Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Hikayat Mata-mata Gagal

TAK hanya menyadap, intelijen Australia juga menyuap pejabat Indonesia untuk mendapatkan informasi. Kerap diusir karena kepergok.

2 Desember 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

AUSTRALIA terlibat dalam persoalan Timor Timur, terutama pada akhir Orde Baru. Secara aktif mereka mengusulkan penyelesaian pro dan kontra integrasi wilayah itu dengan Republik Indonesia. Agen-agen Australia di Jakarta aktif mencari tahu kegiatan intel Indonesia di provinsi ke-27 itu. "Mereka bahkan menyuap seorang perwira tentara yang mendapat laporan intelijen," kata Mayor Jenderal Purnawirawan Zacky Anwar Makarim kepada Tempo, Selasa pekan lalu.

Waktu itu Zacky berpangkat brigadir jenderal. Jabatannya Direktur A Badan Intelijen Angkatan Bersenjata Republik Indonesia. Khusus untuk Timor Timur, Zacky membuat laporan harian situasi, yang disebarkan kepada 36 pejabat. Menurut Zacky, laporan itu sebenarnya tak terlalu rahasia. Hanya laporan suasana dari jam ke jam, pergerakan warga sipil, dan jumlah tentara plus peralatannya.

Zacky curiga laporan itu bocor karena, dalam pembahasan Timor Timur, diplomat Australia bertanya tentang hal-hal spesifik, seperti jumlah tentara dan senjata. Ia mengendus kebocoran itu berasal dari Staf Sosial dan Politik ABRI, yang memang menerima tembusannya. Dengan mengerahkan intel-intelnya, Zacky mendapat satu nama yang diduga menjadi biang kebocoran. Pangkatnya cukup tinggi, seorang letnan kolonel, yang berasal dari Papua.

Satu tim segera dibentuk guna menguntit perwira yang dicurigai itu. Pada suatu hari, sang Letnan Kolonel menuju Plaza Indonesia di Jalan Thamrin, Jakarta Pusat. ­Zacky memonitor anak buahnya. Di satu restoran hotel di mal yang sama, perwira ini rupanya bertemu dengan dua diplomat Kedutaan Besar Australia di Jakarta. "Seketika itu juga kami cokok," kata Zacky. Ketika disergap, ketiganya sedang bertukar amplop uang dan dokumen.

Dua diplomat Australia itu bisa lolos dan kabur. Anak buah Zacky yang mengejarnya kalah cepat. Satpam hotel yang melihat orang berkejaran di lobi tak sempat menutup pintu. Mereka hanya mendapati beberapa lembar dokumen laporan harian dengan kop Badan Intelijen ABRI dan cap Sospol ABRI berceceran di lantai.

Dari interogasi terhadap perwira pembocor ini diketahui dua diplomat itu agen Australian Secret Intelligence Service, badan intelijen tertinggi di Australia. Dengan menilik jabatan resmi mereka sebagai sekretaris dua dan tiga Kedutaan Australia, Zacky mengetahui namanya: Glend Merd Smith, 40 tahun, dan Peter John Waters, 36 tahun.

Esoknya, Zacky melapor ke Presiden Soeharto, yang justru meminta Zacky tak meributkan kegiatan mata-mata itu. Presiden memerintahkan Zacky melaporkannya ke Menteri Luar Negeri Ali Alatas. "Ali sudah tahu apa yang mesti dilakukan," kata Soeharto kepada Zacky. Ketika itu, hubungan Soeharto dengan Perdana Menteri John Howard, yang baru tiga bulan menggantikan Paul Keating, mulai tegang. Tak seperti pendahulunya, Howard lebih keras kepada negara-negara Asia.

Ali Alatas menerjemahkan permintaan Soeharto itu dengan mengirim surat ke Kedutaan Australia. Isinya: permintaan kepada Duta Besar agar memulangkan dua diplomat itu. Jika Duta Besar menolak, dua pejabat kedutaan itu akan ditangkap. Tak ada ribut-ribut, apalagi sampai terdengar wartawan. Penggerebekan yang dramatis itu pun tak menjadi berita, baik di Jakarta maupun Australia. Hubungan diplomatik kedua negara tetap adem.

Perwira Angkatan Darat yang membocorkan laporan Timor Timur itu dipensiunkan pada usia 50 tahun. Zacky menolak menyebutkan namanya. Ia hanya menyatakan perwira ini adik kelasnya satu tingkat di Akademi Militer dan pernah bergabung dengan pelajar Trikora. "Jika ia diberi sanksi keras, kami khawatir ia meminta suaka politik ke Australia," ujar Zacky, alumnus Akademi Militer 1970.

Juru bicara Kedutaan Australia, Ray Marcello, menolak menanggapi pertanyaan tentang penyadapan dan aktivitas intelijen. "Saya tak ingin mengomentari karena itu urusan intelijen," katanya kepada Reza Aditya dari Tempo.

Sabam Siagian, yang menjabat Duta Besar Indonesia di Australia pada 1991-1995, mengaku lupa tentang pemulangan diplomat Australia itu. "Soalnya, pemulangan diplomat diam-diam lumayan banyak, jadi saya tak ingat," ujarnya pekan lalu.

Menurut Sabam, cara Ali Alatas memberi sanksi secara diam-diam itu sangat elegan. Dalam diplomasi, kata dia, persona non grata adalah tamparan keras bagi suatu negara tanpa menimbulkan konflik terbuka. Apalagi pemulangan itu dilakukan karena mereka ketahuan menjalankan aktivitas intelijen. Sebab, aktivitas intelijen Australia di Indonesia tidak terjadi kali itu saja, tapi sejak invasi Belanda.

Saat pemberontakan PRRI/Permesta, kata Sabam, Australia sudah mengulik informasi melalui cara-cara intelijen. Tertembaknya Allen Pope, agen Central Intelligence Agency Amerika Serikat, ­menguak peran Australia di balik pemberontakan itu. Meskipun Paul Keating pada 1994 sudah menegaskan bahwa Indonesia sahabat Australia, intelijen menjalankan skenario lain. "Jika sampai sekarang masih menyadap, itu kejahilan yang keterusan," ujar Sabam.

Zacky Makarim punya pengalaman lain. Pada 1999, ia bertugas di Timor Timur menjelang jajak pendapat. Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie memutuskan penyelesaian konflik di sana dilakukan dengan pemungutan suara untuk menentukan status provinsi itu. Zacky bertugas mengarahkan agar suara integrasi lebih banyak.

Rupanya, komunikasi Zacky dengan sejumlah petinggi ABRI dan Presiden Habibie disadap. Setelah 1999, lembaga-lembaga hak asasi dunia berteriak telah terjadi pembantaian massal warga Timor Timur sebelum dan setelah referendum yang menghasilkan 78 persen suara merdeka itu. Tentara Australia, yang tergabung dalam International Force for Timor Leste, dikirim ke sana untuk membereskan situasi kacau.

Australia, Amerika Serikat, dan Perserikatan Bangsa-Bangsa menuduh tentara Indonesia berada di balik serangkaian pembunuhan warga sipil dan pembentukan milisi pro-integrasi. Pada 14 Maret 2002, Sydney Morning Herald menurunkan berita menghebohkan: pembantaian atas perintah Jakarta.

Sumber berita koran terbesar di Australia itu adalah sadapan telepon Zacky dengan Wiranto, Feisal Tanjung, dan Habibie, yang dibocorkan pejabat intelijen di sana. Hubungan Indonesia-Australia seketika menegang. Kepala Staf Angkatan Darat Australia berkunjung ke Jakarta menanyakan kebenaran perintah dan pelaku pembakaran di Timor Timur.

Bukan cuma Australia, negara-negara lain yang tak punya kerja sama militer juga berusaha menguping informasi dari pejabat Indonesia di dalam dan luar negeri. Letnan Jenderal Purnawirawan Sudrajat menemukan banyak alat sadap di kantornya ketika mulai menjabat Duta Besar untuk Cina pada 2006. "Bentuknya macam-macam, ada transmiter sebesar kacang di jahitan kursi," ujarnya.

Menurut mantan Direktur Jenderal Strategi Pertahanan itu, penyadapan sebetulnya hal lumrah dalam hubungan antarnegara. Ketika menjadi atase pertahanan di Washington, Amerika Serikat, pada 1980, ia juga berusaha menyadap pejabat di sana. Kunci agar tak tersadap adalah tak memakai banyak alat komunikasi. "Sekarang banyak pejabat kita justru aktif di media sosial," katanya.

Bagja Hidayat, Akbar Tri Kurniawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus