Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Soal Freeport Jauh dari Tuntas

Perusahaan tambang emas mengirim surat keberatan ke pemerintah soal divestasi 51 persen saham. Negosiasi masih akan alot.

9 Oktober 2017 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEPERTI terowongan tambang, negosiasi pemerintah dan Freeport berjalan penuh tikungan dan ujung yang belum pasti. Perundingan membahas kelanjutan operasional tambang emas di Papua itu jauh dari selesai, seperti terkesan dari pernyataan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Ignasius Jonan, 29 Agustus 2017. Pemerintah semestinya menjelaskan dengan transparan perkembangan negosiasi dan tidak memainkan klaim-klaim demi tujuan politik pencitraan.

Pemerintah, dalam konferensi pers oleh Jonan, Menteri Keuangan Sri Mulyani, dan CEO Freeport-McMoRan Richard Adkerson pada Agustus lalu, memberi kesan perundingan panjang itu berjalan mulus. Jonan menyebutkan Freeport setuju mengubah kontrak karya menjadi izin usaha pertambangan khusus, mendivestasi 51 persen saham Freeport Indonesia, bertahap membangun smelter, dan menjamin penerimaan negara lebih besar. Menganggap Freeport telah setuju pada empat hal tersebut, pemerintah akan memperpanjang masa operasional perusahaan itu 2 x 10 tahun, yang berakhir pada 2041.

Majalah ini sejak awal-ketika banyak pihak terjebak euforia "kemenangan kabinet Joko Widodo" dalam negosiasi Freeport-telah mengingatkan pekerjaan besar dan sulit bagi pemerintah. The devil is in the detail. Jebakannya pada perincian butir-butir kesepakatan, terutama waktu dan teknis divestasi saham. Masih alotnya negosiasi terlihat pada surat Richard Adkerson ke Kementerian Keuangan akhir bulan lalu. Isinya sejumlah keberatan Freeport terhadap proposal pemerintah. Di antaranya periodisasi divestasi, teknik penilaian saham, ketentuan penerbitan saham baru, juga pada keinginan pemerintah untuk menjadi pemegang saham kendali yang menguasai 51 persen saham.

Harus diakui, aspek politik masih menjadi pertimbangan besar. Sentimen khalayak-terutama lawan-lawan politik Jokowi-menyuarakan penghentian kontrak perusahaan itu "demi kepentingan nasional". Maka, ketika tercapai kesepakatan awal yang dianggap memperkuat posisi Indonesia pada Agustus lalu, pemerintah gempita mempublikasikannya. Pendukung Jokowi juga membanjiri media sosial dengan puja-puji. Padahal kesepakatan itu belum hitam di atas putih. Freeport tampaknya membaca kartu politik ini.

Argumentasi Freeport bisa dipahami. Mereka ingin perpanjangan kontrak 20 tahun-bukan 2 x 10 tahun. Alasannya, mereka telah berinvestasi sangat besar sehingga perlu jaminan kepastian. Pembangunan fasilitas pemurnian tambang alias smelter, misalnya, perlu Rp 30 triliun. Total, perusahaan itu akan mengeluarkan dana hingga Rp 200 triliun. Hal ini pun berhubungan dengan permintaan Freeport dalam valuasi. Pemerintah meminta penentuan nilai saham berdasarkan kontrak yang berakhir pada 2021, sedangkan perusahaan itu menghendaki penghitungan harga pasar yang memperhitungkan operasional hingga 2041.

Surat Richard Adkerson menunjukkan perundingan pemerintah dan Freeport masih alot. Masalah semakin pelik karena izin ekspor sementara konsentrat dari pemerintah untuk Freeport akan berakhir Oktober ini. Izin ini turun setelah penambangan emas terancam lumpuh, dengan menumpuknya konsentrat.

Pemerintah semestinya berfokus merundingkan butir-butir yang masih menjadi sengketa itu. Para perunding sebaiknya tidak terlalu banyak mengeluarkan klaim demi politik. Mereka sepatutnya lebih banyak menggunakan pendekatan ekonomi, termasuk kalkulasi untung-rugi menyeluruh. Hitung-hitungan sejauh mana pengambilalihan 51 persen saham Freeport lebih menguntungkan dibanding penerimaan dividen, royalti, dan pajak selama ini perlu obyektif. Pemerintah harus bisa menjamin, dengan kepemilikan mayoritas saham, manfaat yang diterima negara jadi lebih besar.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus