Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TIDAK ada alasan bagi Komisi Pemberantasan Korupsi untuk menunda penyidikan atas skandal korupsi proyek kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP). Meski Pengadilan Negeri Jakarta Selatan mengabulkan permohonan praperadilan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Setya Novanto pada Jumat dua pekan lalu, dan langsung mencabut status tersangkanya, KPK tak boleh mundur.
Putusan Cepi Iskandar, hakim tunggal perkara praperadilan Setya versus KPK, memang memerintahkan KPK menghentikan penyidikan. Namun, sesuai dengan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2016, KPK tetap boleh menerbitkan surat perintah penyidikan (sprindik) baru dan menetapkan ulang Setya sebagai tersangka. Syaratnya, mereka memiliki dua alat bukti baru yang sah.
Penerbitan sprindik baru untuk orang yang sama pernah dilakukan KPK dalam kasus korupsi mantan Wali Kota Makassar, Ilham Arief Sirajuddin. Ketika itu, ia diduga terlibat kasus korupsi dalam kerja sama kelola dan transfer instalasi perusahaan daerah air minum di Makassar pada 2006-2012. Pertama kali dijadikan tersangka, Ilham menggugat praperadilan dan menang. Belakangan, bermodalkan bukti baru yang kuat, KPK kembali menyatakan Ilham sebagai tersangka. Terakhir, pengadilan menghukum dia 4 tahun penjara.
Preseden hukum itu dapat diulangi KPK pada kasus Setya. Apalagi pekan lalu KPK menyatakan tengah menelusuri dugaan pencucian uang hasil korupsi e-KTP ke luar negeri, termasuk ke sebuah negara suaka pajak. Sejumlah saksi yang bisa membuktikan kaitan antara Setya dan perusahaan yang dicurigai menerima aliran dana korupsi itu juga sudah diperiksa. Bukan hanya itu, temuan biro penyelidik Amerika Serikat, FBI, soal dugaan suap yang mengalir dari pengusaha kontraktor e-KTP, Johannes Marliem, ke Setya Novanto juga bisa menjadi amunisi baru.
Jika bukti-bukti baru ini kuat, KPK jangan ragu untuk segera menetapkan kembali Setya sebagai tersangka. Tentu, untuk percobaan kedua ini, KPK mesti teliti betul menelaah barang bukti dan tidak serampangan dalam administrasi penyidikan. Jangan sampai ada celah bagi tersangka untuk mematahkan upaya baru KPK lewat mekanisme praperadilan lagi. Reputasi Setya sebagai politikus yang licin harus membuat KPK bersikap ekstra-hati-hati.
Putusan hakim perkara praperadilan yang memenangkan tersangka KPK semacam ini bukanlah yang pertama. Sebelumnya, Jenderal Polisi Budi Gunawan dan mantan Ketua Badan Pemeriksa Keuangan Hadi Poernomo lolos dari jerat tersangka KPK melalui mekanisme serupa.
Dalam kasus KPK versus Setya Novanto saja sudah banyak indikasi "permainan" antara hakim dan tersangka. Kongkalikong jadi mudah dilakukan lantaran penanganan perkara praperadilan memang hanya dipercayakan di tangan satu hakim. Beberapa kejanggalan sudah tercium sejak awal persidangan, misalnya putusan hakim untuk menggunakan laporan panitia angket DPR sebagai barang bukti. Selain itu, beberapa upaya KPK membuktikan keterlibatan Setya sama sekali tidak menjadi pertimbangan dalam putusan.
Sebagai lembaga yudikatif tertinggi, Mahkamah Agung wajib memastikan kredibilitas dan integritas proses praperadilan. Komisi Yudisial juga perlu turun tangan menguji kesahihan tudingan soal tak bersihnya proses hukum ini. Jika banyak menimbulkan syak wasangka, keberadaan hakim tunggal untuk memutus perkara bisa saja ditinjau kembali. Jangan sampai praperadilan dikenal sebagai sebuah mekanisme yang bisa meloloskan tersangka koruptor dari incaran KPK.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo