Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nusa

Ihwal Ikan Mati di Kali Surabaya

Jutaan ikan di Kali Surabaya ditemukan mabuk dan mati setiap kali musim hujan datang. Diduga instalasi pengolahan air limbah masih buruk.

2 Desember 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ikan bader seukuran telapak tangan mengambang di saluran Kanal Mangetan I, Kecamatan Balongbendo, Sidoarjo, Selasa pekan lalu. Bangkainya tersangkut di rumput bibir kali. Bentuknya gemuk tapi aneh dan berbau amis bercampur aroma minyak tanah.

Sukirno, 50 tahun, warga Desa Wonokupang, Balongbendo, menuturkan sudah biasa menemukan ikan mati di situ. Warga emoh memungutnya. Kata dia, ikan seperti itu tidak enak dimakan dan dikhawatirkan beracun. "Ikan di sini bau minyak tanah. Kalau mau dimakan harus direndam air garam satu malam," ujar Sukirno kepada Tempo.

Menurut dia, dalam seminggu penduduk setempat bisa menemukan ribuan ikan mabuk dan mati di sepanjang anak Kali Surabaya yang melewati enam desa ini. Keenam desa itu adalah Jeruk Legi, Bogem, Singka­lan, Wonokupang, Bakung Plinggondani, dan Penambangan. Fenomena ini sudah terjadi bertahun-tahun, dan dicurigai penyebabnya adalah limbah pabrik di sepanjang bantaran kali.

Tempo menyusuri kali tersebut hingga ke ujung dam Bangkalan di Desa Penambangan. Warga Penambangan juga mengaku kerap menemukan ikan mati. Zainal Abidin, 43 tahun, menuding limbah pabrik kertas PT Tjiwi Kimia Mojokerto sebagai penyebabnya. Setiap Minggu pagi, ikan-ikan mengambang diduga akibat pembuangan limbah pabrik pada Sabtu malam. Air kali, kata Zainal, berbusa dan tercium aroma pekat bahan kimia. "Dulu, kalau main, mandi di kali ini masih enak. Sepuluh tahun belakangan sudah bau dan berlendir."

Ditanya apakah warga tidak memprotes, Zainal tersenyum sinis. "Kami ini mau mengadu ke siapa? Wong, pemerintahnya pasti sudah kena templokan (sogokan)," ujarnya. Tudingan itu merujuk pada kegiatan Dinas Perairan yang membuka dam Bangkalan bersamaan dengan jadwal pabrik membuang limbah. "Seperti sudah ada kerja sama," kata Zainal.

Kegelisahan warga di bantaran kali saat ini dirasakan pula kelompok pegiat lingkungan hidup. Salah satu yang paling getol adalah Lembaga Konservasi Lahan Basah atau Ecological Observation Wetland Conservation (Ecoton) Surabaya. Bekerja sama dengan Lembaga Bantuan Hukum Surabaya, Ecoton tengah menyiapkan materi gugatan kepada Pemerintah Provinsi Jawa Timur, yang akan disampaikan ke pengadilan bulan ini. "Pemprov lalai memulihkan Kali Surabaya," kata Direktur LBH Surabaya M. Faiq Assiddiqi, Selasa pekan lalu.

Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, seharusnya pemerintah menggugat perusahaan pencemar dan menagih ganti rugi untuk pemulihan kualitas lingkungan. Ecoton menghitung angka ganti rugi mencapai lebih dari Rp 1,15 triliun. Menurut penelitian Ecoton, kualitas air di Kali Surabaya kian buruk. Padahal Kali Surabaya memasok bahan baku utama air PDAM Kota Surabaya, Gresik, dan Sidoarjo.

Gugatan sebenarnya sudah pernah dilayangkan, dan berakhir damai setelah Ecoton dan pemerintah membuat sejumlah kesepakatan. Namun pemerintah tak menepati janji, sehingga gugatan kedua pun dilayangkan. Gugatan kedua tak digubris. Maka dirancanglah gugatan ketiga ini, setelah diawali dengan somasi pada 31 Oktober lalu.

Ecoton masih bertolak dari bukti pencemaran Kali Surabaya pada 25 Mei 2012. Saat itu ribuan, ikan mati terpapar limbah industri. Tiga perusahaan, yaitu PT Tjiwi Kimia, PT Alu Aksara Pratama, dan Pabrik Gula Gempol Krep, dituduh sebagai penyebabnya. Dugaan itu semakin sahih setelah hasil pengusutan Badan Lingkungan Hidup Jawa Timur pada Juli 2012 menemukan kebocoran nira PG Gempol Krep. Gara-gara itu, Gempol Krep dihukum larangan berproduksi selama Juni-September 2012. Namun "hukuman" itu dinilai tak cukup memberi efek jera. Terbukti pencemaran masih terus berlangsung. Pada pertengahan November lalu, jutaan ikan mati diduga akibat guyuran limbah.

Menurut Direktur Ecoton Prigi Arisandi, selain air yang tercemar, ditemukan kontaminasi senyawa esterogenik—terutama dari pil kontrasepsi—yang mengakibatkan ikan mandul di Kali Surabaya. Ecoton juga mencatat kadar logam berat dalam daging ikan bader dan ikan keting di Kali Surabaya melebihi batas aman. Maklum, ada 6.170 rumah dan 98 perusahaan yang berjajar di sepanjang bantaran, yang tak semuanya sadar akan bahaya membuang limbah sembarangan.

Gubernur Jawa Timur Soekarwo menanggapi santai ancaman Ecoton. "Diterima. (Gugatan) itu bagus dalam masyarakat demokrasi," katanya kepada Tempo, Selasa pekan lalu. Namun ia menolak menggugat secara hukum industri yang mencemari kali. "Kalau dilakukan mediasi bisa, ya, mediasi. Gempol Krep kan juga selesai."

Juru bicara Tjiwi Kimia, Sugianto, mengakui pihaknya rutin membuang limbah ke Kanal Mangetan sejak 20 tahun lalu. Namun limbah itu, kata dia, sudah diolah sehingga memenuhi baku mutu sesuai dengan aturan gubernur. Kapasitas produksi kertas yang dihasilkan sekitar 1 juta ton per tahun dengan ekses limbah 38 ribu meter kubik per hari. "Kapasitas pengolah limbah kami sekitar 60 ribu meter kubik per hari. Jadi sangat mencukupi," katanya Kamis pekan lalu.

Sekretaris PTPN X Mohammad Cholidi mengakui PG Gempol Krep pernah stop produksi pada Juni-September tahun lalu. Sanksi itu akibat kebocoran proses produksi mencemari sungai. "Waktu itu ada pipa yang pecah kemudian tumpah," ucapnya. Pabrik diharuskan memperbaiki instalasi pengolah limbah. Salah satunya dengan membuat kolam besar untuk menampung limbah jika terjadi kondisi darurat. Sistem pengolah limbah Gempol Krep, menurut dia, cukup modern. "Limbah kami sudah jauh lebih baik, dari purifier-nya hingga aerator-nya," ujarnya.

Badan Lingkungan Hidup Jawa Timur membenarkan banyak ikan mati di Kali Surabaya, terutama pada Mei 2012 dan November tahun ini. Badan ini menerjunkan tim untuk menelusuri sumber pencemar. "Kami belum bisa membuktikan temuan Ecoton. Mabuknya ikan belum tentu karena limbah industri," kata Kepala BLH Jawa Timur Indra Wiragana, Selasa pekan lalu.

Penyebab ikan mabuk, kata Indra, bisa karena faktor industri ataupun faktor alam. Hujan deras pertama di hulu sungai pada pertengahan bulan lalu mengangkat en­dapan lumpur, yang secara alamiah membuat ikan mabuk. Namun bisa saja hujan itu dimanfaatkan industri untuk membuang limbah. Debit air banyak membuat limbah menjadi encer dan tidak terlihat. "Sampel air sudah dikirim ke laboratorium. Hasilnya baru diketahui dua minggu lagi."

Perihal Tjiwi Kimia, Alu Aksara, dan Gempol Krep, BLH menyatakan sudah memberikan sanksi. Tjiwi Kimia dan Alu Aksara ditegur agar memperbaiki baku mutu air limbah. Sedangkan Gempol Krep distop produksi hingga mampu memperbaiki instalasi pengolah limbahnya. Pada peristiwa Mei tahun lalu, limbah Gempol Krep mencapai 5.000 kali lipat dari ambang normal. Diakuinya belum ada perusahaan yang dihukum pidana. "Berhenti produksi itu suatu kerugian buat industri," ujarnya.

Secara rutin BLH melakukan patroli pengawasan air, termasuk inspeksi mendadak ke industri. Bentuknya berupa pengambilan sampel di beberapa lokasi untuk diuji baku mutunya dengan metode Storet. Pada 2011, BLH lima kali mengambil sampel. Hasil Storet menunjukkan Kali Brantas berstatus tercemar sedang, kecuali di Jembatan Gadang, Malang. Sedangkan pencemaran berat terjadi di Kali Surabaya, Kali Wonokromo, Kali Mas, dan Kali Porong. Pada 2013, kondisinya semakin memprihatinkan.

Menurut Indra, tidak semua pencemaran disebabkan oleh industri. Perbandingan limbah industri dan domestik 40 : 50 dan 10 persen sisanya limbah pertanian. Data BLH mencatat ada 65 industri di bantaran Kali Surabaya. Sebagian besar sudah dilengkapi pengolah limbah. Rencananya kali sepanjang 41 kilometer dari Gresik hingga Surabaya ini juga akan dilengkapi 74 instalasi pengolah limbah komunal. Sayangnya, jumlah pengolah limbah komunal yang ada tak lebih dari hitungan jari tangan. "Biayanya sangat mahal, mencapai Rp 500 juta per unit," kata Indra.

Agussup, Muhammad Syarrafah, Agita Sukma Listyanti, Ishomuddin

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus