal Madya Purnawirawan Eris Heryanto, izin dari Menteri Pertahanan mutlak diperlukan bila suatu lembaga bermaksud mengimpor senjata dengan spesifikasi militer dari luar negeri. Ini sesuai dengan Pasal 7 ayat 1 Peraturan Menteri Pertahanan Nomor 7 Tahun 2010 tentang perizinan senjata militer di luar Kementerian Pertahanan dan TNI.
Izin Menteri Pertahanan sebagai Ketua Harian KKIP juga dibutuhkan tatkala ada institusi yang ingin membeli senjata dari luar negeri. Tapi permintaan izin kepada KKIP pun baru bisa diajukan bila senjata yang dibutuhkan belum diproduksi industri pertahanan dalam negeri. "Undang-Undang Industri Pertahanan mewajibkan semua pengguna membeli sistem persenjataan yang sudah dibuat di Tanah Air," ujar Eris.
Eris mengatakan senjata yang dipesan Polri dari Bulgaria sebenarnya sudah diproduksi Pindad. Perusahaan negara yang bermarkas di Bandung ini mengeluarkan SPG-1, pelontar granat mandiri, yang tak dicantelkan ke senapan laras. Ini varian khusus yang dibuat setelah Pindad mengeluarkan tiga varian pelontar granat yang bisa dilekatkan pada senapan SS1 dan SS2. Pelontar granat tersebut bisa diisi amunisi berkaliber 40 milimeter-persis dengan SAGL dari Bulgaria.
Murad Ismail mengatakan Brimob tak membelinya dari Pindad karena spesifikasi produknya berbeda. "Produk ini produk Bulgaria. Pindad ada produksi, tapi kalibernya berbeda dengan kebutuhan kami," tutur Murad di Mabes Polri, Sabtu dua pekan lalu.
Ihwal tak adanya surat dari Bais TNI, Setyo mengatakan sudah meminta lembaga itu mengecek senjata tersebut. "Prosedurnya memang demikian. Barang masuk Indonesia harus dikarantina, kemudian diproses Bais," ujar Setyo.
MURAD Ismail merasa heran kenapa baru sekarang impor SAGL dari negara Balkan itu dipersoalkan. Sejak 2015, polisi sudah tiga kali mendatangkan senjata dari Arsenal, yang pabriknya terletak di Kazanlak-sekitar 200 kilometer di tenggara Sofia, ibu kota Bulgaria-itu. Senjata dan amunisi yang sekarang tertahan di Gudang Unex merupakan hasil pengadaan pada Januari lalu.
Pengadaan senjata dimenangi PT Mustika Dutamas dengan nilai kontrak Rp 24,9 miliar. Menurut situs Layanan Pengadaan Secara Elektronik Polri, kontrak ditandatangani pada tanggal antara 9 dan 22 Februari 2017. Demikian pula pengadaan amunisinya senilai Rp 24 miliar, yang kontraknya diteken pada 13-27 Februari 2017.
Yang menarik, pada saat proses lelang masih berlangsung, Murad Ismail mengirim surat "sertifikat pengguna" ke Arsenal di Bulgaria pada 25 Januari 2017 untuk memastikan senjata dan amunisinya itu memang digunakan Brimob. Pemegang lisensi Arsenal di Indonesia adalah PT Mustika Dutamas-yang pada saat surat dikirim Murad belum ditetapkan sebagai pemenang lelang.
Salah seorang pemilik saham perusahaan itu adalah Vincent Tandjong. Pria ini ditengarai sebagai orang kepercayaan Jimmy Widjaja, yang disebut-sebut sebagai pemilik Mustika Dutamas sesungguhnya. Di perusahaan ini juga adik Jimmy, Fenny Widjaja, pernah tercatat sebagai pemilik.
Kepada Tempo, Jimmy mengaku dekat dengan Murad Ismail. Ia mengenal Murad sejak berpangkat ajun komisaris besar. Tapi Jimmy menyanggah punya hubungan dengan Mustika. "Saya tak ada hubungannya dengan PT Mustika," ujarnya.
Ia pun menyatakan tak punya bisnis yang berhubungan dengan senjata. Ihwal Vincent Tandjong, Jimmy mengatakan Vincent bukan kepanjangan tangannya. "Hanya kenal begitu saja."
Pada awal September lalu, Brimob kembali membuat pengadaan pelontar granat. PT Mustika Dutamas lagi-lagi menjadi pemenang lelang dengan nilai kontrak Rp 26,9 miliar. Proses penandatanganan kontraknya sejak 26 September hingga akhir pekan lalu.
Menurut Murad, pengadaan SAGL dan amunisinya sudah sesuai dengan aturan. "Karena ada Peraturan Pemerintah Nomor 70 (Tahun 2012 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah), harus melalui pihak ketiga. Itu peraturan pemerintah. Kami maunya beli sendiri saja kalau boleh, tapi aturannya harus lelang," ujarnya.
Setyo menambahkan, "Semuanya sudah sesuai dengan prosedur, dari perencanaan proses lelang, kemudian proses berikutnya di-review staf Itwasum (Inspektorat Pengawasan Umum Polri) dan BPKP (Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan)," kata Setyo.
Sebaliknya, menurut Eris Heryanto, impor senjata harus dilakukan langsung oleh pemerintah Indonesia dengan pemerintah negara lain atau pemerintah Indonesia dengan produsen senjata di negara yang dimaksud.
Aturan tersebut terpampang dalam Undang-Undang Industri Pertahanan serta Peraturan Pemerintah Nomor 76 Tahun 2014 tentang Mekanisme Imbal Dagang dalam Pengadaan Alat Pertahanan dan Keamanan dari Luar Negeri. "Kalau pengadaan senjata dari luar negeri, ya, harus pakai aturan yang ini," ujar Eris.
Menurut Eris, polisi tak pernah berkonsultasi dengan KKIP saat hendak mengimpor senjata dari luar negeri. "KKIP punya daftar senjata apa saja yang sudah diproduksi di dalam negeri, tapi kami tak pernah dimintai pendapat," katanya.
Seorang pebisnis senjata mengatakan polisi cenderung mengimpor senjata ketimbang membeli dari Pindad. "Dari Pindad relatif kecil jumlahnya," ujarnya. Menurut pebisnis ini, pembelian senjata dari luar negeri lebih menjanjikan karena bisa memberi margin lebih besar.
Salah satu alasan yang kerap dipakai untuk mengimpor adalah ketidaksesuaian spesifikasi teknis senjata dengan yang dibutuhkan. Misalnya dalam pengadaan pistol. Satuan yang membuka lelang mensyaratkan gagang pistol berbahan polimer. Ini membuat Pindad mati kutu karena belum punya pistol dengan material tersebut. Padahal kalibernya sudah memenuhi syarat dan bidikan tembakannya pun berpresisi.
Menurut anggota Tim Pelaksana KKIP, Muhammad Said Didu, perbedaan spesifikasi teknis semestinya tidak menjadi dalih untuk mengimpor senjata. "Yang ditekankan dalam Undang-Undang Industri Pertahanan itu fungsinya, bukan spesifikasinya," kata Didu. Apalagi, dalam kasus ini, spesifikasi teknis SPG-1 persis dengan SAGL.
Anton Septian, Andita Rahma, Dias Sasongko, Ahmad Faiz, kartika anggraeni
Impor Senjata untuk Siapa
Korps Brigade Mobil Kepolisian Republik Indonesia membeli ratusan pelontar granat dari Arsenal, pabrik senjata asal Bulgaria. Pembelian ini merupakan impor ketiga dari perusahaan yang sama sejak 2015. Padahal senjata serupa telah diproduksi PT Pindad. Menurut aturan, institusi pengguna wajib membeli senjata yang diproduksi industri pertahanan dalam negeri bila produk tersebut telah dibuat pabrikan lokal.
Pengadaan Stand Alone Grenade Launcher
Pengumuman: 5 September
Peserta tender: 7 perusahaan
Pengguna: Korps Brigade Mobil Polri
Nilai pagu paket: Rp 26,94 miliar
Pemenang: PT Mustika Dutamas (Rp 26,939 miliar)
Penandatanganan kontrak: 26 September 2017
Barang tiba di Indonesia: 28 September 2017
Paket muatan
280 pucuk - Grenade launcher SAGL 40 x 46 mm sebanyak 280 buah dengan berat 2,2 ton
5.932 butir - Jump grenade launcher RLV HEFJ sebanyak 5.932 buah dengan berat 2,8 ton
SAGL 40 x 46 mm Stand Alone Grenade Launcher
Produsen: Arsenal JSCompany, Bulgaria
Fitur utama: Stand alone launcher, telescopic folding butt and chamber loading
Amunisi: Granat kecepatan rendah dengan kaliber 40 x 46 milimeter hingga 160 milimeter
Berat: 2,85 kilogram
Panjang maksimal: 600 milimeter
Tinggi maksimal: 300 milimeter
Laras maksimal: 230 milimeter
Daya jangkau: 350 meter (tanpa sasaran), 150 meter (dengan target sasaran)
SPG-1 Senjata Pelontar Granat Kal. 40 mm
Produsen: PT Pindad
Fitur utama: SPG-1 merupakan stand alone launcher, varian dari pelontar yang dipasang pada SS1 atau SS2
Amunisi: Granat 40 milimeter
Berat: 1,2 kilogram
Panjang maksimal: 298 milimeter
Laras maksimal: 200 milimeter
Daya jangkau: 350 meter
Aturan Vs Kenyataan
Aturan: Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2012 tentang Industri Pertahanan
Pasal 8 ayat 1: Pengguna adalah TNI, kepolisian, lembaga pemerintah, dan pihak lain yang diberi izin. Dan Pasal 8 ayat 2: Pemberi izin pengadaan senjata adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pertahanan.
Kenyataan: Polri tak mendapat izin dari Menteri Pertahanan.
Aturan: Peraturan Menteri Pertahanan Nomor 7 Tahun 2010 tentang Pedoman Perizinan, Pengawasan, dan Pengendalian Senjata Api Standar Militer di Luar Lingkungan Kementerian Pertahanan.
Pasal 1 angka 4: Senjata non-standar militer adalah senjata untuk melumpuhkan dengan kaliber laras di bawah 5,56 milimeter dengan sistem kerja non-otomatis.
Kenyataan: Badan Intelijen Strategis menemukan ada peluru tajam yang mematikan dalam impor senjata oleh Polri.
Aturan: Pasal 43 ayat 1: Pengguna wajib menggunakan peralatan pertahanan dan keamanan produksi dalam negeri.
Kenyataan: Mabes Polri mengimpor alat pertahanan meski PT Pindad memproduksi senjata yang sama. Tak ada penjelasan spesifikasi yang tak bisa dipenuhi PT Pindad.
Kejanggalan
Pada saat proses lelang berlangsung pada Januari lalu, Kepala Korps Brimob Inspektur Jenderal Murad Ismail mengirim surat “sertifikat pengguna” kepada Arsenal bahwa senjata yang dipesan hanya akan digunakan Brimob. Pemegang lisensi Arsenal di Indonesia adalah PT Mustika Dutamas yang belakangan menjadi pemenang lelang tersebut.
Ada broker
Kerja sama pengadaan senjata seharusnya government to government (G to G) atau government to business (G to B). Tidak boleh ada broker dalam pengadaan senjata. Kenyataannya, diduga ada peran importir PT Mustika Dutamas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo